Oleh : Ahmad Barjie B
Penulis buku “Potret Sungai Banjar Kalimantan Selatan”
Jika menyusuri (mudik atau berlabuh) di sepanjang sungai-sungai yang ada di Kalimantan Selatan dan Tengah khususnya, baik dengan menggunakan perahu, klotok atau kapal, (dulu juga banyak bus air), maka kita akan temui begitu banyak mushalla/langgar dan masjid di pinggir-pinggir sungai, disertai pemukiman penduduk di sekitarnya. Kenyataan ini mengandung pesan kesejarahan dan keagamaan, setidaknya sebagai berikut:
Pertama, penduduk yang paling awal menerima dakwah Islam di masa lalu adalah mereka yang berada di pinggir-pinggir sungai. Begitu juga para juru dakwah yang mendakwahkan Islam tersebut menjadikan sungai sebagai prasarana transportasi, dan hampir pasti mereka menggunakan jukung atau perahu. Juru dakwah tersebut tidak mesti ulama, kyai atau ustadz, tetapi mencakup juga para pedagang, artinya sambil berdagang mereka juga mengenalkan agama Islam kepada penduduk yang didatangi. Karena itu sepanjang suatu kampung masih dapat ditempuh lewat sungai, jukung dan perahu masih bisa menjangkaunya, maka di situ akan disampaikan dakwah Islam. Mengapa kawasan Pegunungan Meratus tidak tersentuh oleh dakwah Islam di masa lalu, boleh jadi karena sungai yang ada di sana sudah berat untuk dilalui, sebab hulu sungai Amandit dan lainnya di Pegunungan Meratus tersebut airnya sangat deras dan sulit untuk dimudiki dengan jukung atau perahu, kecuali dengan lanting/rakit bambu, sementara jalan darat saat itu belum memadai. Itulah sebabn
ya, suku Dayak Bukit (ada juga yang menyebutnya Dayak Meratus atau Dayak Banjar) selama ratusan tahun tidak tersentuh dakwah Islam, sehingga mereka tetap menganut agama warisan leluhur, biasa disebut agama Kaharingan atau Balian. Dakwah Islam baru mulai menembus Meratus, khususnya di sekitar Kecamatan Loksado sekarang di tahun 1950/1960-an bersamaan atau bahkan lebih belakang (tadudi) dibanding masuknya misi Kristen.
Kedua, banyaknya tempat ibadah di pinggir sungai tersebut, juga terkait dengan kepentingan teknis pembangunannya. Sebelum ada jalan darat, maka sungailah sebagai tempat mengangkut bahan bangunan untuk membangun langgar atau masjid tersebut. Banyak sekali cerita tentang proses pembangunan masjid/langgar yang berkaitan dengan sungai.
Beberapa Contoh
Di sini dicontohkan beberapa masjid yang terkait dengan sungai. Saat pembangunan Masjid Agung Al-Karomah Martapura, Datu H Muhammad Afif (Datu Landak) bersama dengan HM Chalid bin Yahya, HM Idris dan Muhammad Kotoh (ketiganya kemenakan beliau dan buyut Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari), ditugaskan mencari kayu ulin yang besar-besar ke kawasan Barito, untuk digunakan sebagai tiang guru. Berat sekali pekerjaan menurunkan kayu dari hutan ke sungai, namun dengan kebesaran Allah beliau dkk dapat melakukannya, dan bekas tarikan kayu ulin itu kemudian menjadi sungai kecil yang dinamai Sungai Landak. Untuk membawa empat pohon ulin besar dari sungai Barito ke sungai Martapura digunaan rakit dari kayu-kayu kering sebagai pelampung, pekerjaan ini banyak dibantu oleh orang-orang Dayak setempat.
Pekerjaan dilakukan berbulan-bulan, jika air sungai surut rakit ditambatkan dan mereka istirahat sementara sambil bermalam dan makan-minum yang juga banyak dibantu warga suku Dayak yang bersimpati, dan bila air pasang rakit dihanyutkan kembali. Begitulah seterusnya sampai tiang-tiang ulin ini tiba di Martapura untuk selanjutnya digunakan sebagai tiang utama Masjid Al-Karomah. Sisa-sisa kayu ulin dan kayu bekas rakit digunakan untuk membuat tiga buah bedug, 1 untuk Masjid al-Karomah, 1 untuk Masjid Tuhfatur Raghibin Dalam Pagar dan satunya lagi untuk Langgar an-Nashir Kampung Melayu Martapura. Bangunan awal masjid tersebut didirikan pada 27 April 1863, versi lain 5 Desember 1897.
Menurut sejarawan Islam Banjar asal Martapura, KH Irsyad Zein (Abu Daudi), kedua versi ini benar saja. Versi pertama masjid dibangun dalam suasana darurat, sebab masih dalam masa Perang Banjar, sedangkan masa kedua masjid dibangun permanen, karena peperangan relatif telah selesai. Sampai sekarang tiang utama masjid ini masih ada dan dianggap sakral oleh sebagian jemaah, meskipun bangunan masjid terdahulu sudah dibongkar dan diperbesar menjadi masjid yang besar dan megah sekarang. (Lihat diantaranya Tim Penyusun buku Masjid Agung Al-Karomah Martapura, 2000: 13-15).
Pembangunan Masjid Jami Habib Ibrahim al-Habsyi di Nagara (Daha) juga memiliki cerita tersendiri. Fakhruraji Asmuni (2002: 50-52) menceritakan, mulanya masjid dibangun di Tambak Bitin, lalu terjadi angin ribut selama tiga hari sehingga kubah masjid terbang menyeberang sungai menuju desa Sungai Mandala. Setelah dikembalikan, kejadian tersebut tetap berulang sampai tiga kali, sehingga diputuskan untuk membangun masjid di lokasinya yang ada sekarang. Saat akan membangun masjid, masyarakat kesulitan mencari tiang ulin yang besar sebagai sokogurunya. Masalah ini dilaporkan kepada Habib Ibrahim al-Habsyi. Habib mengatakan, masyarakat tak usah khawatir, besok akan ada kayu-kayu ulin dimaksud yang hanyut di sungai dekat lokasi pembangunan. Keesokan harinya ternyata kayu ulin dimaksud memang ada, entah dari mana asal datangnya. Ketika masyarakat kesulitan mengangkatnya dari sungai ke darat, kembali Habib dengan doa dan karomahnya berhasil menarik kayu itu ke darat, demikian seterusnya.
Begitu juga dengan pembangunan Masjid Su’ada Wasah Hilir Kandangan Hulu Sungai Selatan, tidak terpisahkan dari sungai. Masjid ini didirikan pada tanggal 28 Zulhijjah 1328 H, bertepatan dengan 1908 M. Dinamai Masjid Su’ada artinya bahagia (kalau di Banjarmasin juga ada Masjid Su’ada ud-Darain, artinya bahagia dunia dan akhirat). Nama lain Masjid Su’ada adalah Masjid Baangkat, karena masjid ini dibangun dengan konstruksi tiang panggung dan bisa diangkat untuk ditinggikan. Tokoh ulama pendirinya adalah H Abbas dan H Muhammad Said. H Abbas bin H Abdul Jalil adalah anak dari Khalifah H Syihabuddin bin Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dari istrinya yang bernama Bidur. Beliau membangun masjid ini bersama keponakannya H Muhammad Said bin H Sa’duddin bin Mufti H Muhammad As’ad bin Syarifah binti Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dengan istrinya yang bernama Bajut.
Sejarah pembangunan masjid juga diwarnai hal-hal yang bersifat karomah. Ketika para pekerja mengangkut bahan bangunan melalui sungai antara kampung Kalumpang dengan Nagara Daha, rombongan pengangkut yang dipimpin oleh H Muhammad Said sempat gelisah. Sebab ikan-ikan yang akan dimasak habis, sementara nasi sedang ditanak, dan para pekerja rata-rata sudah lapar sekali. Muhammad Said memerintahkan anak buahnya agar terus saja menanak nasi, urusan ikan yang habis jangan dipikirkan dulu. Tiba-tiba seekor ikan besar melompat dari air ke dalam perahu besar yang mereka tumpangi. Ikan itu seolah menyerahkan diri dan minta dimasak. Akhirnya ikan besar itu dibersihkan untuk dimasak dan lebih dari cukup untuk dimakan bersama oleh rombongan dalam perahu.
Memudahkan Berwudlu
Langgar dan masjid dekat dengan sungai juga untuk memudahkan berwudlu. Jauh sebelum ada saluran air leiding seperti sekarang, orang-orang yang akan shalat lebih dahulu berwudlu (baair) di sungai. Mereka dengan bebas mengambil air wudlu di sungai yang airnya memang bersih. Kalau mau buang air besar atau kecil ketika akan shalat, atau bathal wudlu, mereka segera menuju sungai, karena di sungai tersebut disediakan batang yang ada jambannya. Batang dibuat dari rakit bambu atau pohon besar yang sudah kering sehingga timbul (mengapung). Konstruksi batang dekat sungai pasti lebih baik, besar, dan jamban tertutup, sehingga aurat orang di dalamnya tidak kelihatan. Di bulan Ramadan, banyak anak muda, bujang dan perawan pergi ke masjid/langgar untuk shalat Tarawih atau shalat Subuh. Batang sungai penuh oleh mereka yang berwudlu, bahkan ada yang pura-pura bathal wudlu agar bisa bolak-balik ke batang sungai untuk sekadar melihat, bersenda gurau dan merayu lawan jenisnya, walau sesaat.
Waktu dulu sama sekali belum disediakan WC di sekitar masjid. Dengan begitu semuanya serba mudah, praktis dan tanpa biaya. Panitia masjid hanya memikirkan biaya membeli minyak tanah untuk lampu petromak (strongking) atau belakangan bayar listrik. Tidak perlu ada alokasi dana untuk bayar air leiding. Baru belakangan ada masjid yang membangun kolam dari semen, sehingga ada pilihan, boleh berwudlu di batang/sungai, boleh juga di kolam, yang ukurannya sengaja dibikin besar supaya airnya tidak kotor ketika kaki dicelupkan ke dalam kolam. Kalau lama tidak dibersihkan, air kolam itu berwarna hijau dan berlumut. Konon kabarnya, Datu Sanggul pernah berwudlu di sungai dekat Masjid Tatakan-Rantau-Tapin dengan cara menceburkan diri ke sungai, namun yang basah hanya anggota wudlu beliau saja.
Jadi, sungai tempo dulu sangat berperan dalam penyiaran agama Islam (dakwah) dan juga untuk keperluan beribadah di langgar atau masjid. Orang dulu menyebut langgar dengan balai, mungkin masih terpengaruh dengan kepercayaan agama sebelumnya (Kaharingan, Balian) di mana rumah besar yang di dalamnya ada tempat beribadah atau ritual tertentu disebut balai. Saat penulis masih kecil di kampung Pasintik-Kelua, langgar yang ada di kampung kami juga disebut dengan balai, belakangan diperbesar dan dibangun permanen menjadi Masjid Jami Al-Muttaqin. Di kawasan Meratus sampai sekarang masih ada beberapa balai, seperti balai Urui, balai Kanamit dan sebagainya, dan di Kalimantan Tengah juga ada balai-balai adat Kaharingan.
Penyiaran Agama Kristen
Peran sungai tidak terbatas sebagai prasarana penyebaran dakwah Islam, ternyata penyiaran agama Kristen di masa lalu juga banyak dilakukan lewat sungai. Melkianus Paul Lambut (94 tahun) seorang tokoh Kristen di Banjarmasin, pernah menceritakan, dulu para penyiar agama Kristen dan Katolik masuk ke Kalimantan Tengah lebih dahulu melalui sungai-sungai di Banjarmasin, sebab kota Banjarmasin menjadi satu-satunya pintu gerbang menuju Kalimantan Tengah lewat sungai. Saat itu belum ada jalan darat yang bisa ditembus, baik dari Banjarmasin menuju Kapuas dan Palangka Raya maupun dari Banjarmasin menuju wilayah Barito Timur dan lain-lain lewat Amuntai-Kelua-Tabalong.
Para misionaris dan zending itu naik perahu-perahu. Mereka menambatkan perahunya di sungai-sungai Banjar yang dilewati, di pohon atau di batang (rakit kayu/bambu) tempat mandi. Semula mereka ingin bermalam dan makan-minum di perahu-perahu itu saja dan tidak berani naik ke darat, kecuali untuk membeli atau membeli sesuatu. Orang Banjar muslim mengetahui saja bahwa mereka akan menyiarkan agama Kristen di Kalimantan Tengah. Orang Banjar tidak tega melihat mereka tinggal dan bermalam di perahu, disengat nyamuk dan diterpa hawa dingin dan panas, lalu disuruh naik ke darat, dijamu makan-minum di rumah, dan difasilitasi untuk istirahat atau tidur sesuka hati mereka di rumah-rumah orang Banjar. Setelah itu barulah mereka bebas untuk meneruskan perjalanan ke Kalimantan Tengah.
Menurut MP Lambut, sebagaimana dikutip dalam Jejak Rekam Online 16 Juni 2023, penyiaran agama Kristen di Kalimantan Tengah sedikit banyak juga ada andil atau dukungan masyarakat Banjar muslim dan Kesultanan Banjar. Ia mencontohkan, pada tahun 1835, ketika J.H. Barnstein, seorang misionaris Jerman tiba di Banjarmasin untuk mengabarkan Injil di Kalimantan. “Barnstein adalah orang Jerman, tidak disukai oleh Belanda, tapi kemudian Sultan Banjar menyambutnya. Sultan Banjar berpesan kepada Barnstein, jangan kamu menyebarkan agama (Kristen) kepada orang yang sudah beragama.” Setelah itu, Sultan Banjar mengutus orang-orang untuk mengawal dan mengantarnya ke pedalaman Kapuas dengan naik perahu, hingga ke Gohong (Kahayan Hilir). Dari sana, Kekristenan dimulai di tanah Borneo. “Kalau waktu itu orang Banjar ingin membunuh Barnstein, tentu sangat mudah. Tapi tidak dilakukan, justru dilindungi dan dibantu dalam melaksanakan misinya. Jadi, Kekristenan pada orang Dayak, terjadi karena bantuan Sultan Banjar,” ujar tokoh Gerej
a Eppata Banjarmasin tersebut. Kisah ini menjadi simbol sekaligus pesan moral untuk memelihara dan menjaga kerukunan antarumat beragama, khususnya antara suku Banjar dengan suku Dayak sebagai dua suku badingsanak. Wallahu A’lam.