Oleh : Zhafira Ayu
Pemerhati Masyarakat
Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana Provinsi Kalimantan Selatan (DPPPAKB Kalsel) mencatat jumlah korban kekerasan sebanyak 204 perempuan dan anak per 10 April 2025.
Kepala DPPPAKB Kalsel Sri Mawarni mengatakan jenis kekerasan yang paling dominan yaitu kekerasan psikis (85 korban), kekerasan seksual (63 korban), dan kekerasan fisik (48 korban).
Komisi IV DPRD Kalsel, yang membidangi kesejahteraan masyarakat, mengecam keras aksi predator anak serta perilaku perundungan di lingkungan pendidikan di Banua.
Ketua Komisi IV DPRD Provinsi Kalsel, Jihan Hanifa menegaskan sikap tersebut saat memimpin rapat dengar pendapat bersama Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kalsel, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalsel, serta Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kanwil Kemenag) Provinsi Kalsel, Rabu (26/02/25) pagi.
Menurutnya, pelaku kekerasan terhadap anak harus dihukum seberat-beratnya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku agar menimbulkan efek jera. “Tidak hanya hukuman, mereka juga tidak boleh diberi kesempatan ataupun ruang lagi di dunia pendidikan,” tegas politikus Gerindra itu.
Komisi IV DPRD Kalsel menyatakan keprihatinan mendalam atas maraknya kasus yang melibatkan anak sebagai korban. Oleh karena itu, pihaknya mendesak semua instansi terkait untuk mengambil langkah konkret dalam melindungi generasi penerus bangsa, khususnya di Kalsel.
Indonesia sudah darurat kekerasan seksual pada anak. Saat ini Indonesia berada pada peringkat 10 besar dunia untuk kasus anak-anak yang menjadi korban kejahatan atau kekerasan seksual. Menanggapi hal ini, Ketua Dewan Pakar FSGI Retno Listyarti mendukung penuh rencana pemerintah untuk membatasi akses media sosial bagi anak-anak agar melindungi mereka dari ancaman dunia maya.
Sementara itu, seorang perempuan IP (30) asal Kalsel menjadi korban pemerkosaan secara sadis di Kecamatan Dusun Tengah, Kabupaten Barito Timur. Pelaku berjumlah tiga orang. Adapun ketiga pelaku berinisial (WA) alias W (34) (MM) alias I (35) S alias A (38).
Kapolres Barito Timur AKBP Eddy Santoso melalui Kasat Reskrim Polres Barito Timur mengatakan, peristiwa keji tersebut terjadi pada Jumat malam (23/5/2025) sekitar pukul 21.30 WIB disebuah rumah di kawasan Ampah Kota, Kecamatan Dusun Tengah.
Ia mengatakan kekerasan seksual kini tidak lagi memerlukan pertemuan fisik antara pelaku dan korban. Kekerasan seksual dapat terjadi melalui platform media sosial.
Retno membeberkan para pelaku pedofilia banyak mengincar anak-anak SD dengan memanipulasi mereka, seperti berkenalan di dunia maya, membangun komunikasi intens, lalu meminta foto tidak senonoh, hingga membuat video porno. Setelahnya, pelaku kerap melakukan pemerasan atau menjual foto dan video tersebut. Ini menjadikan korban mendapat ancaman dan menjadi objek eksploitasi seksual di dunia maya.
Ia juga menekankan bahwa pengawasan orang tua terhadap aktivitas anak-anaknya di media sosial kurang memadai, terlebih tidak semua orang tua melek digital. Menurutnya, kebijakan pembatasan media sosial untuk anak, seperti yang sudah dilakukan Cina dan Australia, merupakan langkah penting untuk melindungi anak-anak di dunia digital dari predator seksual dan kekerasan lainnya.
Kekerasan seksual terhadap anak bukanlah fenomena baru, namun dalam beberapa tahun terakhir, kasusnya meningkat dengan pola yang semakin mengkhawatirkan. Pelaku tidak lagi terbatas pada orang asing, tetapi juga datang dari lingkungan terdekat, bahkan dari sosok yang dipercayai. Jabatan tinggi atau pendidikan tinggi ternyata bukan jaminan moralitas. Beberapa dari pelaku bahkan memiliki latar belakang pendidikan yang mumpuni, namun tetap terjerat dalam perilaku menyimpang.
Negara Lemah Melindungi
Negara melakukan transformasi digital, tetapi lalai membuat mekanisme yang menjamin keselamatan anak mengakses dunia digital. Pada era digital, penggunaan internet dan aktivitas di dunia maya adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari, justru harus dihadapi. Oleh karenanya, negara harus mempersiapkan dan mengelola dengan tepat akses informasi digital yang saat ini melaju dengan pesat. Kemajuan teknologi dalam penguasaan sistem kapitalisme bagaikan pisau bermata dua, bisa memberi dampak positif juga negatif, tergantung penggunaannya.
Ditengah fenomena kekerasan seksual yang semakin meluas, kegagalan negara untyk menjalankan perannya sebagai pelindung generasi muda sangat nyata. Dalam system sekuler kapitalisme, negara berperan sebagai fasilitator kebebasan individual,tapi justru gagal menciptakan Batasan yang jelas untuk melindungi Masyarakat dari perilaku yang merusak.
Namun, peran tersebut terasa nihil jika mengingat dunia digital saat ini justru menjadi pintu masuk penyebaran nilai, budaya, dan pemikiran sekuler liberal. Ini terjadi begitu saja bagai bola salju yang menggelinding tanpa arah. Sistem kapitalisme menjadikan media sosial lebih banyak digunakan untuk membuat konten-konten viral nirfaedah, mencari cuan, kampanye gaya hidup hedonis, serta aktivitas kejahatan seperti penipuan, pelecehan seksual, kekerasan seksual, pinjol, judol, dan lainnya.
Sistem sekuler telah menjauhkan agama dari kehidupan. Agama tidak lagi dijadikan pedoman dalam menentukan perbuatan. Siapa pun akan dengan mudah melakukan perundungan atau pelecehan dengan berbagaidalih pembenaran yang justru melahirkan manusia-manusia bejat yang tak berperikemanusiaan. Kehidupan sekuler liberal dengan asas kebebebasannya telah menjadikan individu merasa berhak mengeskpresikan diri sesukanya baik dalam hal berpakaian, pergaulan bahkan dalam menyalurkan hasrat naluri seksual.
Kekerasan seksual adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia, kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, serta bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan. Dan Kasus ini banyak terjadi dilingkungan yang seharusnya aman seperti keluarga dan sekolah yang mayoritas korbannya adalah anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan. Sehingga kekerasan seksual menimbulkan dampak yang luar biasa kepada korban baik secara psikis, kesehatan, ekonomi dan sosial.
Sejatinya, kekerasan seksual tidak akan pernah selesai dengan payung hukum ala kapitalis liberal meskipun dengan banyaknya UU yang dibuat untuk menyelesaikan kasus kekerasan seksual yang semakin brutal.
Dan dalam hal ini, negara telah gagal menjalankan perannya dalam 2 hal yakni mencegah stimulan berupa pornografi, perilaku seks bebas, peredaran narkoba, miras yang semakin tumbuh subur dan telah merusak pemikiran dan keimanan masyarakat. Bahkan diperparah oleh lemahnya negara dalam mengatur media, baik televisi, tontonan, film dan media sosial. Para produsen film atau tayangan yang mengumbar syahwat tetap saja tidak ditindak tegas.
Kekerasan seksual masih menjadi masalah besar, karena banyak pelaku kekerasan seksual tidak mendapatkan hukuman maksimal karena negara menindak pelaku dengan menjatuhkan hukuman dan sanksi setengah hati sehingga tidak akan menimbulkan efek jera. Bahkan dalam beberapa kasus, proses hukum berjalan lambat dan berakhir secara kekeluargaan, tanpa mempertimbangkan trauma korban. Hukum positif yang dijalankan sistem saat ini ternyata hanya sekedar memberikan solusi parsial dan tambal sulam sehingga masih belum mampu memberikan perlindungan komprehensif kepada korban. Termasuk di dalamnya menjamin kerugian fisik dan psikis korban, rehabilitasi korban dan juga pelaku, melindungi hak-hak korban, dan mencegah terulangnya kejahatan seksual yang sama dimasa yang akan datang.
Prespektif Islam Solusikan
Dalam Islam, negara memiliki peran penting dalam menjaga, melindungi generasi dan masyarakat dari tindak kejahatan dengan penerapan aturan yang dapat mencegah dan meminimalisir terjadinya kekerasan atau penyimpangan seksual. Secara preventif, negara akan menerapkan sistem sosial dan pergaulan Islam di lingkungan keluarga dan masyarakat secara preventif melalui mekanisme yang khas seperti : (1) Kewajiban menutup aurat atau berhijab syar’I; (2) Larangan berzina, berkhalwat (berduaan dengan nonmahram), dan ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan)secara bebas tanpa batas kecuali dalam aktivitas yang memang dibolehkan seperti pendidikan, ekonomi dan kesehatan; (3) Larangan eksploitasi perempuan dengan memamerkan keindahan dan kecantikan saat bekerja; (4) Larangan melakukan safar (perjalanan) lebih dari sehari semalam tanpa diserta mahram; (5) Melarang perempuan untuk berdandan berlebihan (tabarruj) yang merangsang naluri seksual laki-laki karena kejahatan seksual bisa dipicu rangsangan dari luar yang kemudia
n memengaruhi naluri seksual/gharizah an-na’u; (6) Memisahkan tempat tidur anak dan izin saat hendak memasuki rumah; (7) Menempatkan penyaluran naluri seksual hanya pada hubungan pernikahan.
Dan secara kuratif, negara menerapkan hukum pidana Islam yang tegas dengan menghukum para pelaku berdasarkan kadar kejahatannya menurut pandangan syariatyaitu berupa had zina dengan hukum rajam (dilempari batu) hingga mati, jika pelakunya muhshan (sudah menikah) dan dijilid (dicambuk) 100 kali serta diasingkan selama setahun jika pelakunya ghairu muhshan (belum menikah)ditambah pemberatan sebelum hukum rajam itu dilakukan, jika terdapat bentuk kejahatan lain di luar tindak perkosaan tersebut.Hukuman tegas ini tentu saja akan memberikan efek jera (zawajir) sekaligus menjadi penghapus dosa (jawabir) bagi si pelaku.
Negara wajib menjalankan perannya mengawasi pemilik media dengan menyaringnya sesuai standar syari’at seluruh konten media yang berdampak negatif bagi warga masyarakat dan generasi. Seperti konten pornografi, kekerasan, mengajak bermaksiat dan lainnya. Jika hal ini memerlukan teknologi tertentu, maka negara akan mendatangkan teknologi tersebut demi melindungi warganya dari segala rupa keburukan.
Negara juga akan menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam dengan kurikulum, media belajar, dan proses pembelajaran akan mengacu pada aturan Islam. Sehingga anak-anak memiliki akidah yang kuat, orang tua memiliki pemahaman agama yang baik, dan masyarakat terbiasa melakukan amar makruf nahi mungkar, saling menasihati dalam kebaikan.
Darurat kekerasan seksual bukan sekedar masalah individu, melainkan krisis sistemik. Oleh sebab itu dengan adanya mekanisme yang khas inilah kepastian perlindungan bagi perempuan dan anak dari tindak kekerasan seksual akan segera dihapuskan tanpa perbedaan perlakuan. Islam akan tegas memberantas setiap tindak kejahatan seksualitas.
Dan tentu saja semua aturan ini hanya bisa diterapkan dengan sempurna jika ada institusi yang menaunginya. Hanya dengan penerapan Islam kaffah yang bersumber dari Allah, kejahatan seksual bisa ditekan dan masyarakat bisa hidup dengan aman dan nyaman. Karena penegakan syariat Islam secara kaffah tidak akan pernah lahir dari sistem sekuler yang menuhankan kebebasan sebagai standar perbuatan. Wallahu’alam.