Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

TEGUH PENDIRIAN

×

TEGUH PENDIRIAN

Sebarkan artikel ini

Oleh : AHMAD BARJIE B

Usai Ramadan bagus sekali kalau melakukan evaluasi, sejauhmana kadar ketakwaan kepada Allah SWT, apakah mengalami peningkatan, biasa-biasa saja atau justru menurun. Hal ini penting sebab tujuan utama ibadah puasa Ramadan mencapai predikat takwa (QS. 2: 183).

Baca Koran

Di antara kriteria orang bertakwa adalah segera minta ampun kepada Allah atas segala kesalahan, bersedia mengeluarkan harta di jalan Allah ketika lapang maupun sempit, mampu menahan marah, memaafkan kesalahan orang lain, dan berusaha berbuat kebajikan dalam berbagai bentuknya. Kepada mereka ini Allah akan berikan sorga yang luasnya seluas langit dan bumi (QS. 3: 133).

Tentu tidak mudah untuk mencapai derajat orang bertakwa. Tidak gampang mencari orang yang benar-benar memenuhi syarat untuk disebut muttaqin. Diperlukan kesungguhan, pengorbanan, kebersihan dan kelapangan hati.

Cerita berikut dapat menjadi ilustrasi mengenai orang-orang yang dapat disebut muttaqin sebenarnya. Dikisahkan, pada zaman khalifah ke-3 dari Khulafa ar-Rasyidun, Umar bin Khattab, ada seorang pemuda pedagang yang sering membawa dagangannya ke berbagai kota. Suatu kali, karena kelelahan ia beristirahat di bawah pohon. Setelah melepaskan barang dagangannya dari punggung onta, lalu onta itu ditambatkan pada sebatang pohon korma, kemudian ia tertidur lelap.

Melihat tuannya tertidur cukup lama, onta tersebut meronta dari pohon dan terlepas, lalu berjalan-jalan mencari rerumputan dan dedaunan. Ketemulah ia dengan kebun anggur yang dimiliki dan dijaga seorang petani, lelaki tua. Onta memakan sejumlah buah anggur. Mungkin karena sayang dengan tanamannya, lelaki tua itu marah dan memukulnya dengan kayu, sehingga onta itu mati.

Begitu terbangun dari tidur, pemuda pedagang itu terkejut karena ontanya tidak lagi di tempat. Ia mencari ke sana ke mari, dan ternyata onta kesayangannya tergeletak mati di kebun lelaki tua. Terjadilah pertengkaran mulut antara keduanya. Tidak selesai adu mulut, keduanya terlibat perkelahian fisik. Tanpa maksud membunuh, si pemuda menendang lelaki tua, dan ternyata orang tua itu juga mati.

Baca Juga :  Hukum Tegas vs Pelatihan TPKS: Mana Solusi Efektif?

Ketika itulah dua pemuda anak petani tua itu datang, dan begitu melihat ayahnya mati, mereka marah dan segera menyeret si pemuda untuk dibawa kepada Umar bin Khattab di Madinah, yang berkedudukan sebagai khalifah sekaligus qadhi (hakim). Kedua pemuda meminta keadilan, agar “pembunuh’ ayah mereka dihukum mati.

Sesuai hukum Islam, Umar menegaskan, pembunuhan memungkinkan hukuman qisas; luka dibayar luka, nyawa dibayar nyawa, namun beliau lebih dahulu mendengar kronologi kejadiannya secara lengkap dan utuh. Agak sulit memutuskan perkara ini karena tidak ada saksi. Karena kedua anak korban tidak mau memaafkan, dan tidak mau nyawa ayahnya diganti dengan diyat, akhirnya,Umar menjatuhkan hukuman mati kepada si pemuda pedagang.

Pemuda pedagang menerima putusan tanpa protes, namun meminta agar Umar memberinya waktu untuk pulang ke kampung dan ke rumah. Ia punya sejumlah utang yang harus dibayar dan anak istri yang harus dipamiti. Tentu Umar menolak permintaan tersebut meski hanya sebentar, khawatir si pemuda menghilang (buron), sementara tidak ada yang menjamin.

Si pemuda mendekati sejumlah orang, memohon kalau ada yang mau menjamin, ternyata tidak seorang pun yang bersedia. Ketika itu tampillah Abi Zar al-Giffari, salah seorang sahabat Rasulullah yang sangat berjiwa sosial dan kritis terhadap pemerintahan Khalifah al-Rasyidin kemudian. Ia menawarkan sebagian hartanya untuk membantu membayar diyat jika kedua anak korban memaafkan. Tetapi kedua anak tetap menolak. Akhirnya Abi Zar pasang badan menjamin si pemuda yang akan pulang. Banyak orang heran dan terkejut, seraya meminta Abi Zar agar membatalkan keputusannya, sebab menjamin orang dalam perkara tersebut risikonya nyawa.

Namun Abi Zar tetap pada pendiriannya. Ia pasrah akan seperti apa nasibnya kelak, dan ia melihat ada tanda kejujuran pada pemuda pedagang yang akan pulang sementara tersebut. Umar kembali menunjukkan ketegasannya, walau ia juga bersahabat dengan Abi Zar, tapi kalau sampai si pemuda tidak kembali, maka nyawa Abi Zar taruhannya.

Baca Juga :  ANAK NAKAL

Setelah pulang dan membayar utang, si pemuda pamit dengan keluarganya. Anak istrinya sempat menyarankannya kabur saja, namun si pemuda tidak mau. Ia tetap akan kembali ke Kota Madinah untuk menjalani eksekusi mati. Melalui perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan, akhirnya ia sampai ke Kota Madinah, pada menit-menit terakhir menjelang Abi Zar akan dieksekusi. Setibanya di hadapan Khalifah Umar, ia bersimpuh di kaki Abi Zar dan berterima kasih yang sangat atas kesediaan menjamin dirinya.

Bersamaan dengan eksekusi yang segera akan dilaksanakan, kedua anak lelaki tua yang terbunuh langsung memaafkan. Mereka tersentuh oleh kejujuran si pemuda, kesediaan Abi Zar pasang badan dan ketegasan Khalifah Umar menegakkan hukum. Mereka menyadari ayahnya yang bersalah karena memukul hingga tewas onta kesayangan dan kendaraan dagang milik si pemuda. Seharusnya ayahnya hanya mengusir onta, bukan memukulnya. Akhirnya masalah krusial itu pun selesai dengan manis karena semua pihak telah menunjukkan komitmennya pada agama dan mau saling memaafkan.

Apabila karakter para tokoh dalam cerita nyata di atas dapat diteladani, baik oleh para pemimpin dan rakyat, maka sebagian besar masalah negeri ini akan selesai dengan sendirinya. Sifat-sifat mulia tersebut bagian dari ciri orang bertakwa. Orang-orang bertakwa diberi solusi dalam hidupnya. Masyarakat yang bertakwa dibukakan-Nya berkah dari langit dan bumi. Hidup aman, damai, bahagia dan sejahtera. Wallahu A’lam.

Iklan
Iklan