Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Ekologi Emosional, Ketika Merawat Bumi Sama dengan Merawat Diri Sendiri

×

Ekologi Emosional, Ketika Merawat Bumi Sama dengan Merawat Diri Sendiri

Sebarkan artikel ini

Oleh: Hafizhaturrahmah
Ketua Umum Telaga Ilmu Indonesia

Kita sering membicarakan krisis iklim dan kesehatan mental secara terpisah, seolah keduanya tak saling bersinggungan. Padahal, keduanya adalah wajah dari satu keresahan yang sama: keterasingan manusia dari alam.

Baca Koran

Di kota-kota besar, dibangun dengan notifikasi, makan makanan instan, dan menghirup udara yang tak lagi segar. Di tengah itu semua, tekanan batin tumbuh diam-diam. Lalu diberi saran: meditasi, journaling, pergi ke psikolog. Tapi ada satu hal yang jarang disebut—bahwa memelihara bumi juga bisa menyembuhkan jiwa.

Konsep ini dikenal sebagai ekologi emosional, sebuah gagasan yang berkembang dari ekopsikologi. Ia menyatakan bahwa keterhubungan emosional manusia dengan alam bisa menjadi bagian penting dalam menjaga kesehatan mental. Dalam skala mikro, ini bisa bermula dari hal sederhana: membuat kompos, menyiram tanaman, memilah sampah. Kedengarannya sepele. Tapi dalam dunia yang serba cepat dan kacau, aktivitas itu memberi rasa tenang dan kontrol.

Mari ambil contoh composting. Saat seseorang memisahkan kulit buah, nasi basi, dan ampas kopi untuk dijadikan kompos, ia sedang melakukan lebih dari sekadar pengelolaan sampah. Ia menyaksikan proses pembusukan, perubahan, dan kelahiran ulang. Secara psikologis, ini disebut grounding—aktivitas fisik yang membawa kita hadir utuh di saat ini. Dalam sebuah studi yang dipublikasikan oleh Frontiers in Psychology (2021), berkebun dan pengelolaan kompos terbukti menurunkan stres, meningkatkan fokus, dan memberi rasa makna.

Tanpa kebetulan jika banyak orang yang sedang mengalami burn out mulai mencari pelarian ke tanaman, kebun mini, atau komunitas zero waste. Di sana, mereka tak hanya belajar soal lingkungan, tapi juga menemukan ritme hidup yang lebih lambat dan bisa dipahami. Dalam aktivitas yang berulang—menanam, menyiram, menunggu tumbuh—kita belajar kembali mengenali waktu, kesabaran, dan harapan.

Baca Juga :  Konsistensi Pahlawan Lingkungan Kalpataru Lestari untuk Indonesia

Di sisi lain, daur ulang dan pemilahan sampah bisa memberi rasa kuasa dalam dunia yang tampaknya sulit dikendalikan. Ketika kita merasa kecil di hadapan krisis iklim atau hiruk-pikuk sosial, memilah sampah dan mengelolanya secara sadar memberi perasaan bahwa kita masih bisa melakukan sesuatu. Kita punya peran. Kita terhubung dengan siklus kehidupan.

Bank sampah dan komunitas pengelola limbah di banyak kota Indonesia menunjukkan dampak ini secara nyata. Tidak sedikit anggota komunitas yang melaporkan bahwa kegiatan daur ulang membawa rasa percaya diri dan koneksi sosial yang selama ini hilang. Tindakan kecil ini menjadi jembatan antara dunia luar yang keras dan kebutuhan batin untuk merasa berguna.

Menariknya, banyak kegiatan lingkungan justru dilakukan oleh orang-orang yang sebelumnya merasa tidak punya tempat dalam sistem besar. Mereka bukan pejabat, bukan ilmuwan, bukan aktivis profesional. Mereka ibu rumah tangga, mahasiswa, atau pekerja biasa yang memutuskan untuk tidak menambah sampah hari ini. Dan dari keputusan kecil itu, terbentuk keberanian, keteguhan, bahkan pemulihan.

Kita hidup dalam dunia yang membuat kita cepat merasa “tidak cukup”. Kita dikejar produktivitas, pencapaian, dan citra diri. Di tengah itu, bumi mengajarkan hal yang berbeda. Alam tidak menuntut hasil secepat mungkin. Ia bekerja dalam diam, dalam siklus, dalam waktu yang tidak bisa diburu.

Maka, merawat bumi bisa menjadi bentuk perlawanan halus terhadap dunia yang terburu-buru. Ia adalah tindakan spiritual, psikologis, dan ekologis sekaligus. Dalam menyapu daun, menyiram tanaman, atau menolak kantong plastik, kita sedang menyambung kembali ikatan yang sempat putus: antara manusia dan tempat tinggalnya.

Merawat bumi bukan sekadar soal menyelamatkan planet ini. Ia adalah proses menyelamatkan kita sendiri—agar tetap waras, tetap sadar, dan tetap punya arah di tengah kebisingan hidup.

Baca Juga :  YAHYA

Karena di balik kulit pisang yang dibuang, di balik sampah yang diurai maggot, atau dalam diamnya tanaman yang tumbuh pelan, ada pelajaran hidup yang barangkali tak bisa kita temukan di layar ponsel.

Iklan
Iklan