Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Berawal dari Tenun Bali, Bangkitkan Asa Sasirangan Alam Banua Membangun Ekonomi Hijau dari Warisan Budaya

×

Berawal dari Tenun Bali, Bangkitkan Asa Sasirangan Alam Banua Membangun Ekonomi Hijau dari Warisan Budaya

Sebarkan artikel ini
IMG 20251010 135016
Dr. Sri Maulida

Oleh: Dr. Sri Maulida
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lambung Mangkurat

Ada sesuatu yang lembut tetapi kuat dalam setiap helai kain yang ditenun dengan cinta. Kain bukan sekadar benda, melainkan bahasa dari tangan-tangan yang bekerja dan mimpi yang disulam di antara benang dan waktu.

Kalimantan Post

Itulah kesan yang saya rasakan ketika menginjakkan kaki di rumah tenun Bali Agung Collection di Bangli, Bali. Di ruangan sederhana nan hangat, irama alat tenun berpadu dengan wajah-wajah pengrajin yang menuntaskan setiap helai kain dengan ketelitian dan cinta.

Perjalanan singkat itu menyisakan renungan mendalam. Saya mendengarkan kisah Anak Agung Indra Dwipayani, perempuan Bali yang memulai usaha tenun dari nol, hanya bermodal Rp2,5 juta dan semangat pantang menyerah.

“Awalnya hanya lima belas potong kain. Saya ikut pameran, dan Ibu Negara Iriana Joko Widodo membeli semuanya. Dari situ hidup kami berubah,” tuturnya.

Kini, Bali Agung Collection menembus pasar internasional mengekspor ke Jepang, Portugal, dan beberapa negara lain. Omzetnya miliaran rupiah, dengan lebih dari 150 pengrajin aktif. Produk mereka menjadi simbol keanggunan budaya Bali yang berdaya saing global.

Kisah sukses itu mengingatkan saya pada para pengrajin Sasirangan di Banjarmasin mayoritas perempuan tangguh yang bekerja di rumah-rumah kecil di tepi sungai, di antara air pewarna dan kompor panas. Mereka pun menenun harapan yang sama: agar karya mereka tak sekadar menjadi cendera mata, tetapi kebanggaan Banua.

Namun, keberhasilan Bali Agung Collection tidak semata lahir dari kerja keras individu, melainkan karena ekosistem yang tumbuh bersama. Pemerintah daerah memberi ruang, Bank Indonesia hadir mendampingi, lembaga keuangan mendukung permodalan, dan masyarakat bangga menggunakan produk lokal. Inilah rantai keberhasilan yang patut dicontoh oleh Kalimantan Selatan.

Baca Juga :  Kasus Raya, Lemahnya Perlindungan Negara Terhadap Anak

Sasirangan memiliki segala modal untuk tumbuh: motif khas, bahan alami melimpah, serta filosofi yang mendalam. Sayangnya, kita masih kerap memandangnya sebatas produk budaya, bukan komoditas ekonomi bernilai tinggi.

Padahal, Sasirangan alam dengan pewarna dari secang, mangrove, kunyit, hingga daun jati — memiliki potensi besar dalam membangun ekonomi hijau. Dunia kini menghargai cerita di balik produk, dan Sasirangan punya kisah yang tak kalah indah: tentang sungai, tanah rawa, dan tangan-tangan Banua yang kreatif.

Bayangkan jika di Banjarmasin hadir Rumah Sasirangan Alam Banua, tempat pengrajin, peneliti, dan pelaku usaha duduk satu meja. Kampus menjadi pusat inovasi, pemerintah memfasilitasi desain dan pemasaran, dan lembaga keuangan memberi pembiayaan berbasis komunitas.

IMG 20251010 WA0031

Dengan kolaborasi semacam ini, Sasirangan tak lagi sekadar simbol budaya, tetapi motor ekonomi berkelanjutan yang menyejahterakan masyarakat.

Dalam setiap helai Sasirangan terkandung filosofi kesabaran dan kesadaran ekologis. Para pengrajin yang beralih ke pewarna alami tidak hanya mengikuti tren pasar, tetapi juga berkontribusi menyelamatkan lingkungan sungai dari limbah kimia.

Inilah kekuatan sejati ekonomi kreatif: menghubungkan budaya, lingkungan, dan kesejahteraan.

Jika tenun Bali mampu mengubah wajah ekonomi lokal karena kesadaran kolektif, maka Sasirangan juga bisa. Kuncinya: kolaborasi, kurasi, dan promosi lintas daerah.

Sasirangan bukan hanya kain; ia adalah diplomat budaya. Ketika seseorang memakainya di luar negeri, ia membawa cerita Banua tentang kerja keras, kearifan lokal, dan harmoni dengan alam.

Nilai dan estetika berpadu menjadi daya saing global kekuatan yang tak bisa dipalsukan oleh mesin atau industri besar.

Banjarmasin memiliki modal sosial besar: pengrajin terampil, akademisi, kelompok perempuan, dan semangat gotong royong. Kini tinggal bagaimana menyatukan semua potensi itu dalam satu ekosistem ekonomi hijau.

Baca Juga :  DOA DI ZAMAN INI

Perguruan tinggi bisa menjadi pusat inovasi, pemerintah memfasilitasi pasar, dan generasi muda perlu menumbuhkan kebanggaan memakai produk sendiri.

Jika di Bali modal Rp2,5 juta bisa tumbuh menjadi omzet Rp2,5 miliar, maka di Banua satu helai Sasirangan pun bisa menenun masa depan.

Sebab sejatinya, yang kita tenun bukan hanya kain tetapi harapan Kalimantan Selatan yang hijau, mandiri, dan berdaya saing.

Iklan
Iklan