Penulis:
Dr. Rico, S.Pd., M.I.Kom
Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNISKA MAB Banjarmasin
Prof. Andi Faisal Bakti, M.A., Ph.D.
Guru Besar Ilmu Komunikasi dan Komunikasi Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dr. Frengki Napitupulu, M.Si.
Dosen Ilmu Komunikasi Sekolah Pascasarjana Universitas Sahid Jakarta
Di tengah derasnya arus globalisasi dan gempuran teknologi digital, Generasi Z hidup dalam dunia yang serba cepat, penuh simbol, dan berlapis makna. Setiap unggahan di media sosial, setiap emoji, hingga pilihan gaya hidup adalah bentuk tanda yang mengandung pesan tentang siapa mereka dan bagaimana mereka ingin dilihat. Di balik kemajuan teknologi dan kebebasan berekspresi ini, muncul kegelisahan baru: generasi muda sering kehilangan “akar makna” dari simbol-simbol budaya yang membentuk identitas mereka.
Dalam konteks inilah Huma Betang rumah tradisional masyarakat Dayak kembali relevan. Ia bukan hanya bangunan kayu yang megah di tepian sungai Kalimantan, melainkan sistem tanda budaya yang sarat nilai spiritual, sosial, dan ekologis. Huma Betang mengajarkan keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan; nilai yang semakin jarang ditemukan di tengah dunia digital yang individualistik.
Ferdinand de Saussure pernah menyatakan bahwa tanda adalah gabungan antara penanda (signifier) dan petanda (signified), di mana hubungan keduanya dibentuk oleh kesepakatan sosial. Dalam kerangka ini, Huma Betang adalah penanda, sementara nilai kebersamaan, toleransi, dan harmoni menjadi petandanya. Sementara itu, Charles Sanders Peirce menambahkan satu dimensi penting: tanda tidak hanya menghubungkan objek dengan makna, tetapi juga menciptakan interpretant—pemahaman yang lahir dalam benak manusia. Artinya, setiap generasi bebas menafsirkan ulang makna Huma Betang sesuai konteks zamannya.
Roland Barthes kemudian memperluas gagasan ini dengan menyebut bahwa tanda dapat menjelma menjadi mitos yakni makna kultural yang hidup dan membentuk cara manusia memahami realitas. Dalam konteks Generasi Z, Huma Betang bisa menjadi mitos modern: simbol yang mengingatkan bahwa kemajuan tidak boleh mengorbankan kemanusiaan, spiritualitas, dan relasi dengan alam.
Melalui lensa semiotika inilah, Huma Betang tak lagi sekadar warisan arsitektur, melainkan ruang dialog antara nilai tradisional dan realitas digital masa kini, sebuah jembatan antara kearifan lokal dan identitas global yang sedang dibentuk oleh Generasi Z.
Huma Betang sebagai Sistem Tanda Budaya
Bagi masyarakat Dayak, Huma Betang bukan sekadar tempat tinggal. Ia adalah representasi cara pandang terhadap kehidupan tentang bagaimana manusia berelasi dengan sesama, dengan alam, dan dengan Tuhan. Di setiap tiang, ukiran, dan ruang yang terbuka, tersimpan tanda-tanda yang merekam perjalanan spiritual dan sosial masyarakatnya. Nilai kebersamaan, gotong royong, dan toleransi tidak hanya diajarkan lewat kata-kata, tetapi diwujudkan secara fisik melalui struktur bangunan yang menampung banyak keluarga dalam satu atap yang sama.
Ferdinand de Saussure menyebut bahwa bahasa dan tanda adalah hasil kesepakatan sosial. Artinya, Huma Betang dapat dipahami sebagai bahasa yang digunakan masyarakat Dayak untuk “berbicara” tentang nilai-nilai hidup mereka. Bentuk rumah yang panjang menggambarkan konsep keterbukaan dan kesetaraan; tidak ada sekat yang tebal antara satu ruang dengan ruang lain, sebagaimana tidak ada jarak sosial antara satu individu dengan individu lainnya.
Dalam kerangka triadik Charles Sanders Peirce representamen, object, dan interpretant Huma Betang berperan sebagai representamen, yaitu bentuk fisik dari tanda. Nilai-nilai luhur seperti persaudaraan, penghormatan terhadap alam, dan spiritualitas menjadi object-nya, sedangkan interpretant-nya adalah makna yang dihasilkan oleh masyarakat yang menafsirkannya. Dengan demikian, ketika Generasi Z melihat Huma Betang hari ini, mereka tidak sekadar menyaksikan artefak budaya, melainkan menafsirkan kembali hubungan antara manusia, lingkungan, dan teknologi dalam konteks modern.
Roland Barthes menambahkan bahwa tanda budaya sering kali berkembang menjadi mitos sebuah narasi simbolik yang hidup di dalam masyarakat. Huma Betang sebagai mitos bukan berarti dongeng yang tidak nyata, tetapi sistem makna yang terus diwariskan dari generasi ke generasi. Dalam mitos ini, manusia dan alam bukan dua entitas yang berlawanan, melainkan bagian dari satu kesatuan kosmis. Mitos tersebut menegaskan bahwa kehidupan yang sejati tidak diukur dari kepemilikan material, tetapi dari keharmonisan dengan alam dan sesama.
Dengan membaca Huma Betang sebagai sistem tanda budaya, kita belajar bahwa komunikasi tidak selalu hadir dalam bentuk kata-kata. Ia bisa muncul dalam arsitektur, simbol, bahkan gaya hidup yang mencerminkan filosofi hidup bersama. Di sinilah letak relevansi Huma Betang bagi dunia modern sebuah ajakan untuk kembali menafsirkan makna hidup melalui tanda-tanda yang penuh kebijaksanaan.
Pencarian Identitas di Era Digital
Generasi Z tumbuh dalam ekosistem digital yang menampilkan jutaan citra, gaya hidup, dan sistem nilai yang datang dari berbagai penjuru dunia. Di media sosial, identitas sering kali dibangun melalui representasi visual foto, caption, atau bahkan algoritma yang menentukan apa yang layak tampil. Namun di tengah keberlimpahan tanda itu, banyak anak muda justru mengalami overload makna: kebingungan menentukan siapa diri mereka yang sesungguhnya.
Huma Betang memberi alternatif cara pandang yang menyejukkan. Dalam filosofi Dayak, identitas bukan sekadar apa yang tampak di permukaan, melainkan hasil dari interaksi yang harmonis dengan lingkungan dan sesama. Bila mengikuti logika Ferdinand de Saussure, Generasi Z sedang dikelilingi oleh signifier yang kehilangan signified bentuk tanpa makna. Melalui nilai-nilai Huma Betang, mereka diajak untuk merekatkan kembali makna itu: menjadikan kebersamaan, penghormatan terhadap alam, dan spiritualitas sebagai “petanda” baru yang membumi di tengah dunia digital yang cair.
Spiritualitas dan Ekologisme
Di tengah kemajuan teknologi, isu keberlanjutan lingkungan dan krisis spiritualitas menjadi kegelisahan kolektif Generasi Z. Mereka adalah generasi yang paling sadar akan ancaman perubahan iklim, namun juga yang paling rentan terhadap kehilangan makna hidup di balik layar digital.
Huma Betang menghadirkan paradigma yang relevan: spiritualitas tidak hanya berbicara tentang hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga tentang tanggung jawab terhadap bumi. Dalam perspektif semiotik Charles Sanders Peirce, alam dalam sistem budaya Dayak bukan sekadar object yang diamati, tetapi bagian dari jaringan tanda yang hidup representamen yang menyampaikan pesan moral. Dengan menafsirkan simbol-simbol Huma Betang seperti Batang Garing dan Burung Tingang, Generasi Z dapat menemukan kembali spiritualitas ekologis: kesadaran bahwa setiap tindakan manusia memiliki resonansi terhadap alam dan sesama.
Gotong Royong dan Relasi Sosial
Kemajuan teknologi menciptakan konektivitas tanpa batas, namun paradoksnya, banyak anak muda merasa semakin terasing. Hubungan sosial menjadi transaksional, interaksi digital sering kali dangkal. Dalam situasi ini, falsafah Huma Betang menawarkan nilai tandingan: hidup bersama dalam keragaman dan membangun relasi yang setara.
Roland Barthes menulis bahwa mitos budaya bekerja dengan cara menormalkan nilai-nilai tertentu dalam kehidupan sosial. Mitos Huma Betang mengandung pesan bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada individualitas ekstrem, tetapi pada kemampuan manusia untuk hidup rukun dalam perbedaan. Konsep gotong royong yang tertanam dalam struktur rumah panjang adalah bentuk komunikasi sosial yang nyata pesan nonverbal bahwa kebersamaan adalah cara bertahan hidup.
Bagi Generasi Z, semangat ini bisa diterjemahkan dalam konteks modern: kolaborasi digital, solidaritas lintas budaya, dan kepedulian sosial yang melampaui batas algoritma. Huma Betang, dengan segala kesederhanaannya, mengingatkan bahwa kemajuan teknologi seharusnya memperkuat kemanusiaan, bukan menguranginya.
Tantangan dan Peluang
Menjadikan Huma Betang relevan bagi Generasi Z tentu bukan perkara sederhana. Tantangan utama terletak pada cara generasi muda memahami simbol budaya di tengah arus informasi yang serba cepat. Di era ketika visualisasi budaya sering kali hanya dijadikan latar estetika untuk konten media sosial, makna mendalam dari simbol-simbol tradisional kerap tereduksi menjadi sekadar “hiasan visual”. Dalam konteks ini, Huma Betang berisiko terjebak menjadi tanda tanpa pesan signifier tanpa signified, seperti diingatkan oleh Ferdinand de Saussure.
Selain itu, Generasi Z hidup di dalam logika algoritma yang mendorong individualitas dan kecepatan. Nilai-nilai reflektif, seperti kebersamaan dan spiritualitas yang terkandung dalam Huma Betang, membutuhkan waktu, ruang, dan interaksi yang nyata. Dunia digital, yang serba instan, sering kali tidak memberi cukup ruang untuk proses mendalam tersebut. Tantangannya adalah bagaimana menghadirkan kembali nilai-nilai Huma Betang dalam bentuk yang dapat “dibaca” dan dihayati oleh generasi yang terbiasa dengan simbol-simbol cepat dan fragmentaris.
Namun, di balik tantangan itu tersimpan peluang besar. Generasi Z dikenal sebagai generasi yang kreatif dan terbuka terhadap pembaruan makna. Di sinilah relevansi pandangan Charles Sanders Peirce menjadi penting bahwa makna tidak pernah final, tetapi terus berkembang melalui proses interpretasi. Dengan pendekatan ini, simbol-simbol Huma Betang bisa dihidupkan kembali melalui cara-cara baru: karya desain, musik, film pendek, augmented reality, atau konten edukatif di media sosial yang menggugah kesadaran akan akar budaya.
Roland Barthes menegaskan bahwa mitos tidak pernah mati, melainkan bertransformasi sesuai zamannya. Maka, Huma Betang memiliki peluang besar untuk menjadi mitos baru bagi Generasi Z: bukan mitos masa lalu yang statis, melainkan narasi hidup tentang bagaimana manusia bisa menemukan keseimbangan di tengah kekacauan digital.
Peluang ini juga membuka ruang bagi dialog antarbudaya antara nilai lokal dan global, antara tradisi dan modernitas. Ketika Generasi Z mulai melihat Huma Betang bukan sebagai simbol eksotis, tetapi sebagai cermin diri dan pedoman hidup, maka kebudayaan Dayak telah berhasil “berkomunikasi” melintasi ruang dan generasi. Di titik inilah, Huma Betang tidak hanya berdiri sebagai rumah panjang masyarakat Dayak, tetapi juga sebagai rumah makna bagi manusia modern yang sedang mencari arah di dunia digital.
Pada akhirnya, Huma Betang bukan sekadar warisan arsitektur yang berdiri megah di tepian sungai Kalimantan. Ia adalah teks budaya yang terus berbicara, menawarkan makna-makna baru kepada setiap generasi yang mau membacanya. Di dalam kayu yang menua, ukiran yang mengalun, dan ruang-ruang yang terbuka, terkandung pesan universal tentang bagaimana manusia seharusnya hidup: selaras dengan alam, bersahabat dengan sesama, dan tunduk kepada Sang Pencipta.
Generasi Z, dengan segala kecerdasan dan kepekaan digitalnya, memiliki kesempatan besar untuk menafsirkan ulang pesan itu. Mereka bisa menjadikan Huma Betang bukan sekadar simbol masa lalu, melainkan inspirasi masa depan tempat di mana teknologi dan tradisi bisa berjalan berdampingan, membentuk ekosistem makna yang baru. Dalam dunia yang sering kehilangan arah karena banjir informasi, Huma Betang mengingatkan bahwa makna sejati justru tumbuh dari kesadaran akan keterhubungan: antara manusia, alam, dan spiritualitas.
Ferdinand de Saussure mengajarkan bahwa makna terbentuk dari relasi; Peirce menegaskan bahwa makna hidup dalam proses interpretasi; dan Barthes mengingatkan bahwa mitos hanya bertahan jika terus diperbarui. Ketiganya berpadu dalam semangat Huma Betang simbol yang tidak hanya mengajarkan cara hidup, tetapi juga cara memahami kehidupan.
Kini, tugas Generasi Z bukan sekadar melestarikan, melainkan menghidupkan. Mengubah filosofi Huma Betang menjadi nilai yang bisa dirasakan di dunia modern: dalam solidaritas digital, dalam gerakan ramah lingkungan, dalam karya kreatif yang menanamkan pesan kebersamaan dan harmoni.
Sebab pada akhirnya, Huma Betang bukan hanya rumah bagi masyarakat Dayak, tetapi rumah bagi seluruh manusia yang sedang mencari keseimbangan antara kemajuan dan kemanusiaan. Rumah yang mengajarkan bahwa di tengah dunia yang penuh simbol dan kebisingan, makna sejati selalu lahir dari hati yang tahu menghargai kehidupan.
“Huma Betang bukan nostalgia, tapi energi masa depan tempat di mana koneksi bukan sekadar jaringan digital, melainkan ikatan makna antara manusia, alam, dan Tuhan” (Rico, Bakti, Napitupulu, 2025)