Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Perempuan Berperan Domestik dan Publik

×

Perempuan Berperan Domestik dan Publik

Sebarkan artikel ini

Oleh : Nailah, ST
Pemerhati sosial politik

Di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, peran perempuan dalam kepemimpinan semakin menonjol. Di level daerah, banyak perempuan menjabat sebagai gubernur, wali kota, bupati, atau pimpinan lembaga publik maupun swasta. Fakta ini menunjukkan bahwa secara kapasitas, perempuan mampu memimpin, berprestasi, dan bersaing dengan laki-laki di ranah publik.

Kalimantan Post

Peran Politik Perempuan

Menjadi pertanyaan besar, peran politik perempuan seperti apa yang diharapkan? Faktanya, kepemimpinan perempuan justru makin menghilangkan peran perempuan yang sebenarnya. Perempuan akan mendapat beban lebih berat dan sering kali justru yang dikorbankan adalah peran utamanya sebagai ibu dan pengelola rumah suaminya.

Di satu sisi, perempuan didorong dan diseret untuk bekerja, dengan asumsi bahwa perempuan yang bekerja dan menghasilkan sesuatu secara materi akan menjadikan perempuan diperhitungkan dan dinilai mulia. Malangnya, perempuan dipaksa pula bersaing dengan laki-laki di dunia kerja yang keras.

Di sisi lain, perempuan dipaksa meninggalkan anak-anaknya di rumah bersama pembantu, baby sitter, atau di tempat penitipan anak. Ketika yang terjadi munculnya anak-anak “bermasalah”, siapa yang akhirnya dipersalahkan? Jelas ibunya lagi, perempuan lagi. Akhirnya, sudah jatuh, tertimpa tangga.

Oleh karenanya, terjadi kerusakan yang bukan hanya menimpa diri perempuan itu sendiri, melainkan keluarga dan anak-anaknya pun menjadi korban. Inikah yang dinamakan terpenuhinya hak-hak perempuan? Alih-alih terpenuhi, justru yang terjadi adalah perempuan menjadi berperan ganda (double burden), triple burden, bahkan lebih.

Analogi “penjahit wanita tidak selalu wanita” memang tidak salah. Bisa jadi benar pula bahwa tidak masalah perempuan dipimpin oleh laki-laki ataupun perempuan. Hanya saja, bukan karena pemimpin tersebut berperspektif baik terhadap perempuan yang bisa menjamin hak-hak perempuan, melainkan jika pemimpin tersebut menerapkan aturan yang benar dan baku, sesuai fitrah manusia, dan memuaskan akal yang akhirnya akan menenteramkan jiwa.

Bukan Masalah Mampu atau Tidak

Muncul perbedaan pendapat terkait persoalan mampu atau tidaknya perempuan berperan sebagai seorang pemimpin. Padahal, aturan Islam—lebih tepatnya tuntutan atau perintah melakukan suatu perbuatan—tidak melulu terkait mampu atau tidaknya. Misalnya, kewajiban salat dengan berdiri, juga puasa atau haji yang terkait kemampuan. Akan tetapi, terkait kewajiban memakai khimar dan jilbab bagi perempuan tidaklah terkait mampu atau tidak. Ini karena seorang muslimah diwajibkan untuk memakai pakaian secara sempurna dan harus ditunaikan sesuai tuntutan dalilnya.

Baca Juga :  MENYAYANGI ORANG MISKIN

Lalu bagaimana dengan kepemimpinan perempuan? Jika kita cermati dalil-dalil terkait kepemimpinan perempuan, kita tidak menemukan adanya tuntutan “mampu” di dalamnya. Salah satu hadis tentang larangan perempuan pada posisi kekuasaan adalah hadis sahih yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah. “Tidak akan pernah menang suatu kaum yang menyerahkan urusan (kekuasaannya) kepada perempuan.” (HR Bukhari).

Kesejahteraan perempuan

Islam sebagai sistem hidup sempurna yang diturunkan Allah Swt. memandang laki-laki dan perempuan sebagai manusia yang wajib untuk disejahterakan. Dalam Islam tidak ada dan tidak akan pernah ada konsep perempuan sejahtera hanya bila pemimpinnya juga perempuan.

Islam tidak membutuhkan konsep kesetaraan gender, bahkan mengharamkannya. Meski khalifah sebagai pemimpin negara harus laki-laki, ia terikat pada kewajiban melayani rakyat dan memenuhi kebutuhannya, baik laki-laki maupun perempuan. Meski perempuan haram menjadi pemimpin dalam pemerintahan, tetapi perempuan boleh berkiprah dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk politik sesuai dengan hukum syarak.

Perempuan boleh memilih, bisa menjadi anggota majelis umat, juga boleh mengoreksi penguasa. Perempuan boleh memberikan masukan atas berbagai kebijakan negara, lebih-lebih yang terkait dengan kesejahteraan perempuan. Sejarah mencatat bagaimana Ummu Salamah memberikan saran pada Rasulullah SAW untuk bertahalul ketika para Sahabat masih berat bertahalul selepas perjanjian Hudaibiyah.

Jadi, dalam Islam, perempuan bukan hanya diambil suaranya demi kepentingan kelompok tertentu, tetapi juga didengar suaranya, dan dipenuhi hak-haknya, termasuk menjamin kesejahteraannya.

Peran domestik dan publik

Sesungguhnya Islam tidak pernah mendikotomikan antara peran domestik dan peran publik perempuan. Ini karena peran yang dianggap domestik juga bisa bernilai politik. Dalam Islam, peran seorang ibu rumah tangga tidak akan dianggap remeh. Ketika ia paham peran strategisnya, akan lahir dari rahimnya anak-anak yang siap untuk memperjuangkan Islam. Dalam pandangan Islam, seorang ibu adalah pencetak generasi berkualitas prima yang doa-doanya senantiasa Allah dan siap berkorban untuk Islam.

Baca Juga :  Santun dan Sederhana

Lebih dari itu, seorang muslim harus menyadari bahwa Islam sangat menjaga kemuliaan dan ketinggian martabat perempuan. Semua itu semata-mata karena Allah sangat memahami hal yang terbaik bagi manusia, baik laki-laki dan perempuan.

Oleh karenanya, Allah telah menetapkan bahwa peran utama dan strategis bagi perempuan adalah sebagai ummu wa rabbatul bait. Akan tetapi, ia pun berkewajiban untuk membangun bangsanya sebagai bagian dari peran publiknya.

Sejarah telah mencatat bahwa kaum perempuan pada masa Rasulullah, yaitu para shahabiyat, melakukan aktivitas dan perjuangan politik bersama-sama Rasulullah saw. dan para sahabat lainnya tanpa memisahkan barisan mereka dari barisan Rasul dan para sahabatnya.

Begitu pun dengan peran istri-istri Rasulullah dan para shahabiyat dalam perjuangan menegakkan Islam di muka bumi ini dan dukungan mereka untuk perjuangan Rasul SAW, sesungguhnya merupakan bukti nyata bahwa perempuan berperan dalam membangun masyarakat Islam.

Tentu kita masih ingat Asma’ binti Abu Bakar. Dalam keadaan hamil besar, dengan keberanian dan kecerdikannya, ia mampu memuluskan jalan bagi Rasulullah dan ayahnya untuk berhijrah ke Madinah dan kemudian tegak negara Islam di sana.

Istimewanya, pada saat yang sama, mereka pun mampu melaksanakan peran utamanya sebagai ummun wa rabbatul bait (ibu dan pengelola rumah suaminya), berhasil mencetak generasi terbaik–generasi mujahid dan mujtahid—yang mampu membangun peradaban Islam yang tinggi dan cemerlang. Generasi demikian lahir dari ibu-ibu yang paham Islam, mengajarkan Islam kafah kepada anak-anaknya, serta mengajarkan Islam sebagai ideologi yang lahir darinya berbagai aturan yang sempurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Tidak heran jika umat Islam pada rentang tersebut betul-betul bisa tampil sebagai khairu ummah.

Iklan
Iklan