Oleh : Muhammad Maulana
Direktur Institute for Budget and Policy Studies (IBPS)
Pemerintah melalui juru bicaranya untuk penangan Virus Covid-19, Dr. Achmad Yurianto telah menyatakan Indonesia dalam kondisi tanggap darurat bencana non-alam. Menurutnya, ini menandakan situasi yang lebih serius dibandingkan Keadaan Luar Biasa (KLB) yang sebelumnya dinyatakan sejumlah pemerintah daerah seperti Kota Solo dan Provinsi Banten.
Menurut UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Bencana Non-Alam merupakan bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non-alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
Lebih lanjut, juru bicara pemerintah menyatakan bahwa jumlah kasus positif infeksi virus tersebut per 15 Maret lalu telah mencapai 117 orang. Tersebar di sejumlah daerah seperi Jakarta, Banten, Tangerang, Bandung, Solo, dan Bali.
Pemerintah telah membuat sejumlah kebijakan untuk merespons persoalan ini. Di antaranya adalah dengan mengkarantina Warga Negara Indonesia yang dinyatakan positif setelah kembali dari luar negeri, memperketat pemeriksaan di bandara maupun pelabuhan internasional, hingga memastikan gratis biaya pemeriksaan pasien yang positif terinfeksi Covid-19. Seluruh pelaksanaan kebijakan ini tentu memerlukan dukungan anggaran yang cukup.
Lalu dari mana sumber anggaran pemerintah Indonesia menjalankan kebijakan tersebut? APBN 2020 telah diketuk palu ketika kasus pertama infeksi Covid-19 ini dilaporkan pada 31 Desember 2019 di Wuhan, China.
Apakah pemerintah memiliki pos anggaran yang dapat digunakan untuk menjalankan kebijakan yang belum dianggarkan, seperti penanganan pandemi Covid-19 ini? Jika ada anggaran yang tersedia, lalu berapa alokasinya untuk tahun 2020?
Anggaran untuk Pandemi
Hasil penelusuran Institute for Budget and Policy Studies (IBPS) menunjukkan pemerintah sesungguhnya memiliki pos belanja darurat yang dapat digunakan untuk penanganan pandemi Covid-19.
Dalam struktur APBN terdapat satu pos belanja yang dikenal dengan ‘Belanja Lain-Lain’ yang berada di kelompok ‘Belanja Pemerintah Pusat’. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 102 /PMK.02/ 2018 tentang Klasifikasi Anggaran menyebutkan Belanja Lain-Lain merupakan pengeluaran negara dengan dua kriteria utama.
Pertama, digunakan untuk pembayaran atas kewajiban pemerintah yang tidak termasuk dalam kategori belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, belanja pembayaran kewajiban utang, subsidi, hibah, dan belanja bantuan sosial. Kedua, pengeluaran tersebut bersifat mendesak dan tidak dapat diprediksi sebelumnya. Kriteria kedua jenis belanja ini perlu digarisbawahi.
Lebih lanjut, PMK No. 102 /PMK.02/ 2018 menjelaskan pos belanja tersebut dapat dipergunakan untuk enam hal, salah satunya adalah untuk tanggap darurat. Artinya, pos belanja ini dapat digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintah yang terkait dengan kondisi negara yang bersifat darurat dan penanganan segera. Dengan kata lain, kebijakan pemerintah menangani pandemi Covid-19, yang belum mendapatkan alokasi anggaran dalam APBN 2020, dapat tetap dijalankan dengan menggunakan pos Belanja Lain-Lain.
Pada praktiknya, anggaran belanja lain-lain ini jarang sekali digunakan oleh pemerintah. Hal ini terlihat pada realisasi anggarannya yang secara rata-rata hanya 25 persen dalam empat tahun terakhir. Pada 2015, Belanja Lain-Lain hanya terserap 31,8 persen, lalu 26,7 persen di 2016, 17,7 persen di 2017, dan 24 persen di 2018. Realisasi anggarannya juga selalu menjadi yang paling buncit di antara pos belanja negara lainnya.
Selama kurun waktu yang sama, anggaran belanja lain-lain juga belum pernah digunakan untuk tanggap darurat. Hal ini tentu karena belum ada kondisi yang mendesak. Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2015 sampai 2018 menunjukkan bahwa penggunaan anggaran pada pos Belanja Lain-Lain umumnya digunakan untuk mendukung pelaksanaan tugas Kementerian Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara (BUN).
Pada 2018, misalnya, realisasi Belanja Lain-Lain BUN menyerap hingga Rp 10,9 triliun atau 67 persen dari Pos Belanja Lain-Lain. Sayangnya tidak ada rincian untuk apa saja anggaran tersebut digunakan oleh Kementerian Keuangan.
Pada tahun ini, anggaran untuk Belanja Lain-Lain ditetapkan sebesar Rp 128 triliun atau 8 persen dari Belanja Pemerintah Pusat. Dibandingkan dengan APBN 2019, alokasi belanja lain-lain di 2020 ini meningkat Rp 14 triliun atau 12 persen. Sampai di sini, sudah jelas dari mana sumber anggaran pemerintah untuk menangani pandemi Covid-19 di Indonesia.
Dengan ketersediaan anggaran ini seharusnya pemerintah Indonesia siap dan sigap dalam penanganan pandemi Covid-19 yang tengah menggurita. Kementerian Kesehatan dan para pakar kebijakan di lingkaran pemerintah pusat semestinya memahami berapa biaya yang diperlukan untuk menyelesaikan pandemi ini. Tidak ada alasan kerja lamban karena tidak ada anggaran.
Sayangnya, pemerintah pusat nampak kurang cekat mengendalikan penyebaran Covid-19. Kalangan publik menilai pemerintah cenderung tertutup. Seolah tidak menginginkan masalah ini berakibat buruk pada perekonomian nasional. Grand Design penanganan Covid-19 yang digandrungi publik juga tidak urung tersampaikan.
Belum Prioritas
Mengapa demikian? Karena penyusunan anggaran Belanja Lain-Lain untuk tanggap darurat tidak melibatkan Kementerian Teknis Bidang Kesehatan dan Lembaga Negara di bidang penanganan bencana.
Dalam buku berjudul Dasar-Dasar Praktek Penyusunan APBN di Indonesia, diterbitkan Kementerian Keuangan pada 2014, menyebutkan para pihak yang menentukan Belanja Lain-Lain adalah 1) Kementerian Keuangan, khususnya Badan Kebijakan Fiskal, Dirjen Perbendaharaan Negara, serta Dirjen Anggaran, 2) Kemenko Bidang Perekonomian, 3) Kementerian Pertanian, 4) Kementerian Perdagangan, 5) Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam/Bintan, Karimun, 6) Gubernur Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, 7) Perum BULOG, dan 8) Instansi Pengusul Program/Kegiatan.
Tidak ada kementerian teknis atau lembaga negara yang tugas pokok dan fungsinya di bidang kebencanaan. Dari seluruh pihak yang terlibat tersebut mengisyaratkan bahwa anggaran Belanja Lain-Lain lebih disiapkan oleh pemerintah pusat untuk bidang ekonomi. Pengendalian kebencanaan belum menjadi prioritas. Ini menunjukkan bahwa politik anggaran Indonesia belum cukup responsif dalam mitigasi risiko tanggap darurat kebencanaan.
APBN bersumber dari rakyat, harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemaslahatan rakyat. Dalam kondisi genting saat ini, sudah saatnya pemerintah pusat memanfaatkan anggaran yang tersedia tersebut secara efektif dan efisien untuk menuntaskan masalah pandemi Covid-19 ini.
APBN sebagai alat kebijakan tidak semestinya hanya memperhatikan pembangunan ekonomi. Di tengah ketidakpastian ekonomi global sebagai dampak Covid-19, politik anggaran harus tetap berpihak pada kesehatan warga negara!