Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Napi Bebas Berulah, Warga Kian Resah, Pemerintah Salah Langkah

×

Napi Bebas Berulah, Warga Kian Resah, Pemerintah Salah Langkah

Sebarkan artikel ini

Oleh : Uswatun Hasanah
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat

Berbagai dampak akibat covid-19 terus terjadi.Saat ini yang dikhawatirkan masyarakat bukan hanya mati terinfeksi virus. Namun juga mati kelaparan lantaran banyak rakyat yang tak berpenghasilan. Jika suatu masyarakat kebutuhan pokoknya tidak terpenuhi, maka konsekuensinya adalah kriminalitas meningkat. Seperti yang dilansir detik.com, pandemi virus corona (Covid-19) membuat semakin banyak buruh yang dirumahkan dan kena pemutusan hubungan kerja (PHK). Totalnya jika digabungkan telah mencapai 1.943.916 orang dari 114.340 perusahaan.

Baca Koran

Menurut Data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), rinciannya adalah pekerja sektor formal yang dirumahkan dan di-PHK ada sebesar 1.500.156 orang dari 83.546 perusahaan. Kemudian ditambah dengan pekerja sektor informal yang ikut terdampak virus corona sejumlah 443.760 orang dari 30.794 perusahaan.Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bahkan mengatakan ekonomi Indonesia di tengah wabah diprediksi akan menambah jumlah pengangguran baru. Sri menyampaikan skenario paling buruk adalah penambahan angka pengangguran yang mencapai 5,2 juta orang.

Di tengan kondisi yang memiliki potensi kriminalitas yang cenderung naik akibat menurunnya kesejahteraan, pemerintah mengeluarkan kebijakan pembebasan narapidana. Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, menerbitkan Keputusan Menteri (Kepmen) mengenai pembebasan napi demi mencegah penyebaran virus corona di penjara. Sejak Kepmen tersebut diterbitkan pada 30 Maret, hingga kini sudah 37 ribu narapidana yang bebas dengan program asimilasi dan integrasi. Tertuang dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 10 Tahun 2020, Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI No.M.HH-19 Pk.01.04.04 Tahun 2020, dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor: PAS-497.PK.01.04.04 Tahun 2020. (nasional.okezone.com, 12/4/2020)

Kebijakan ini lah yang menjadi poin kekhawatiran masyarakat pasca napi bebas.Pembebasan tersebut mempertimbangkan akan rawannya penyebaran Covid-19 di dalam lapas/rutan/LPKA di Indonesia yang notabenenya mengalami kelebihan penghuni. Namun perlu dipahami bahwa napi yang mendadak bebas itu tak ada jaminan bahwa mereka tak mengulangi tindak kejahatan lagi.

Terbukti, di berbagai daerah terdapat napi yang kembali ditangkap karena berbuat pidana.Tercatat 13 kasus kriminalitas yang dilakukan para napi yang baru keluar tersebut. Kasus pencurian motor, penjambretan, dan lain-lain. Napi Ditangkap Lagi Setelah Menjambret di Bandung padahal baru bebas dari lapas beberapa hari(Kompas.com). Polri menangkap kembali mantan narapidana yang mendapatkan asimilasi atau pengurangan hukuman dari Kementerian Hukum dan HAM guna mencegah penularan Covid-19. Ada 13 napi yang kembali ditangkap setelah bebas selama kurang lebih sepekan.(https://www.wartaekonomi.co.id/).

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Polisi Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan, 13 napi itu melakukan kejahatan kembali setelah mendapatkan asimilasi. 13 Napi yang melakukan kejahatan kembali tersebar di beberapa daerah.2 mantan narapidana ditangkap lagi di Surabaya, karena mereka melakukan penjambretan. Kemudian, Polrestabes Semarang menangkap 2 orang yang kembali beraksi menjadi kurir narkoba.Polisi juga berhasil menagkap 1 orang pelaku pencurian motor di Kalimantan Timur yang baru keluar 7 hari dari LP dan BNNP Bali menangkap 2 orang kurir ganja yang baru keluar 6 hari dari Lapas (https://www.wartaekonomi.co.id/).

Baca Juga :  Meningkatnya Penggunaan Gadget di Kalangan Siswa MI Nurul Hasanah Kecamatan Cempaka: Waspadai Dampak Jangka Panjang

Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Komjen Listyo Sigit Prabowo mengatakan 27 dari 38.822 narapidana yang keluar dari lembaga permasyarakatan (lapas) lewat program asimilasi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) dalam rangka pencegahan penularan virus Corona (COVID-19) kembali melakukan tindak kejahatan. Jika dipersentasekan, kata Sigit, sebanyak 0,07 persen napi asimilasi tak bertobat.

“Dari jumlah data napi yang dibebaskan sebesar 38.822 napi, ada 27 napi yang kembali melakukan kejahatan, 0,07 persen,” kata Sigit kepada detikcom, Selasa (21/4/2020). Sigit menuturkan kejahatan yang dilakukan para napi asimilasi antara lain pencurian disertai pemberatan (curat), pencurian kendaraan bermotor (curanmor), pencurian disertai kekerasan (curas), dan pelecehan seksual.Dari catatan detikcom, ada juga peristiwa perampokan di angkutan umum di Jakarta Utara (Jakut), yang dilakukan dua napi asimilasi, AR dan JN. AR ditembak mati karena menyerang petugas saat hendak ditangkap.

Memang Ditjen PAS mewajibkan napi yang dibebaskan agarmenjalani asimilasi di rumah. Namun sayangnya hal itu tak banyak memberi pengaruh besar bagi napi untuk menaati aturan tersebut. Wakapolresta mengaku telah bersurat pada Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) RI untuk meminta data tembusan daftar para napi. Meminta Kemenkumham selektif untuk memberikan asimilasi bagi warga binaan. (radarmalang.jawapos,14/4/2020)

Salah kaprah pemerintah dalam mengambil kebijakan bebaskan para napi, karena bukan mencegah penyebaran Covid-19 di dalam lapas tapi justru yang mengancam keamanan di tengah masyarakat.Apakah ini yang disebut kebijakan yang manusiawi? Tidakkah keamanan masyarakat menjadi bagian yang dipertimbangkan oleh pemerintah? Sebenarnya dari mana ide membebaskan para napi ini muncul.

Dilansir (Tribunnews.com 18/04/2020) Yasonna Laoly, menegaskan upaya pembebasan sekitar 35 ribu narapidana melalui program asimilasi dan integrasi berdasarkan alasan kemanusiaan. Menteri Yasonna Laoly menjelaskan bahwa kondisi lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan) di Indonesia masuk kategori over-capacity, alias kelebihan penghuni. Tak ada jaminan para napi tak tertular, karena para penjaga lapas keluar masuk area penjara.Selain alasan kemanusiaan, Yasonna pun menyampaikan hal demikian dilakukan sesuai rekomendasi PBB untuk seluruh dunia demi pencegahan Covid-19.

Keputusan Mentri Menuai Kontroversi

Program Asimilasi yang diluncurkan Menteri Hukum dan HAM sungguh berbuah pahit, pasalnya para napi yang dibebeskan itupun kembali berulah dan membuat warga resah. Banyak pihak yang menggugat Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly ke Pengadilan Negeri Surakarta, Jawa Tengah terkait kebijakannya membebaskan 37.000 narapidana melalui program asimilasi dan integrasi. Kebijakan yang dikeluarkan melalui Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020 dinilai meresahkan masyarakat, Yasonna digugat ke pengadilan oleh Lembaga swadaya masyarakat (LSM) Yayasan Mega Bintang, Masyarakat Anti Ketidak-adilan Independen (MAKI), dan Lembaga Pengawasan dan Pengawalan Penegakan Hukum (LP3H) yang dikutip dari (https://tirto.id/program-asimilasi-buat-resah-warga-yasonna-digugat-ke-pengadilan-eU7d)

Napi Dibebaskan Dalih Untuk Hemat Anggaran

Kementerian Keuangan mencatat defisit APBN per Maret 2020 mencapai Rp76,4 triliun atau 0,45 persen terhadap PDB. Apalagi di bulan April, angkanya semakin melonjak (katadata.co.id).Ditambah dengan apa yang disampaikan Yasonna bahwa pembebasan napi pun dapat menghemat anggaran negara hingga Rp260 miliar. Tampaknya lebih masuk di logika masyarakat, pembebasan napi ini semata untuk penghematan anggaran alih-alih penyelamatan nyawa rakyat. Penghematan itu baik, namun mengapa selalu saja penghematan anggaran dilakukan pada sektor yang berhubungan dengan rakyat? Mengapa anggaran pemindahan ibu kota sebesar 2 triliun sama sekali tidak disentuh?

Baca Juga :  Menilik Hotel Rekomendasi di Kota Banjarbaru: Akomodasi Nyaman Penunjang Mobilitas Bisnis dan Wisata

Apakah Fungsi Lapas telah Gagal?

Minimnya pengawasan dari pihak lapas, juga terhimpitnya ekonomi para mantan napi, telah mendorong mereka melakukan kejahatan. Inilah yang semakin memperkeruh kondisi negeri ini. Sudahlah dikepung virus yang tak terlihat dengan mata telanjang, masyarakat pun kini dikepung oleh potensi kriminalitas yang tak kalah ngerinya dengan Covid-19.Tertangkapnya kembali mantan napi menjadi bukti bahwa fungsi lembaga kemasyarakatan di negara ini tak berfungsi dengan semestinya.Fungsi lapas adalah membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat. Namun mengapa fungsi ini tak berjalan, meski ada juga program bimbingan rohani.

Mengapa terjadi penumpukan narapidana? Karena hukum sanksi bagi pelaku kejahatan tidak menimbulkan efek jera. Sebagai contoh, pencurian (pasal 362 KUHP) hanya dikenakan sanksi penjara paling lama 5 tahun. Apalagi kasus perzinaan (Pasal 284 KUHP), hanya dikenakan sanksi paling lama 9 bulan.Dari sini bisa kita simpulkan bahwa wajar jika pencurian dan perzinaan terus terjadi, lantaran hukuman yang tidak menjerakan pelaku.Kehidupan yang sekuler dan hukum sanksi yang tak menjerakan, telah menyebabkan manusia ringan dalam melakukan kejahatan. Budaya permisif, individualisme, materialisme, kebebasan bertingkah laku yang dijamin oleh undang-undang ikut menyumbangkan perilaku amoral yang berujung pada kriminalitas. Akhirnya penjara penuh, diisi para penghuni baru dan penghuni lama yang terus mengulang kejahatannya.

Berikutnya sistem peradilan dalam demokrasi termasuk lapasnya, menciptakan aparat yang korup. Lihat saja bagaimana suap menyuap dari tingkat sipir hingga mahkamah agung menjadi tontonan biasa.Dilansir mediaindonesia.com, ombudsman menyebutkan kemungkinan adanya narapidana yang mengeluarkan uang suap kepada lembaga pemasyarakatan dalam program asimilasi.

Para napi menganggap bahwa uanglah yang menyebabkan mereka dijebloskan ke penjara. Jika mereka punya uang, maka hukuman akan diringankan atau minimal seperti koruptor, yang mempunyai ruang mewah di dalam lapas; Bisa menyuap para sipir untuk bebas keluar seperti para politisi yang terjerat korupsi; Bahkan transaksi narkoba terbanyak berasal dari penjara. Melihat realitas yang demikian, pembinaan dari sisi mana pun akan mental pada diri mereka.

Bimbingan rohani hanyalah formalitas. Jangankan para penghuni lapas, masyarakat luas pun masih belum mengenal Islam secara keseluruhan. Islam harus dipahami dengan mendasar dan menyeluruh, bukan hanya sebatas ibadah mahdhah dan akhlak saja. Wajar akhirnya bimbingan rohani tak menumbuhkan keimanan dalam diri para napi.

Banyaknya napi yang ditangkap kembali pascapembebasan, menjadi bukti semakin buruknya kondisi kriminalitas di negeri ini. Rasa aman sungguh sulit didapat dalam sistem demokrasi. Setelah rakyat diminta jaga diri sendiri dari penyebaran virus, kini juga menjaga diri sendiri dari tindakan kriminal ulah napi yang dibebaskan.

Iklan
Iklan