Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Pilkada Bertegangan Tinggi

×

Pilkada Bertegangan Tinggi

Sebarkan artikel ini

Oleh : Yulia Sari, S.H
Pengamat Politik

Pilkada 2020 tetap digelar di 270 daerah. Meski ujung kurva masih menanjak ke atas. Adanya pandemi Covid-19 tidak menyurutkan langkah pemerintah beserta KPU untuk tetap menggelar Pilkada 2020. Meski para pengamat terus mendengungkan penundaan tetapi langkah mereka tak terhenti.

Kalimantan Post

Dari pemerintah sendiri menyadari bahwa penyelenggaran Pilkada ini berpotensi bermasalah. Dari persiapan anggaran daerah, kesiapan pemilih, sosialisasi yang kurang hingga potensi konflik Pilkada. Itu resiko tekhnis yang kondisi normal pun bisa jadi ada. Resiko ini tentu bertambah besar dikala pandemi.

Resiko utama adalah jika pandemi Covid-19 belum berakhir hingga beberapa bulan kedepan. Maka, adanya Pilkada akan beresiko menambah jumlah penyebaran Covid-19. Belum soal protokol kesehatan. Agenda ini membuat petugas harus dilengkapi APD (alat pelindung diri), alat pengukur suhu tubuh, hand sanitizer dan tempat cuci tangan serta kelengkapan protokol kesehatan lainnya. Yang ke semua itu butuh anggaran yang tidak sedikit, dan untuk itu apakah tiap daerah mampu? Belum lagi masyarakat kita tidak semua patuh dengan adanya “jaga jarak” dan protokol kesehatan.

Menteri Dalam Negeri menyatakan bahwa anggaran yang disiapkan untuk Pilkada adalah sekitar Rp15 triliun. Sudah terealisasi Rp5 triliun untuk lima tahapan dari 15 tahapan Pilkada serentak. Sedangkan sisa dana Rp9,1 triliun dibekukan untuk sementara, tidak boleh digunakan (Kabar24.Bisnis.com/27/06/2020). Sungguh dana yang tidak sedikit untuk agenda ini.

Pilkada sendiri ngotot untuk diselenggarakan dengan alasan agar pemerintahan daerah yang ada punya legitimasi. Artinya resmi dipilih dan diangkat, bukan pejabat sementara atau sekedar pejabat pelaksana tugas.

Yang muncul kemudian apakah begitu mendesak diadakan Pilkada? Bahkan kebanyakan para pakar bertanya sesungguhnya Pilkada ini untuk siapa? Bila ditinjau dari sisi resiko, Pilkada sungguh memiliki resiko tinggi sebagai cluster penyebaran infeksi Covid-19. Dari sisi anggaran jelas memberatkan kantong pemerintah daerah dan juga pusat. Bukankah negara ini enggan memberlakukan lockdown karena tidak sanggup dari sisi ekonomi?

Baca Juga :  Hari Quds Internasional dan gerakan rakyat bela Palestina

Dipaksakannya Pilkada tentu lebih berat dari sisi politis. Pemerintah pusat pun enggan menunda atau bahkan merelokasikan dana Pilkada untuk sepenuhnya demi pelaksanaan Covid-19. Aroma politis tentu dapat dirasakan dimana sistem demokrasi mengatur bahwa kepala daerah dipilih melalui pemilu dan mendapat dukungan dari partai politik. Lebih baik lagi tentunya jika kepala daerah tidak berseberangan dengan kepala negara. Agar segala program dan proyek pusat dapat seiring seirama dijalankan oleh kepala daerah.

Kepala daerah yang telah lewat waktu masa jabatan tentu harus mundur kebelakang dan diganti oleh pejabat sementara. Tentu saja seperti dikatakan tadi legitimasinya berbeda. Mereka tak “sebebas” pejabat asli. Gerak mereka terbatas, hal itu tentu mempersulit dan menghambat arus “perpolitikan” dari partai politik. Pilkada juga menjadi momen pergantian pejabat alias kepala daerah yang tidak sesuai dan tidak sejalan lagi dengan arus partai pendukung atau arus politik pusat.

Maka jika Pilkada ditunda, akan ada ketidak pastian politik yang tentunya akan ada pula ketidakpastian kebijakan. Apalagi jika kebijakan tersebut memerlukan persetujuan daerah. Seperti persoalan perizinan atau kontrak untuk pertambangan. Atau juga terkait proyek-proyek nasional yang didukung juga oleh Pemda. Seperti proyek pembangunan ibukota baru yang tentu memerlukan suport dari daerah sekitar wilayah yang akan dibangun ibukota baru.

Keegoisan politik tentunya akan berdampak kepada masyarakat. Merekalah yang akan menjadi korban. Padahal mereka masih perlu diurus secara luar biasa sebagai dampak dari adanya pandemi. Mereka bahkan kehilangan selera memilihnya ketika mereka harus dihadapkan dengan resiko terpapar Covid-19 dan kehidupan ekonomi mereka yang saat ini juga sesak nafas. Rakyat membutuhkan pemimpin yang peka akan kondisi mereka dan realistis dalam penanganan wabah. Bukan sekedar mendapat bantuan-bantuan sosial tetapi kemudian diberi label dan foto seseorang yang menjadi calon kepala daerah atau bahkan dia berstatus pejabat yang sedang menjabat.

Baca Juga :  Perlawanan Membebaskan Palestina

Sistem demokrasi memang kemudian menjadikan hati nurani para penegak sistem pemerintahan yang ada mati rasa. Insting politik sekuler telah memisahkan agama sebagai unsur utama memilih seorang pemimpin dengan kehidupan politik yang harusnya diberlakukan.

Aturan dalam Islam mengatur tentang bagaimana seorang kepala daerah dipilih. Yang tentunya lebih ringkas dan praktis, hingga meminimalkan segala resiko. Dalam sistem Islam kepala daerah dipilih dan diangkat oleh Khalifah (kepala negara) dengan mempertimbangkan masukan dari Mejalis Umat (perwakilan pusat) dan Majelis Wilayah (perwakilan daerah). Dalam hal ini Majelis Wilayah lebih diutamakan karena mereka representasi dari masyarakat daerah.

Khalifah berwenang mengangkat para penguasa di bawahnya, baik gubernur (Wali) maupun kepala daerah kabupaten/kota (Amil). Hal ini didasarkan atas wajibnya mengangkat Khalifah dengan metode Bai’at. Selanjutnya Khalifah yang sudah dibai’at, mendapat Mandat dari rakyat untuk mengurus segala urusannya. Dia bisa mengangkat orang lain untuk membantunya mengurus rakyat. sementara para kepala daerah berstatus pembantu Khalifah. Sehingga kontrol, pengawasan serta mekanisme pindah tugas dan pemberhentiannya dalam arahan sang Khalifah.

Khalifah akan selalu memperhatikan masukan-masukan dari majelis wilayah tentang kinerja sang Wali atau Amil. Bahkan Khalifah dapat memberhentikan seorang wali hanya karena rakyatnya tidak suka. Hal ini penting agar jalannya pemerintahan dapat berjalan lancar. Standar hukum pemilihan yang dipakai bukan Undang-undang ala demokrasi yang terkadang tidak update dengan situasi kekinian. Tetapi Undang-Undang yang berstandarkan pada wahyu. Pada Alqur’an, hadist, ijma sahabat dan qiyas. Sehingga Khalifah tak memilih sesuka hati, tetapi memilih sebagaimana syariat Islam menata bagaimana memilih pemimpin yang sholeh dan amanah. Dengan sistem ini, pemilihan kepala daerah tidak akan bertegangan tinggi alias bersiko tinggi sebagaimana Pilkada di masa pandemi ini.

Iklan
Iklan