Oleh : Mariana, S.Pd
Guru MI Al Mujahidin II Banjarmasin
Masalah demi masalah tak ada habisnya, dan selalu dihantui oleh masalah tersebut dan tidak ada solusi yang signifikant dan malah membuat masyarakat semakin risau akan lonjakan kasus covid ini.
Covid-19 melonjak tinggi dalam beberapa hari terakhir kasus Covid-19 bertambah sebanyak 8.369 hanya dalam waktu sehari. Data ini membingungkan publik. Sebab, data yang dilaporkan Kementerian Kesehatan berbeda dengan data yang disajikan pemerintah daerah. Misalnya, Papua, Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Pelaksana tugas Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2P) Kementerian kesehatan, Budi Hidayat, mengatakan, melonjaknya kasus Covid-19 nasional karena data yang dilaporkan dinas kesehatan daerah ganda. Selain itu, peningkatan terjadi akibat penumpukan data kasus Covid-19.
Mulai dari fasilitas kesehatan, dinas kesehatan kabupaten dan kota hingga Dinas kesehatan provinsi. Peningkatan kasus Covid-19 nasional terjadi akibat kesalahan pelaporan data dari dinas kesehatan Daerah. Kasus positif virus corona (Covid-19) bertambah 5.092 orang. Dengan bertambahnya kasus tersebut membuat total kasus positif Covid-19 di Indonesia mencapai 543.975 orang.
Pasien yang dinyatakan sembuh bertambah 4.361 orang, sehingga total menjadi 454.879 orang. Sementara pasien Covid-19 yang meninggal dunia bertambah 136 orang, sehingga keseluruhan menjadi 17.081 orang. Data tersebut dihimpun Kementerian Kesehatan (Kemenkes) hingga pukul 12.00 WIB dan dipublikasikan lewat situs resmi sekitar pukul 15.45 WIB.
Kemenkes juga mencatat total suspek Covid-19 sampai hari ini mencapai 71.286 orang dan jumlah spesimen yang diperiksa sebanyak 51.232 spesimen. Kemarin, Senin (30/11), total kasus positif Covid-19 sebanyak 538.883 orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 450.516 orang dinyatakan sembuh dan 16.945 orang lainnya meninggal dunia.
DKI Jakarta masih menjadi provinsi dengan jumlah kumulatif kasus positif terbanyak. Kemudian Jawa Tengah menyumbang kasus aktif Covid-19 tertinggi di seluruh Indonesia. Sedangkan Jawa Timur merupakan provinsi dengan angka kematian Covid-19 terbanyak. Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun menyoroti peningkatan kasus positif Covid-19 di DKI Jakarta dan Jawa Tengah. Jokowi meminta jajarannya untuk memberikan perhatian khusus kepada daerah yang dipimpin Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo tersebut.
Bukan hal jika aneh saat ini terjadi sengkarut covid 19 sebab hal tersebut akibat dari track record penanganan pandemi oleh penguasa rezim. Sejak awal pemerintah meremehkan penyebaran virus covid 19 mereka tidak segera mengambil kebijakan trecing untuk memisahkan antara yang sehat dan yang sakit justru tetap beraktivitas sebagaimana biasanya.
Padahal dengan dilakukan tracing, Negara akan memiliki data akurat yang dibutuhkan untuk membuat perencanaan dan tindakan yang tepat, apabila data tidak akurat maka akan berdampak patal yaitu akan mengancam nyawa masyarkat. Alhasil, ketika virus mengenfeksi dengan cepat pemerintah kalang kabut dan gagal menghadapinya.
Kebijakan PSBB yang diambil justru mematikan ekonomi. Pemberlakukan new normal tanpa disertai tracing yang massif ditengah-tengah masyarakat membuat kasus terkonfirmasi semakin naik memunculkan kalster baru. Jadi meski ada instruksi untuk memperhatikan protocol kesehatan jumlah infeksi penularan tak bisa dibendung.
Realitas ini menunjukkan secara gamblang bahwa rezim yang mengadopsi sistem demokrasi kapitalisme terbukti gagal menghadapi pandemi dan menyelamatkan jiwa manusia. Sistem kapitalisme menjadikan keuntungan sebagai orientasi kebijakan tanpa mempedulikan jiwa rakyatnya.
Sistem ini pula telah menjadikan Negara berlepas tangan dari tanggung jawabnya memelihara urusan masyarkat. Penguasa sibuk mengurus kepentingan dan kekuasaan mereka agar tetap eksis, terbukti dengan kebijakan dan upaya-upaya pemerintah dalam mengalokasiakan anggaran yang justru berorientasi pada sektor ekonomi.
Melalui Perpu yang dibuat pemerintah mengklaim telah mengalokasikan dana sebesar Rp40,51 triliun untuk dibidang kesehatan, namun nyatanya hanya Rp75 triliun yang secara langsung berhadapan dengan wabah corona, jauh lebih kecil dibandingkan dengan anggaran untuk jaring pengamanan sosial sebesar Rp110 triliun, untuk pemulihan ekonomi nasional Rp150 triliun, dan sebesar Rp70,1 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat atau KUM.
Anehnya menurut Perpu ini pejabat yang mengeluarkan kebijakan tidak bisa dituntut secara pidana dan perdata disebutkan pula bahwa kebijakan yang diambil terkait Perpu ini tidak bisa dimintakan atau digugat ke PTUN, uang yang dikeluarkan tidak bisa dianggap sebagai kerugian Negara.
Jelas Perpu ini lebih tepat disebut kebijakan untuk menyelamatkan keuangan Negara dan pemberian imunitas bagi pejabat Negara ketimbang menyelamatkan nyawa warganya dari ancaman wabah Corona, parahnya meski jumlah kasus positif corona terus meningkat pemerintah tetap mengadakan Pilkada, dalihnya tidak ada undang-undang yang mengatur penundaan Pilkada.
Inilah bukti kezaliman sistem demokrasi yang berasas sekulerisme, ketika digunakan untuk mengurus rakyat. UU yang ada bukan berasal dari pencipta manusia Allah SWT, melainkan hasil suara mayoritas manusia.
Alhasil kebijakan-kebijakan yang ada sejatinya hanyalah untuk menjaga eksistensi kekuasaan penguasa, jadi kasus melonjaknya kasus covid 19 bukan terletak pada salah input data melainkan salah input sistem yang tidak berorientasikan pada keselamatan rakyat, demokrasi kapitalisme telah mengalami kegagalan kelak mengahadapi pandemi.
Kondisi ini menunjukkan kepada umat manusia bahwa dunia membutuhkan sistem alternatif sebagai solusi yang telah terbukti mampu mengatasi pandemi dan menyelamatkan nyawa manusia. Dalam tritikop sejarah satu-satunya sistem yang mampu mengatasi pandemi adalah sistem Islam
Islam merupakan instansi praktis yang menerapkan syariat-syariat Islam kaffah yang dijamin membawa kerahmatan bagi seluruh alam. Syariat Islam telah menempatkan Negara sebagai penanggung jawab urusan umat.
Peran Negara dalam Islam yaitu pengurus kebutuhan umat bukan Negara yang berlepas tangan dari umat seperti Negara demokrasi kapitalisme saat ini sehingga ketika terjadi pandemi saat ini.
Adapun bentuk tanggung jawab tersebut adalah Negara akan menjadikan keselamatan rakyat sebagai pertimbangan utama diatas kepentingan yang lain, sikap ini merupakan wujud penerapan syariat Islam. Maka sejak awal pandemi pemimpin akan memutus rantai penularan melalui lockdown local sesuai anjuran Rasulullah SAW.
Dan peran Negara akan memisahkan orang yang sakit dan orang sehat, langkah ini sangat efektif untuk mencegah penyakit tidak menyebar dengan cepat dan tidak meluas kewilayah lain, sehingga Negara akan fokus menangani orang-orang yang terinfeksi, untuk mekanisme pemisahan, Negara akan masif melakukan tes baik swab tes maupun rapid test.
Test ini dilakukan secara massal dan gratis kepada seluruh masyarakat, sehingga Negara benar-benar akan memiliki data valid tingkat infeksi dan penyebaran penyakit. Jika ada masyarkat yang terbukti terinfeksi mereka akan segera diisolasi dan ditangani dengan pelayanan medis yang berkualitas.
Negara Islam akan menjamin seluruh kebutuhan pelayanan kesehatan pasein-pasien tersebut secara gratis hingga mereka sembuh, sedangkan mereka yang sehat mereka tetap dapat melakukan aktifitas sebagaimana biasanya dengan protokol kesehatan tanpa takut menular, selain itu Islam juga menjamin tenaga medis.
Negara akan bertanggung jawab secara mutlak untuk memenuhi kebutuhan medis seperti APD, obat-obatan, peralatan untuk pasien dan sebagainya. Tenaga medis pun akan diberikan beban kerja yang manusiawi.
Negara Islam akan memerintah instansi-instansi penelitian untuk mencari tahu mekanisme penyakit dan mendorong mereka untuk melakukan riset pengobatan ataupun vaksin, sehingga Negara dapat mengambi tindakan masif untuk pencegahan penyakit dengan tepat berbasis bukti. Hanya Islam yang dapat memberikan solusi terhadap masalah pandemi ini. Wallahu a’lam bishowab