Oleh: Mariana, S.Pd
Guru MI. Al Mujahidin II Banjarmasin
Selama Ramadhan masyarakat akan dikagetkan dengan harga bahan pangan dan beberapa komoditas ada yang (naik) sampai 50 persen. Daging ayam naik dari Rp39 ribu ke Rp45 ribu, itu yang terlihat sangat mencolok kenaikannya.
Kemudian, harga minyak goreng juga naik mulai dari Rp13.800 sampai dengan Rp14.300. Lalu, harga telur ayam dari Rp22.000 menjadi Rp24.500, harga daging sapi juga tak ketinggalan dari harga Rp128 ribu sampai dengan Rp133 ribu per kilo. Kenaikan ini karena adanya suplai dan demand. Kenaikan hampir pasti terjadi 10 tahun terakhir.
Selain itu ada dari data PIHPS per Kamis (8/4/2021) harga rata-rata cabai rawit merah masih berkisar Rp84.400 per kg, harga cabai rawit hijau Rp56.600 per kg, harga cabai merah besar Rp51.650 per kg, dan harga cabai merah keriting Rp50.800 per kg. Adanya kekhawatiran masalah pangan mengemuka menjelang Ramadan dan Idul Fitri 1442 Hijriah setelah organisasi pangan dunia (FAO) merilis laporannya, Lembaga menyebutkan dalam sembilan bulan terakhir ini harga pangan dunia konsisten naik.
Harga pangan dunia kini telah mencetak rekor tertinggi dalam enam bulan terakhir. Organisasi Pangan Dunia menyebutkan, harga pangan global menyentuh level tertinggi dengan indeks harga pangan per Februari 2021 mencapai 116,2 poin. Angka ini naik 2,4 persen dibandingkan dengan Januari 2021.
Kendati belum berdampak pada harga sejumlah bahan pokok di dalam negeri, hal tersebut tetap perlu diantisipasi, apalagi menjelang kenaikan permintaan yang cukup signifikan selama masa puasa dan Lebaran. Seperti diketahui bersama, harga pangan di dalam negeri berpotensi naik setiap menjelang puasa dan Lebaran. Kenaikan ini terjadi akibat melonjaknya permintaan yang cukup tinggi pada waktu yang bersamaan.
Berkaca pada pengalaman-pengalaman sebelumnya, situasi ini menimbulkan kegaduhan tersendiri, hingga pemerintah harus turun tangan untuk melakukan operasi pasar. Langkah ini penting untuk meredam kenaikan harga, yang bahkan untuk sebagai barang kebutuhan pokok naik tak terkendali, antara lain, daging sapi dan gula. Kedua bahan pokok itu memang rawan bergejolak dan masih sangat berkaitan erat dengan kondisi di pasar internasional.
Harapannya, pemerintah mampu terus menjaga stok dan pasokan jelang Ramadan dan Idul Fitri, termasuk sedini mungkin menghitung kebutuhan dengan cermat, termasuk risiko-risiko melonjaknya permintaan dalam jumlah besar pada waktu yang sama dan harapannya kebutuhan di dalam negeri bisa tercukupi.
Negara agraris yang tanahnya subur, ternyata tak serta-merta menjadikan rakyatnya makmur. Terlebih para petani yang dijuluki “pahlawan pangan tak berdasi”, nyatanya juga identik dengan kemiskinan. Padahal, sebagai negara agraris, Indonesia memiliki kesempatan emas untuk terus memajukan dunia pertanian.
Maka dari itu, dibutuhkan regenerasi kaum tani yang siap dengan tantangan zaman. Inilah yang menjadi alasan pemerintah meluncurkan program petani milenial dalam rangka mewujudkan swasembada pangan nasional. Anggota komisi IV DPR RI, Vita Ervina mengatakan, pihaknya akan mendorong pemerintah guna terciptanya 2,5 juta petani milenial sebagai model awal dalam mewujudkan swasembada dan ketahanan pangan nasional. Hal tersebut disampaikannya dalam forum Bimtek peningkatan kapasitas petani dan penyuluh pertanian di Jawa tengah.
Gubernur Jabar Ridwan Kamil pun dalam rangka menyukseskan program nasional, telah membuat program 5.000 petani milenial. Sosialisasi yang gencar di medsos membuat pendaftar melebihi kuota. Artinya, program ini sukses memikat para calon petani milenial. Calon peserta yang memenuhi kriteria akan diberi pelatihan cara bercocok tanam, produknya akan dibeli langsung oleh BUMD Agro Jabar.
Mereka diberi bantuan benih, bibit, pupuk, pestisida, peralatan, dan terakhir pemberian fasilitas pembiayaan dan pemasaran produk. Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP) Kementerian Pertanian, Dedi Nursyami mengatakan jumlah petani Indonesia hingga tahun 2020 tercatat sebanyak 33 juta jiwa. Namun, hanya 29% petani yang usianya kurang dari 40 tahun, alias milenial. Oleh karena itu, menurut Dedi harus ada regenerasi SDM yang maju dan mandiri.
Inilah yang menjadi filosofi dasar dibuatnya program petani milenial, yaitu enggannya para milenial masuk ke dalam dunia pertanian yang menyebabkan pelaku tani semakin berkurang di tengah populasi manusia yang terus meningkat. Yang pada gilirannya akan menyebabkan terancamnya ketahanan pangan nasional.
Salah satu faktor terbesar rendahnya pendapatan petani adalah kepemilikan lahan. Lahan pertanian semakin sempit akibat alih fungsi lahan dan juga akibat kemiskinan. Pada 2018, sebanyak 77,60 persen rumah tangga usaha tani merupakan petani gurem karena menguasai lahan dengan luas rata-rata kurang dari 0,5 ha.
Selain masalah lahan, faktor yang menyebabkan pendapatan petani rendah adalah mahalnya saprodi. Anggaran subsidi pupuk yang terus dikurangi misalnya, membuat para petani kesulitan mengakses pupuk bersubsidi. Akhirnya mereka harus membeli pupuk nonsubsidi dan juga pestisida. Tak jarang biaya produksi melebihi harga jual komoditasnya.
Di tambah dengan kebijakan impor yang menyebabkan harga pangan lokal kalah bersaing. Yang terbaru, Kementerian Perdagangan bersikukuh mengimpor beras saat panen raya.Inilah sejumlah faktor dan kebijakan yang kontra produktif terhadap kesejahteraan petani, alhasil para milenial pun enggan menjadi petani.
Menurut pakar ekonomi Islam, Dwi Condro Kirono, Ph.D., problem asasi dari pertanian bukan SDM, tapi kepemilikan lahan pertanian. Tenaga manusia, permodalan, alat produksi, dan saprodi, hanyalah sarana, bukan asas. Permasalahan kepemilikan lahan akan merembet pada permasalahan lainnya. Adanya petani milenial tanpa adanya perubahan sistem kepemilikan lahan, tidaklah menyolusi keterpurukan sektor pertanian.
Sistem ekonomi kapitalisme yang dianut negeri ini menjadikan siapa pun bebas menguasai lahan. Setiap individu bebas memiliki lahan pertanian, bebas pula memanfaatkan dan mengembangkannya. Dari sini akan muncul persaingan bebas dalam kepemilikan lahan pertanian. Pemilik lahan besar akan semakin besar dan terus berekspansi memperbesar kepemilikan lahannya.
Sebaliknya, petani pemilik lahan kecil akan semakin sempit, tersebab kemiskinannya. Biaya produksi yang besar di tengah lahan yang sempit menjadikan hasil pertanian hanya bisa mencukupi kebutuhan konsumsinya sendiri, bahkan tak jarang petani rugi.
Belum lagi kebijakan impor saat panen raya, membuat harga komoditas lokal jatuh. Akhirnya, dalam memenuhi kebutuhannya yang serba terbatas, mereka tak memiliki pilihan selain menjual lahannya. Jadilah para petani ini menyandang status baru, yaitu buruh tani. Puncak dari kebebasan kepemilikan itu akan terjadi feodalisme dalam bidang pertanian, yaitu terciptanya sedikit tuan tanah dan membludaknya buruh tani.
Adapun tuan tanah di era perdagangan bebas adalah pemodal asing. Mereka memiliki modal yang sangat besar untuk bisa membeli lahan pertanian. Juga tidak ada aturan yang membatasi kepemilikan lahan, yang penting punya uang bisa membeli lahan subur, walau nantinya tak tergarap.
Kebijakan ekonomi bercorak kapitalistik menyebabkan persoalan lahan tak berkesudahan. Kebijakan yang kontraproduktif terhadap suksesnya sektor pertanian, seperti kebijakan impor pangan dan pengurangan subsidi pupuk, pun telah menjauhkan petani dari kesejahteraan.
Oleh karenanya, karut-marutnya problem pertanian di negeri ini sejatinya akibat diterapkannya sistem kapitalisme, yang telah memberikan jalan bagi pemodal asing untuk memiliki lahan seluas-luasnya. Negara demokrasi membatasi perannya hanya sebatas regulator, bukan sebagai pengurus dan penanggung jawab seluruh kebutuhan umat.