Oleh : Nurhikmah J
Pemerhati Masalah Sosial
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan pelaksanaan Program Indonesia Pintar (PIP) belum memadai. Hal ini disebabkan karena data yang digunakan sebagai sumber pengusulan calon penerima tidak handal.
Adapun data yang digunakan adalah data pokok pendidikan (dapodik). Sedangkan, Nomor Induk Siswa Nasional dan Nomor Induk Kependudukan belum digunakan sebagai acuan untuk pemberian bantuan.
Hal ini mengakibatkan penyaluran bantuan untuk PIP belum tepat sasaran dan masih banyak anak yang seharusnya mendapatkan bantuan justru tidak menerima. (cnbcindonesia.com, 22/6/2021)
Di sisi lain, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga menyatakan penyaluran Bantuan Produktif Usaha Mikro (BPUM) yang dilaksanakan Kementerian Koperasi dan UKM dalam rangka penanganan dampak COVID-19 tidak tepat sasaran. Laporan Iktisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2020 BPK mencatat Rp1,18 triliun terdistribusi untuk 414.590 penerima bermasalah. Berdasarkan catatan BPK, dana BPUM yang gagal disalurkan ke penerima belum dikembalikan ke kas negara sebesar Rp23,5 miliar dan double debet pada penerima BPUM ke rekening RPL pada 2 dan 8 Maret 2021 sebesar Rp43.200.000.
Sampai dengan pemeriksaan berakhir, dana BPUM gagal salur sebesar Rp42.200.000. Sampai dengan pemeriksaan berakhir, dana BPUM gagal salur sebesar Rp23,5 miliar tersebut belum dikembalikan ke kas negara serta sebesar Rp43.200.000 masih belum mendapatkan jawaban dari Kementerian Keuangan sesuai surat KUKM Nomor 262/Dep.3/III/2021 tanggal 24 Maret 2021 tentang pengembalian dana penerima BPUM double debt sehingga belum jelas perlakuan pendataannya.
Sengkarut data dinilai sebagai biangnya. Soal penyempurnaan data besar (big data) dan integrasi data tidak pernah tuntas. Misalnya, data UMKM masih tercecer di 18 kementerian. Benarkah ini hanya persoalan teknis?
Akar Masalah Dana Tidak Tepat Sasaran
Dalam sistem sekuler kapitalisme, penilaian kemiskinan warga negara tidak diukur dengan batasan syariat, sehingga sangat subjektif. Masyarakat miskin menurut BPS harus memenuhi 14 kriteria, salah satunya terkait besaran pendapatan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), garis kemiskinan nasional pada Maret 2020 ialah Rp454.652 per kapita per bulan. Padahal, garis kemiskinan Bank Dunia adalah 1,9 dolar AS per kapita per hari atau setara Rp798.200 per bulan (kurs Rp14.000).
Bila rumah tangga terdiri atas empat orang (menurut kriteria Bank Dunia), perlu minimal penghasilan Rp3.192.800 per bulan agar tidak disebut rumah tangga miskin.
Jika dengan standar WHO, angka kemiskinan Indonesia lebih dari dua kali lipat data BPS. Konsekuensinya, penggunaan garis kemiskinan yang terlalu rendah dapat memunculkan angka kemiskinan yang keliru. Banyak orang akan terklasifikasi tidak miskin, padahal faktanya sangat membutuhkan. Mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan primernya secara layak dan manusiawi.
Jadi, bagaimanapun sistem birokrasi diperbaiki, tetap saja akan menimbulkan sengkarut masalah ketika standar penilaian terhadap kemiskinan mengambil dari luar syariat.
Solusi Islam Menyelesaikan Masalah
Adapun penilaian kemiskinan menurut syariat, mendasarkan pada standar yang sama di negara mana pun serta kapan pun. Menurut Islam, kemiskinan adalah tidak terpenuhinya kebutuhan primer secara menyeluruh yang layak dan manusiawi, baik terkait tempat tinggal, pakaian, dan pangan.
Dalam Islam, upaya memenuhi kebutuhan primer serta mengusahakannya untuk orang yang tidak bisa memperolehnya, adalah fardu. Mekanisme tanggungan nafkah bagi fakir miskin telah ditetapkan syariat pula, mulai dari kepala keluarga, kerabat yang mewarisi, sampai menjadi kewajiban Baitulmal (negara).
Abu Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja yang meninggalkan harta, maka harta itu menjadi hak para ahli warisnya. Siapa saja yang meninggalkan kalla, maka ia menjadi kewajiban kami”. (HR Muslim)
Maka, kemiskinan tidak dinilai berdasarkan besaran pendapatan seseorang, tetapi berdasarkan kemampuannya memenuhi kebutuhan pokok secara layak.
Harga bahan pokok bisa naik dan turun mengikuti hukum supply and demand, sedangkan pendapatan (gaji) berdasarkan manfaat jasa, baik dari sisi jenis pekerjaan, waktu bekerja, dan besaran jasa yang dicurahkan. Sangat mungkin seseorang sudah bekerja dengan nilai pendapatan tertentu, tetapi tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya secara menyeluruh.
Negara wajib hadir untuk memberikan solusi praktis untuk menanggung kebutuhan fakir miskin dan mengeluarkannya dari kemiskinan. Bukan sebatas memberikan bantuan seadanya dengan birokrasi yang berbelit-belit.
Jaminan Pemenuhan Kebutuhan Publik
Islam adalah sistem kehidupan yang rahmatan lil ‘alamin. Syariat Islam sangat manusiawi dalam menyelesaikan masalah. Perkara pemenuhan kebutuhan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan, termasuk kebutuhan infrastruktur, tidak dibebankan kepada individu, bahkan pemenuhannya harus menjadi tanggung jawab negara secara langsung.
Ini bagian dari perintah syariat, bukan perkara yang perlu diperdebatkan, bahwa memang Baitulmal negara Khilafahlah yang harus membiayai seluruh pengeluaran tersebut.
Rasulullah SAW bersabda, “Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dalam bidang pendidikan berdasarkan Sirah Nabi SAW dan Tarikh Daulah Khilafah Islam (Al-Baghdadi, 1996), negara memberikan jaminan pendidikan secara gratis dan kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh warga negara muslim dan nonmuslim, kaya maupun miskin, untuk melanjutkan pendidikan ke tahapan yang lebih tinggi dengan fasilitas (sarana dan prasarana) yang disediakan negara.
Di Madrasah al-Muntashiriah yang didirikan Khalifah al-Muntahsir Billah di Kota Baghdad, setiap siswa menerima beasiswa berupa emas seharga satu dinar (4,25 gram emas). Kehidupan keseharian mereka dijamin sepenuhnya oleh negara. Fasilitas sekolah disediakan secara gratis, seperti perpustakaan beserta isinya, rumah sakit, dan pemandian. Tidak harus menjadi miskin dulu untuk mendapatkan bantuan pendidikan.
Seluruh kebutuhan publik menjadi hak setiap warga negara serta kewajiban negara secara langsung. Masyarakat yang miskin tidak akan dipermalukan dan bersusah payah untuk mendapatkan haknya. Masyarakat yang kaya juga tidak akan dibebani pajak yang bersifat abadi seumur hidup.
Pajak hanyalah sumber pendapatan alternatif yang bersifat insidental pada saat kas Baitulmal negara Khilafah kosong saja. Pajak dalam Islam tidak bersifat permanen sepanjang tahun, sebagaimana kezaliman pajak yang terjadi pada sistem kapitalisme.
Kerinduan akan hadirnya Khilafah—sistem pemerintahan Islam—makin menguatkan langkah dakwah kaum muslimin untuk segera merealisasikannya, tentunya dengan izin Allah SWT. Semoga kita menjadi salah satu bagiannya. Aamiin, yaa Rabbal ‘aalamin. WaLlahu a’lam bish shawab