Oleh : Muhandisa Al-Mustanir
Asisten Dosen Kampus Swasta Banjarmasin
Kampus Merdeka adalah kebijakan turunan dari kebijakan Merdeka Belajar yang ditetapkan oleh Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di Indonesia. Kampus Merdeka khususnya, adalah kebijakan yang mengarah pada institusi perguruan tinggi. Tujuan utama dari program ini adalah membuka kesempatan bagi mahasiswa agar bisa lebih mudah terjun langsung pada dunia kerja. Hal ini tercermin dari berbagai macam program Kampus merdeka yang saat ini sedang dijalankan, maupun nanti yang akan segera dilaksanakan. Sebutlah program magang dan studi independen yang secara langsung melibatkan berbagai macam perusahaan yang akan menampung mahasiswa untuk menjalankan program ini. Disamping itu, terdapat program Kampus Mengajar yang melibatkan mahasiwa agar punya pengalaman menjadi tenaga pendidik. Ada pula program Pertukaran Mahasiswa Merdeka, dimana dari program ini mahasiswa bisa merasakan untuk berkuliah di kampus dari daerah lain, yang bertujuan untuk mempelajari budaya dan keragaman dari daerah lain. Sedangkan untuk program yang masih dicanangkan ada Indonesian International Student Mobility award (selama 1 semester di perguruan tinggi terbaik dunia), Membangun Desa (menggagas Solusi isu nasional), Riset (proyek peneltian di lab pusat) dan Wirausaha.
Sebelumnya juga, pihak Kemendikbud telah menjelaskan terkait dengan kebijakan Kampus Merdeka sebagai berikut :
- Sistem akreditasi perguruan tinggi.
Dalam program Kampus Merdeka, program re-akreditasi bersifat otomatis untuk seluruh peringkat dan bersifat sukarela bagi perguruan tinggi dan prodi yang sudah siap naik peringkat.
Akreditasi yang sudah ditetapkan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) tetap berlaku selama 5 tahun namun akan diperbaharui secara otomatis.
Pengajuan re-akreditasi PT dan prodi dibatasi paling cepat 2 tahun setelah mendapatkan akreditasi yang terakhir kali. Untuk perguruan tinggi yang berakreditasi B dan C bisa mengajukan peningkatan.
- Hak belajar tiga semester di luar prodi
Kampus Merdeka yang kedua memberikan hak kepada mahasiswa untuk mengambil mata kuliah di luar prodi dan melakukan perubahan definisi Satuan Kredit Semester (SKS). Kegiatan di sini berarti belajar di kelas, magang atau praktik kerja di industri atau organisasi, pertukaran pelajar, pengabdian masyarakat, wirausaha, riset, studi independen, maupun kegiatan mengajar di daerah terpencil.
- Pembukaan prodi baru
Program Kampus Merdeka memberikan otonomi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Swasta (PTS) untuk melakukan pembukaan atau pendirian program studi (prodi) baru.
Otonomi diberikan jika PTN dan PTS tersebut sudah memiliki akreditasi A dan B, dan telah melakukan kerja sama dengan organisasi dan/atau universitas yang masuk dalam QS Top 100 World Universities. Pengecualian berlaku untuk prodi kesehatan dan pendidikan.
- Kemudahan menjadi PTN-BH
Kebijakan Kampus Merdeka yang ketiga terkait kebebasan bagi PTN Badan Layanan Umum (BLU) dan Satuan Kerja (Satker) untuk menjadi PTN Badan Hukum (PTN BH). Kemendikbud akan mempermudah persyaratan PTN BLU dan Satker untuk menjadi PTN BH tanpa terikat status akreditasi.
Sekilas, memang terlihat bahwa kebijakan ini begitu mempermudah baik bagi mahasiswa kedepannya maupun dari institusi kampus sendiri. Namun dibalik itu semua, kita tidak bisa menafikkan adanya unsur kepentingan lain dari adanya kebijakan ini, apalagi kebijakan ini sangat berkaitan erat dengan pihak ketiga yakni korporasi. Di Website Kemendikbud sendiri (https://dikti.kemdikbud.go.id) menyebutkan bahwasanya ada lebih dari 300 perusahaan besar yang bekerjasama demi terlaksananya program-program dari Kampus Merdeka ini. Perusahaan-perusahaan ini diantaranya : 1. Perusahaan multinasional. Perusahaan besar dunia yang masuk dalam daftar Fortune 500. (Contoh: Royal Dutch Shell, Nestlé, Toyota, dll); 2. Perusahaan teknologi global. Perusahaan teknologi yang memilki reputasi sangat baik. (Contoh: Google, Apple, Amazon, Intel, Cisco Systems, dll); 3. Startup teknologi. Perusahaan startup yang telah mengumpulkan dana sebesar minimum USD $50 juta. (Contoh: Tokopedia, Traveloka, Gojek, dll); 4. Organisasi multilateral. Semua organisasi multilateral dan nirlaba kelas dunia. (Contoh: PBB, Bank Dunia, ADB, USAID, Gates Foundation, dll); 5. BUMN. BUMN berskala besar di tingkat nasional. (Contoh: PLN, BRI, Pertamina, dan lain-lain); 6. BUMD. BUMD berskala besar di setiap provinsi. (Contoh: MRT, Bank BJB, Trans Jakarta, dan lain-lain)
Dari fakta diatas, bisa dilihat dengan jelas arah dan tujuan pendidikan kita hari ini, yang bisa dibilang bergandeng mesra dan membuka jalan lebar-lebar bagi pihak korporasi mengambil keuntungan secara langsung maupun tidak.
Selain itu, ada kecacatan tujuan sejak awal pada kebijakan Merdeka Belajar ini yang sarat dengan unsur liberalisasinya. Yang mana pada akhirnya berdampak besar bagi kelangsungan generasi kedepan. seperti yang dikatakan bapak Nadiem ada empat program dari kampus merdeka seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, menandakan bahwa kampus semua serba liberal, bebas menentukan kurikulum bersama industri dan asing, artinya kampus sudah terjajah dan tidak lagi memiliki kedaulatan sendiri. Kampus disetir untuk bisa memenuhi apa yang diinginkan oleh koporasi.
Selain itu, pihak asing boleh masuk untuk membuat kurikulum dan membuat SKS ditempuh dengan kuliah dan magang di industri, hal ini nantinya akan berpengaruh pada mahasiswa yang hanya berorientasi pada kebutuhan pasar/industri, tidak lagi menjadi harapan generasi yang akan melanjutkan estafet pembangunan bangsa yang memiliki moral, akhlaq, kecerdasan intelektual, dan lain sebaginya. Atau secara kasarnya bisa dibilang, mematikan peran dan tujuan dari pendidikan di perguruan tinggi itu sendiri. Menjadikan mental para mahasiswa sebagai mental pekerja dan disibukkan dengan tujuan duniawi semata, sehingga melupakan kewajibannya yang lain.
Juga, adanya kebijakan ini memungkinkan masuknya kurikulum pendidikan ala barat yang makin menguatkan akar sekulerisme dan liberalisme ditengah-tengah kaum terdidik, menjauhkan mereka dari aqidah islam yang lurus, serta dari syariatnya. Hal ini ditandai dengan mulai merebaknya tren paham atheisme, agnostik, dan Moderasi beragama dikalangan anak muda, terutama dikalangan perguruan tinggi.
Tak hanya mahasiswa, bahkan tenaga dan fokus dosen sebagai tenaga pendidik pun sengaja dialihkan, agar tak lagi mengarah pada melahirkan dan mendidik para cendikiawan yang berkontribusi bagi kepentingan umat dan negara, melainkan sibuk dengan tuntutan akreditasi dan peringkat kampus yang tak berkesudahan. Sehingga sempurnalah kerusakan masuk ke dalam ranah pendidikan kita hari ini.
Hal ini menunjukkan juga kepada kita abainya peran negara dalam mengurusi ranah pendidikan yang semestinya menjadi tanggung jawab negara secara penuh, bukan malah memasukkan pihak lain untuk ikut ambil bagian. Negara bahkan juga berlepas tangan akan segala kerusakan yang terjadi atas masuknya sekulerisasi dan liberalisasi di kalangan kampus. Negara juga masih tidak belajar tentang makna kebangkitan yang hakiki dalam ranah pendidikan. Bahwasanya kebangkitan peradaban manusia tidaklah bergantung pada kemajuan teknologi dan pengetahuan, namun tergantung kepada kualitas dari generasi penerus itu sendiri. Jika generasi penerusnya saja dirusak oleh paham Sekuler dan Liberal, mau sebanyak apapun lulusan yang dihasilkan hanya akan membawa kerusakan. Negara kita mungkin terlalu silau dengan kemajuan dunia barat hari ini, hingga tak menyadari krisis generasi terbaik pun semakin menggerogoti negri-negri barat hari ini diakibatkan aturan-aturan hidup Kapitalisme yang mereka terapkan.
Hal ini sangat jauh berbeda dengan bagaimana Islam memandang terkait pendidikan dan kebangkitan generasi. Islam yang adalah sebuah aturan sempurna bagi kehidupan, menetapkan bahwa peran negara lah yang bertanggung jawab besar untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi umat. Pendidikan yang diberikan pun, bukanlah pendidikan yang mengarah pada capaia Materi seperti hari ini, melainkan pendidikan yang mengarah pada pembentukan pribadi-pribadi muslim/ah yang terbaik, yang tidak hanya untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, namun lebih dasar dari itu adalah menjadikan umat sebagai orang-orang yang bertaqwa kepada pencipta manusia, Allah SWT.
Maka tidak heran, pada masa kegemilangannya, Islam mampu mencetak generasi-generasi terbaik seperti Asy-Syafi’i, Al-Khawarizmi, Al-Ghazali, Al-biruni, dsb. Dimana mereka tidak hanya berjasa dibidang ilmu pengetahuan dan penemuan, namun disamping itu sekaligus menjadi seorang ulama yang memberikan kontribusi untuk agama Islam. Selain itu, kontribusi yang mereka berikan untuk pengetahuan dan penemuan adalah untuk kebaikan dan kesejahteraan masyarakat, sehingga sampai hari ini pun masih bisa merasakan manfaat dan kebaikan dari apa yang dahulu para ilmuan dan cendikiawan muslim kontribusikan. Berbeda kenyataan dengan hari ini dimana para ilmuan dan cendekiawan hanya berfokus pada capaian materi semata, sehingga apa yang mereka ciptakan, lambat laun membawa dampak negatif bagi manusia dan sekitarnya. Sebagaimana hari ini barat dan seluruh ilmuan didunia berusaha mencari cara agar manusia tidak semakin kecanduan akan teknologi seperti internet dan sosial media, karna sadar akan bahayanya. Ini membuktikan hari ini,
ilmu pengetahuan dan teknologi yang diciptakan bukanlah demi kebaikan hajat hidup manusia, namun hanya demi mendapatkan keuntungan materi semata.
Untuk itulah Islam hadir sebagai sebuah petunjuk hidup yang khas dan sempurna, yang mengatur segala lini kehidupan manusia dengan rinci dan detail. Namun, sayangnya saat ini, penerapan Islam masih jauh dari kata sempurna, bahkan manusia hari ini cenderung tidak ingin diatur dengan Islam. Maka harusnya dari sini kita bisa belajar terkait gentingnya kembali hidup dengan menerapkan aturan Islam secara Kaffah, tidak hanya demi kemaslahatan yang kita dambakan, namun lebih dari itu, adalah sebagai konsekuensi keimanan kita kepada Allah SWT beserta seluruh Syariat-syariat-Nya.