Oleh : Nor Faizah Rahmi, S.Pd.I
Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Remaja
Pada Jumat (2/2/2021), Direktorat Jendral Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba) Kementerian ESDM menyosialisasikan Kebijakan Mineral dan Batubara Indonesia. Dalam pembahasan UU Nomor 3 Tahun 2020 (UU Minerba), terdapat sejumlah poin penting yang masih belum masuk dalam kebijakan tersebut, sehingga masih membutuhkan penyempurnaan.
Pada intinya, pemerintah berkomitmen akan mengelola lingkungan hidup yang berkelanjutan dan terpadu dengan pertumbuhan ekonomi melalui kegiatan pertambangan. Hal demikian dilakukan agar sektor minerba mampu berkontribusi bagi kesejahteraan masyarakat dan tidak menimbulkan dampak lingkungan di masa mendatang. “Kebijakan ini kita susun untuk memberikan nilai manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat Indonesia secara adil, berkelanjutan, dan ramah lingkungan,” kata Dirjen Minerba Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin dalam webinar Sosialisasi Kebijakan Minerba di Indonesia, dikutip dari siaran pers, Jumat (12/2/2021). (bisnis.com, 12/2/2021)
Menurut Kepala Kampanye Jaringan Tambang (Jatam) Nasional Melky Nahar, setiap pertambangan sudah pasti merusak lingkungan. Tidak pernah ada upaya pihak perusahaan menjaga lingkungan seperti yang disyaratkan pemerintah dalam setiap menerbitkan izin usaha pertambangan. Iming-iming pekerjaan lokal dan ekonomi rakyat di sekeliling wilayah tambang adalah cara perusahaan untuk mendapatkan izin operasi di wilayah masyarakat tersebut.
Global Footprint Network pada 2020 merilis data defisit ekologis di berbagai negara. Indonesia mencatat defisit 42 persen. “Ini artinya konsumsi sumber daya alam lebih tinggi dibandingkan yang tersedia saat ini. Akibatnya daya dukung alam menjadi berkurang,” demikian dinyatakan Guru Besar IPB University dari Departemen Ekonomi Sumber daya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM), Prof. Dr. Akhmad Fauzi (ipb.ac.id, 8/2/2021).
Ia menambahkan, kerusakan ekologis ini terjadi akibat kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia belum memperhatikan modal alam secara serius. Bentuk kerusakannya seperti alih fungsi lahan, tingginya laju pencemaran lingkungan terutama air, dan menurunnya keanekaragaman hayati.“Hal ini melemahkan perekonomian nasional kita. Karena mengabaikan modal alam berakibat pada terjadinya penurunan kualitas, dan besarnya ketimpangan ekonomi,” katanya.
Investasi untuk rakyat adalah jargon sampah tanpa bukti, nyatanya rakyat hanya dijadikan buruh murah dan seluruh keuntungan diboyong semua pemilik modal. Inilah yang dinamakan “kolonialisasi global” yang dilakukan berjamaah oleh negara-negara maju atas negara-negara berkembang dengan dalih perbaikan ekonomi.
Kerusakan lingkungan dan dirampasnya kesejahteraan rakyat, bukan sekadar kesalahan regulasi. Dibuatnya kebijakan agar kegiatan pertambangan memperhatikan lingkungan dan kesejahteraan, bukanlah solusi fundamental atas problem tersebut. Lebih dari sekadar regulasi, kesalahan fatal terletak pada penentuan landasan sistem ekonominya yang bercorak kapitalistik.
Maka dari itu, jika ingin mencegah terjadinya eksploitasi SDA oleh swasta, harus dilakukan upaya yang fundamental, yaitu mengganti landasan sistem ekonominya yang bercorak kapitalistik menjadi Islam. Untuk menghadirkan ekonomi Islam secara utuh, harus dengan mengganti seluruh tubuh beserta organ-organ penting yang ada dalam sistem ekonomi kapitalisme. Tubuh ekonomi kapitalisme adalah pasar modal, maka tubuh ini harus diganti menjadi pasar syariah, yaitu pasar yang aturannya sesuai syariat.
Mekanisme pasar bebas yang menjadi tubuh sistem ekonomi kapitalisme telah melegalkan eksploitasi seluruh SDA oleh korporasi. Selama kepemilikan tidak diatur alias apa pun bisa diprivatisasi, kerusakan lingkungan dan penderitaan rakyat akan terus terjadi. Ekonomi pasar bebas berangkat dari pandangan seluruh harta kekayaan yang tersedia di alam ini dapat dialokasikan secara “adil” dengan menggunakan sebuah mekanisme yang disebut dengan mekanisme pasar bebas.
Kepemilikan dibebaskan, negara tak boleh campur tangan agar tercipta keadilan pasar. Sementara, ekonomi pasar syariah berpandangan seluruh kekayaan yang ada di alam ini harus dialokasikan secara adil menurut aturan syariat. Namun sungguh sayang, pada kenyataannya keadilan tak kunjung datang. Yang terjadi adalah ketimpangan yang semakin tinggi. Realitasnya, pasar bebas hanya akan memunculkan pertarungan antara pemain besar (pemilik modal), sedangkan pemain kecil akan tergerus hingga habis dimakan pemain besar.
Berbeda dengan mekanisme pasar syariah yang memiliki banyak lapisan aturan untuk menciptakan keadilan pada pasar. Lapisan terluarnya adalah pembagian kepemilikan. Aturan ini yang tak dikenal oleh sistem ekonomi kapitalisme yang membebaskan kepemilikan.
Pembangunan infrastruktur dalam Khilafah juga berbeda dengan pembangunan infrastruktur dalam sistem kapitalis sekuler yang berbasis pada kepentingan korporasi. Pembangunan infrastruktur dalam Khilafah berada dibawah kendali pemerintah. Pemerintah dalam Islam memiliki kewajiban melayani kebutuhan masyarakatnya. Pihak swasta boleh berpartisipasi, tetapi hanya dalam masalah teknis dan tidak mengendalikan pembangunan. Imam Badrudin al-Aini mengatakan, “Hadis ini menunjukkan urusan dan kepentingan rakyat menjadi tanggung jawab seorang imam (khalifah). Artinya, tugas seorang imam dalam hal ini adalah memikul urusan rakyat dengan memenuhi hak mereka.”
Oleh karenanya, negara harus memastikan warganya hidup di lingkungan yang layak. Pengelolaan sampah, air bersih, dan transportasi harus bisa diakses seluruh masyarakat. Masyarakat bisa hidup dengan nyaman, aman dari bencana, dan beribadah dengan khusyuk. Pembangunan infrastruktur juga harus dirancang untuk menjaga atmosfer ketakwaan masyarakat.
Sistem ekonomi Islam membagi kepemilikan menjadi tiga bagian: kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Sistem ekonomi Islam hanya memberikan ruang kompetisi antar individu pada kepemilikan individu. Adapun kepemilikan umum dan negara masuk ke Baitulmal dan dikelola negara.
Kepemilikan umum adalah izin asy-syari’ kepada suatu komunitas untuk bersama-sama memanfaatkan suatu benda. Artinya, harta benda yang masuk kategori kepemilikan umum tidak boleh dimiliki individu, tetapi diperuntukkan bagi suatu komunitas, karena mereka saling membutuhkan. Maka, privatisasi atas kepemilikan umum adalah terlarang. Apa saja yang menjadi kepemilikan umum, telah dibagi menjadi tiga jenis, barang kebutuhan umum, barang tambang yang besar, dan sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi dimiliki individu.
Pertama, barang kebutuhan umum. Yaitu segala barang atau harta yang masuk kategori fasilitas umum. Yang jika tidak ada dalam suatu negeri atau dalam komunitas tertentu. Maka akan menimbulkan sengketa dalam mencarinya. Dengan kata lain, apa saja yang dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum, Misal sumber-sumber air, padang penggembalaan, kayu bakar, energi listrik, dsb.
“Bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda, “Ada tiga hal yang tidak akan pernah dilarang (untuk dimiliki siapa pun): air, padang penggembalaan, dan api”. (HR Ibnu Majah)
Kedua, tambang yang besar. Barang tambang dapat dikelompokkan menjadi dua; yaitu barang tambang yang jumlahnya terbatas, maka ini boleh dimiliki individu. Dan barang tambang yang besar atau tidak terbatas, maka tambang ini masuk pada kepemilikan umum dan haram untuk dimiliki individu.
Ketiga, Sumber daya alam (SDA) untuk umum. SDA yang dimaksud adalah yang sifat pembentukannya mencegah untuk dimiliki secara pribadi. Jenis barang ini berbeda dengan kelompok jenis barang yang pertama, yang dari segi zatnya memang boleh dimiliki individu, seperti air yang boleh dimiliki individu jika jumlahnya sedikit. Namun demikian, kepemilikan sumber daya air itu memiliki ‘illat, yaitu akan menjadi terlarang untuk dimiliki oleh individu apabila sumber daya air itu dibutuhkan oleh suatu komunitas masyarakat tertentu.
Oleh karena itu, jika jenis barang pertama berbicara dari segi zatnya. Sedangkan jenis barang ketiga ini status kepemilikan umumnya ditinjau dari segi faktanya, yaitu barang-barang ini adalah barang yang tidak mungkin dimiliki individu. Harta benda yang mencakup kemanfaatan umum, seperti sungai, laut, tanah-tanah umum, teluk, selat, gunung dsb. Termasuk juga dalam kelompok ini adalah masjid, sekolah, milik negara, rumah sakit negara, lapangan, tempat penampungan, jalan raya, jembatan, dsb.
Inilah sebagian hukum Allah SWT mengenai pembagian kepemilikan yang akan mencegah terjadinya eksploitasi SDA oleh swasta. Swasta hanya boleh memiliki harta dari bagian kepemilikan individu. Itu pun dengan sejumlah ketentuan yang telah ditetapkan syariat. Dalam Islam sendiri, Rasulullah SAW melarang pengelolaan harta milik umum oleh individu. “Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput/hutan, air dan api.” (HR Abu Dawud).