Oleh: Ach. Fatori
Pegiat Pemilu dan Penulis Buku “Arif dan Bijak untuk Pilkada Berintegritas”
Pada tanggal 15 Agustus 2021 kemarin, Bawaslu kabupaten/kota se-Indonesia berusia tepat tiga tahun, setelah dilantiknya secara serentak pada tanggal 15 Agustus 2018. Lembaga pengawasan pemilu di kabupaten/kota menjadi lembaga yang sifatnya “tetap” adalah konsekuensi dari diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Sejauh ini seluruh Bawaslu kabupaten/kota sudah memiliki pengalaman mengawal pelaksanaan pemilihan umum serentak tahun 2019. Sebagian Bawaslu kabupaten/kota juga memiliki pengalaman mengawasi Pilkada serentak tahun 2020. Pemilu serentak 2019 dan Pilkada 2020 merupakan pengalaman yang luar biasa dan berbeda, apabila dibandingkan pemilihan-pemilihan sebelumnya. Pemilu 2019 adalah pemilu yang pertama kali dilaksanakan secara serentak antara pemilihan legislatif dan pemilih presiden. Sedangkan Pilkada 2020 merupakan pemilihan pertama kali yang dilaksanakan di kala pandemi akibat bencana non alam.
Melakukan pengawasan pada Pemilu 2019 dan Pilkada 2020 memiliki tantangan tersendiri, karena pemilihan tersebut pertama kali dilaksanakan dalam sejarah panjang perjalanan pemilihan di Indonesia sejak tahun 1955. Artinya, meskipun Bawaslu kabupaten/kota adalah lembaga yang baru lahir, langsung dihadapkan dengan kompleksitas tantangan yang harus dijalani, disamping ekspektasi dan harapan publik terhadap Bawaslu yang sangat tinggi. Yaitu untuk menghadirkan Pemilihan Umum yang berkualitas dan terpercaya.
Ekspektasi Historis
Istilah pengawasan pemilu sendiri dalam Sejarah pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) sendiri di Indonesia baru dikenal pada awal tahun 1980-an, dengan nama Panitia Pengawas Pelaksanaan (Panwaslak) Pemilu. Apabila ditarik benang merahnya, kemunculan istilah pengawasan dalam pemilu dilatarbelakangi tumbuhnya distrust terhadap pelaksanaan pemilihan yang mulai dikooptasi oleh rezim penguasa saat itu.
Katakanlah pada Pemilu tahun 1971, terjadi protes-protes atas banyaknya pelanggaran dalam proses pemilihan. Terjadi manipulasi penghitungan suara yang dilakukan oleh petugas pemilihan. kemudian berlanjut pada Pemilu tahun 1977 juga yang tingkat kecurangan dan pelanggarannya semakin masif.
Upaya merespon dan meredam protes-protes yang dilakukan oleh masyarakat tersebut, pemerintah bersama DPR kemudian mendorong terbentuknya lembaga baru dalam postur struktur kepanitiaan Pemilu. Hal tersebut ditetepkan melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1980, yaitu terbentuknya lembaga baru yang bernama Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslak).
Hadirnya lembaga pengawasan pemilihan adalah dilatarbelakangi dalam upaya membangun kualitas demokrasi dengan meningkatkan trust publik terhadap proses pelaksanaan Pemilu. Keberadaan Bawaslu sebagai lembaga pengawasan saat ini dan di masa yang akan datang, terbentang ekspektasi historis publik yang relatif tinggi, yaitu untuk membangun trust publik. Sekaligus terbentang tantangan historis, untuk menghadirkan pemilihan yang berasaskan Luber dan Jurdil.
Seiring berjalannya waktu, dinamika kelembagaan pengawas pemilu terus bergulir. Perubahan mendasar setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 yang mengamanahkan pengawasan pemilu sebagai lembaga adhoc dan terlepas dari struktur KPU serta terdiri dari Panitia Pengawas Pemilu dari tingkat pusat hingga tinggkat kecamatan. Setiap terbit Undang-Undang berkenaan dengan Penyelenggara Pemilu, posisi kelembagaan pengawasan pemilu semakin kuat. Terakhir adalah tentang status kelembagaan pengawas pemilu tingkat kabupaten/kota menjadi “Tetap” dengan nomenklatur Bawaslu Kabupaten/Kota.
Penguatan kelembagaan pengawasan pemilu juga diiringi dengan penguatan kewenangan lembaga pengawasan pemilu. Melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Bawaslu diperkuat sebagai lembaga pengawas yang tidak sekedar memberikan rekomendasi atas pelanggaran atau sengketa pemilihan yang ada sebagaimana UU Pemilihan sebelumnya. Bawaslu juga memiliki kewenangan sebagai lembaga eksekutor atau pemutus perkara pemilihan.
Tantangan “Permanen” Bawaslu
Terdapat dua hal tantangan utama dan sifatnya selalu terjadi setiap pemilu, tantangan tersebut kemudian menjadi pertaruhan bagi Bawaslu sebagai pengawas pemilu. Pertama, praktik politik uang (money politic). Praktik tersebut dalam pemilu kita hari ini menjadi praktik yang lazim terjadi. Baik itu pemberian dalam bentuk bagi-bagi uang, barang atau dalam bentuk lainnya yang motifnya sama. Pemberian tersebut biasanya dilakukan kepada individu atau secara kolektif. Meskipun sejauh ini segala upaya telah dilakukan oleh pengawas pemilu dan stakeholder lainnya untuk mencegah dan menindakknya.
Banyak faktor yang menyebabkan pemberantasan praktik politik uang sulit dilakukan. Salah satunya adalah budaya yang sudah terbangun, bahwa pesta demokrasi identik dengan politik uang, baik itu bagi peserta pemilu maupun masyarakat pemilih. Tidak sedikit masyarakat yang pesimis dengan proses dan hasil pemilu sehingga menganggap politik uang adalah hal yang lumrah. Sementara itu, peserta pemilu juga tidak sedikit yang menganggap uang sebagai pengikat komitmen.
Bawaslu dengan segala kapasitasnya memiliki peran yang sangat sentral untuk mencegah sekaligus menindak segala pelanggaran yang ditemukan. Peran sentral tersebut harus dilakukan dengan penuh kejelian, keberanian dan integritas, sebab politik uang adalah aktivitas yang seringkali kasat mata dan apabila terlihat tidak banyak pihak yang berani untuk mengungkapnya.
Kedua adalah politisasi suku, agama, rasa dan antar golongan (SARA). Hal tersebut adalah eksploitasi sentimen-sentimen identitas untuk memenangkan konstenstan tertentu, dengan cara menggunakan isu SARA untuk menyerang atau menghina konstentan atau kelompok lain yang menjadi lawan politiknya.
Persaingan politik tidak hanya panas di level elit, level akar rumput pun terjadi radikalisasi pendukung yang luar bisa, hingga saling menafikkan antar satu dengan yang lain. Keretakan tatanan sosial dan perpecahan dalam tubuh masyarakat sangat rentan terjadi.
Hal ini karena sentimen SARA menjadi bagian dari persaingan politik, terutama sentimen agama yang relatif lebih rawan terjadi. sehingga, logika agama lebih dominan dari logika politik. Seringkali terjadi perbedaan dalam pandangan politik digeret kearah perbedaan dalam teologis, meskipun berada dalam satu agama, inilah yang kemudian menimbulkan polarisasi dalam masyarakat.
Polarisasi akibat politisasi SARA sangat perlu dicegah, Bawaslu harus hadir ditengah-tengah masyarakat secara berkelanjutan untuk memberikan edukasi politik kepada masyarakat sebagai upaya pencegahan terjadinya politik SARA. Apabila Bawaslu berhasil meredam potensi adanya politik sara yang mengarah pada tumbuhnya politik identitas, maka secara tidak langsung Bawaslu juga berhasil menjadi pemersatu bangsa dari potensi radikalis politik.
Harapan Publik
Kepercayaan publik terhadap pemilu di Indonesia sering tercederai akibat praktik-praktik buruk yang diwarnai oleh menguatnya pragmatisme politik seiring dengan derasnya arus kepentingan kelompok elit yang ingin berkuasa tanpa didukung oleh kapasitas dan kualitas yang memadai.
Pada sisi lain, publik memiliki harapam yang tinggi terhadap Bawaslu. Terlebih posisi dan kewenangan Bawaslu saat ini semakin kuat dibandingkan sebelum-sebelumnya, publik menaruh harapan yang sangat besar terhadap Bawaslu untuk menjadi lembaga yang mampu meningkatkan kualitas pemilu dan menghadirkan pemilu yang adil dan jujur.
Pengawasan pemilu sebagai bagian dari upaya untuk menghormati hak asasi manusia, terlebih khusus hak sipil dan hak politik warga negara dalam bingkai persatuan dan kesatuan bangsa. Katakanlah hak atas menyatakan kebebasan memberikan pendapat berdasarkan kehendak hari nurani. Penghormatan terhadap hak-hak publik juga berkenaan dengan kegiatan yang sifatanya partisipatif. diantaranya adalah hak terdaftar sebagai pemilih, hak terhadap kebebasan atas pilihannya, hak untuk mengakses informasi pemilihan (right to know), hak untuk melakukan pengawasan secara partisipatif, hak untuk memantau pelaksanaan pemilihan, serta hak untuk melaporkan atas dugaan terjadinya pelanggaran pemilihan.
Bawaslu Kabupaten/Kota sebagai ujung tombak dari lembaga pengawasan pemilu, harus berupaya hadir ditengah-tengah masyarakat untuk memberikan harapan dan jaminan atas hak-hak tersebut. Membuka ruang sekaligus menyediakan ruang atas keterlibatan masyarakat merupakan ikhtiar yang perlu terus dilakukan. Sehingga ekspektasi historis dan publik hari ini terhadap Bawaslu tidak sebatas menjadi harapan, tapi sebuah secercah kenyataan untuk mewujudkan pemilu yang jujur dan adil.