Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Makin Membebani, Sekolah Kena Pajak

×

Makin Membebani, Sekolah Kena Pajak

Sebarkan artikel ini

Oleh : Mariana, S.Pd
Guru MI. Al Mujahidin II Banjarmasin

Sangat miris dan memprihatinkan sekarang muncul wacana sekolah kena pajak, akan tetapi ini merupakan fakta dari berbagai masalah niscaya aka ada dalam sistem kapitalis. Berbagai macam kebijakan dikeluarkan pemerintah dengan tujuan untuk membuat masyarakat sejahtera, tetapi fakta dilapangan malah sebaliknya.

Baca Koran

Pemerintah berencana mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) atas jasa pendidikan sebesar 7 persen dalam Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Pemerintah berencana menarik PPN sebesar 7 persen dari jasa pendidikan yang konon akan berlaku setelah pandemi selesai.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) saat ini memang tengah membahas Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan bersama Panitia Kerja RUU KUP Komisi XI DPR RI.

RUU ini mengatur soal perluasan basis PPN dengan pengurangan atas pengecualian dan fasilitas PPN. Alasan pemerintah adalah perlu ada kerangka kebijakan baru di bidang perpajakan di tengah situasi pelemahan ekonomi akibat pandemi.

Dalam hal ini, pemerintah meyakinkan bahwa rencana perluasan objek kena pajak yang diatur dalam RUU ini, termasuk pajak sembako, jasa pendidikan dan jasa kesehatan, semata didasarkan pada prinsip keadilan. Sehingga dipastikan tidak akan berpengaruh pada kesejahteraan ekonomi masyarakat kelas menengah-bawah.

Untuk jasa pendidikan misalnya, tarif PPN yang dikenakan akan lebih rendah dari tarif yang normal. Yakni hanya sebesar 7 persen saja. Itu pun tidak semua sekolah akan dikenai PPN. Sekolah nirlaba atau sekolah subsidi kemungkinan tidak dikenakan tarif PPN.

Adapun jasa pendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan komersial serta lembaga pendidikan yang tidak menyelenggarakan kurikulum minimal yang dipersyaratkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dipastikan akan dikenai PPN.

Banyak kalangan menilai meski ada ketetapan khusus terkait objek dan besarannya, penetapan tiga bidang tadi sebagai objek PPN merupakan hal yang tidak layak dilakukan. Bagaimanapun seluruh rakyat tanpa kecuali berhak mendapat kemudahan dalam memperoleh kebutuhan dasar semacam sembako, jasa pendidikan, dan kesehatan.

Terlebih selama ini, negara belum berperan maksimal dalam menjamin kesejahteraan rakyatnya. Paradigma sekuler kapitalisme liberal yang diterapkan membuat ada gap besar antara kehidupan rakyat dengan cita-cita mewujudkan kesejahteraan.

Tentu bukan karena negeri ini kekurangan sumberdaya hingga tak punya modal mensejahterakan rakyatnya. Negeri ini justru telah dianugerahi kekayaan yang luar biasa, baik berupa potensi demografis, maupun kekayaan alam dalam berbagai bentuknya.

Potensi pertanian, kehutanan, perairan termasuk lautan Indonesia begitu melimpah ruah. Demikian pula dengan potensi tambang yang jika dikelola dengan benar tentu akan memberi maslahat besar bagi seluruh rakyatnya.

Namun faktanya, sumber-sumber ekonomi dan kekayaan itu terkonsentrasi pada segelintir orang, bahkan asing. Sementara mayoritas masyarakat justru hidup dalam kemiskinan dengan daya beli yang sangat minimal. Bahkan sebagiannya jatuh dalam kemiskinan dan kelaparan ekstrim yang mengenaskan.

Menurut laporan BPS, pada Maret 2021 jumlah penduduk miskin sebesar 10,14 persen atau sebanyak 27,54 juta orang. Angka itu pun diperoleh dengan menetapkan standar garis kemiskinan sebesar Rp472.525,00/ kapita/bulan.

Baca Juga :  Hijrahnya Pustakawan

Bisa dibayangkan seperti apa kualitas hidup dengan pengeluaran sedemikian. Apalagi di tengah harga-harga kebutuhan pokok dan tingkat inflasi yang sering tak terkendali, serta tuntutan kebutuhan lain terkait menghadapi pandemi. Maka jika standarnya dirasionalkan, bisa jadi mayoritas penduduk negeri ini ada di bawah garis kemiskinan.

Adapun terkait pendidikan dan kesehatan tak usah ditanya lagi. Sebelum pandemi saja, kapitalisasi di dua bidang tersebut sudah masif terjadi. Hingga ungkapan orang miskin dilarang pintar atau dilarang sakit memang bukan basa basi.

Apalagi di situasi pandemi. Makin sedikit kesempatan masyarakat untuk mengakses layanan kesehatan dan pendidikan dengan layanan yang maksimal. Termasuk ketika pemerintah menjalankan program-program bantuan yang terkesan alakadarnya dan seringkali salah sasaran.

Tak heran jika banyak lembaga pendidikan  dan rumah sakit berbasis swadaya yang tak bisa bertahan alias kolaps. Alih-alih beroleh banyak keuntungan seperti yang ditudingkan, pada situasi ini mereka hanya bisa fokus berusaha agar umur lembaganya bisa panjang.

Karenanya, wajar jika saat muncul wacana menarik pajak pada bidang yang disebutkan, termasuk jasa pendidikan, rakyat menganggap pemerintah sudah sangat keterlaluan. Bagaimana bisa, pemerintah terus menerus menjadikan rakyatnya sebagai objek pemerasan.

Saat pemerintah merasa kesulitan memperoleh sumber-sumber keuangan, semestinya bukan malah mengurangi apa yang sudah menjadi hak rakyatnya. Atau mengambil dari sebagian mereka dengan dalih meratakan keadilan dan kesejahteraan.

Seharusnya, negara justru berupaya meningkatkan taraf kehidupan mereka dengan menerapkan aturan yang menjamin distribusi kekayaan berjalan ideal. Sehingga setiap orang akan memiliki kesempatan memperoleh ruang mencari nafkah secara halal, sekaligus mampu mengakses faktor-faktor ekonomi dengan peluang yang sama tanpa hambatan.

Oleh karenanya, negara semestinya berusaha menghilangkan segala bentuk aturan yang memberi ruang penguasaan kekayaan milik rakyat oleh asing atau perorangan. Begitu pun, wajib bagi negara menghilangkan berbagai transaksi batil semacam saham, asuransi, dan riba yang mengakumulasi modal pada satu-dua perusahaan, beserta segala praktek curang yang melegitimasi ketidakadilan dengan menerapkan aturan yang ideal.

Seluruh kemestian ini memang tak mungkin diwujudkan manakala negara masih tegak di atas paradigma sekuler kapitalis liberal. Karena  negara dengan paradigma seperti ini memang tak menempatkan diri sebagai pengurus dan penjaga umat. Melainkan hanya sebagai alat kepentingan modal dalam sebuah format perusahaan besar yang dinamai dengan terminologi negara.

Oleh karenanya, rakyat memang harus selalu siap kecewa. Tak bisa berharap banyak atas para penguasa mereka, apalagi bermimpi hidup sejahtera di bawah kasih sayang dan perhatian mereka. Sepanjang masih ada hak milik yang bisa dirampas, maka mereka dipastikan akan merampasnya, termasuk atas nama pajak. Kalaupun harus menggadai negara dengan utang, maka mereka pun akan lakukan.

Apa yang terjadi hari ini semestinya cukup menjadi renungan bagi umat Islam, bahwa format negara sekuler kapitalis liberal memang tak layak dipertahankan. Sistem ini akan terus memproduksi kezaliman dan menjauhkan umat dari cita-cita kesejahteraan dan kebangkitan.

Baca Juga :  Penulisan Ulang Sejarah Nasional

Umat harus segera bergerak dan bangkit untuk melakukan perubahan sistem ke arah terwujudnya kepemimpinan Islam. Karena memang hanya kepemimpinan Islam yang bisa diharapkan membawa umat kepada kebahagiaan hakiki yang didambakan.

Sistem kepemimpinan Islam tegak di atas landasan keimanan akan hak prerogatif Allah SWT mengatur alam semesta dengan risalah yang diturunkanNya. Risalah inilah yang mengarahkan manusia, menjalani kehidupan yang diamanahkan Sang Pencipta untuk dikelola dengan sebaik-baiknya. Hingga kerahmatan pun akan mewujud dengan sendirinya.

Risalah Islam mengatur berbagai aspek kehidupan, mulai dari politik, ekonomi, sosial, termasuk pendidikan dan kesehatan, persanksian hingga hubungan antar negara. Semuanya didedikasikan untuk kemaslahatan manusia, bukan hanya di dunia tapi hingga akhirat.

Dengan penerapan Islam maka kezaliman, ketidakadilan, dan kerusakan akan tercegah. Baik yang dilakukan oleh perorangan, sekelompok orang, bahkan oleh negara. Semua ini dibuktikan dalam sejarah penerapan sistem Islam yang berlangsung belasan abad lamanya.

Saat itu, rakyat hidup dalam tarap kesejahteraan yang tiada bandingan. Penerapan sistem Islam secara kafah memastikan kekayaan negara begitu melimpah. Sehingga negara benar-benar berdaulat sebagai pengurus dan penjaga rakyatnya.

Keadilan bisa diperoleh siapapun meski mereka beragama non Islam. Setiap warga negara mendapat hak yang sama untuk memperoleh kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, dan papan, serta kebutuhan komunal mereka, seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan.

Semuanya ini bukan hanya ada dalam dongengan, tapi diakui sebagai sebuah fakta sejarah. Kisah-kisah kesejahteraan umat dalam naungan sistem Islam pun begitu terserak. Tak hanya ditulis oleh sejarahwan muslim, bahkan non muslim pun jujur memberi pengakuan.

Salah satunya adalah Will Durant. Ia merupakan sejarawan barat yang bersama istrinya Ariel Durant menulis buku berjudul Story of Civilization. Di dalamnya mereka menulis, “Para telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka.

Para Pemimpin Islam itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukan dan memberikan kesejahteraan selama beradab-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka.”

Justru saat umat mencampakkan Islam dari genggaman, mereka jatuh dalam selaksa kehinaan. Krisis demi krisis terus berkelindan dalam kehidupan umat Islam. Bahkan umat ini kehilangan kedaulatan, dan hidup di bawah bayang-bayang hegemoni kapitalisme global dengan sistem ekonominya yang memiskinkan.

Untuk mewujudkan kembali sistem Islam harus menjadi agenda bersama perjuangan umat Islam. Karena di sanalah masa depan gemilang umat Islam berada sebagaimana yang telah Allah SWT janjikan. 

Saatnya kembali kepada kesejahteraan umat dan tidak ada lagi kesengsaraan umat yaitu penerapan Islam secara kaffah, buang segera sistem yang merusak tatanan umat dan kesengsaraan, solusi satu-satunya hanya penerapan Islam dalam kehidupan diberbagai segala bidang kehidupan. Waalahu ‘alam bishowab

Iklan
Iklan