Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Paradoks Demokrasi, OPM Atau Pemilu?

×

Paradoks Demokrasi, OPM Atau Pemilu?

Sebarkan artikel ini

Oleh : Siti Rahmah, S.Pd
Pemerhati Politik

Papua merupakan wilayah negara Indonesia yang kaya raya. Persoalan Papua seolah tidak pernah menemukan titik akhir. Permasalahan mendasar wilayah ini adanya kepentingan segelintir pihak sehingga tidak pernah keluar dari isu disintegrasi.

Baca Koran

Di Bumi Cenderawasih tersebut, isu disintegrasi dan tuntutan referendum Papua Merdeka tidak pernah sepi dari pemberitaan. Apalagi, jika mengingat rencana pemerintah pusat yang akan melakukan pemekaran wilayah di tanah Papua. Komisi II DPR menargetkan tiga Rancangan Undang-Undang (RUU) Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua bisa disetujui pengesahannya dalam beberapa bulan mendatang.

Pembahasan RUU Daerah Otonom Baru (DOB) terkait pemekaran wilayah Papua memang terkesan terburu-buru. Apa gerangan yang mendorong DPR mengebut RUU tersebut agar segera disahkan? Padahal, banyak pihak yang menolak pemekaran wilayah di Papua. Aktivis pembela Hak Asasi Manusia (HAM) Papua Theo Hesegem menilai pemekaran provinsi Papua sangat berpotensi menambah daftar panjang kasus pelanggaran HAM di Bumi Cendrawasih. Sejumlah pelanggaran HAM di Papua sebelumnya pun belum diusut tuntas. (Republika, 13/4/2022)

Terdapat tiga RUU terkait pemekaran wilayah di Papua, yakni RUU tentang Provinsi Papua Selatan, RUU tentang Provinsi Papua Tengah, dan RUU tentang Provinsi Pegunungan Tengah. Tiga RUU ini telah ditetapkan sebagai RUU usul inisiatif DPR yang disepakati dalam rapat paripurna ke-19 Masa Sidang IV Tahun Sidang 2021—2022.

Pemerintah tampaknya salah memprioritaskan permasalahan mana yang harus dituntaskan terlebih dahulu di Papua. Kok sempat-sempatnya para wakil rakyat itu berpikir tentang daerah pemilihan baru jika kelak ada tiga provinsi baru di Papua? Apakah mengamankan kursi dan kekuasaan lebih penting dibanding gentingnya OPM yang masih bebas berkeliaran di tanah Papua?

Baca Juga :  Konsistensi Pahlawan Lingkungan Kalpataru Lestari untuk Indonesia

Salah satu problem mendasar Papua ialah separatisme OPM dan teror KKB yang sudah memakan banyak korban jiwa, baik dari warga sipil maupun anggota TNI. Jika alasan pemekaran adalah demi kursi dan penambahan suara di DPR, maka hal ini makin menegaskan bahwa pemerintahan demokrasi lebih mementingkan perolehan kursi dan kekuasaan dibanding penyelesaian OPM dan KKB yang sudah mengancam kedaulatan dan nyawa rakyat.

Pemekaran wilayah sebenarnya tidak menjadi masalah jika visi negara berasas Islam. Dalam Islam, riayah suunil umat adalah prioritas utama khalifah sebagai pemegang otoritas negara Khilafah. Jika suatu wilayah memiliki SDA berlimpah, maka itu adalah harta milik umum yang wajib dijaga dan dikelola negara untuk memenuhi kebutuhah pokok rakyat.

Negara hanya berhak mengelolanya dan hasilnya dapat dikembalikan ke masyarakat. Hasil pengelolaan SDA tersebut juga dapat digunakan untuk membangun fasilitas umum yang masyarakat butuhkan, semisal sekolah, rumah sakit, jalan umum, penerangan jalan, taman, jembatan, dan sebagainya.

Dalam pemerintahan negara Khilafah, semua pengaturan terpusat pada khalifah. Adapun gubernur atau wali menjalankan tata kelola pemerintahan yang sesuai syariat Islam atas pengetahuan dan persetujuan khalifah. Mereka bekerja dalam rangka membantu Khalifah menangani wilayah yang dipimpinnya.

Pada sistem Khilafah, tidak ada dikotomi fasilitas dan layanan publik baik di pedesaan atau perkotaan, di wilayah pusat atau daerah. Semua diberlakukan sama. Khilafah juga tidak akan membiarkan asing menguasai segala SDA yang menjadi hajat publik. Islam mengharamkan pencaplokan tanah dan kekayaan alam oleh individu, swasta, atau asing. Khilafah juga akan menumpas dan memberantas segala bentuk kriminalitas dan hal-hal dapat mengancam kedaulatan negara seperti disintegrasi dan separatisme.

Masalah lain yang masih menyelimuti Papua ialah faktor kesejahteraan. Pemekaran wilayah tidak akan bisa menuntaskan problem kesejahteraan selama pemerintah masih menggunakan instrumen kapitalisme dalam mengurus urusan rakyat. Papua yang dikenal memiliki banyak potensi SDA, hingga saat ini masih belum sejahtera. Mengapa demikian? Karena negara berlepas diri dari tanggung jawab mengelola SDA tersebut untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Baca Juga :  Ekologi Emosional, Ketika Merawat Bumi Sama dengan Merawat Diri Sendiri

Negara justru membiarkan asing menguasai dan mengeksploitasi kekayaan alam di Papua atas nama liberalisasi pasar. Alhasil, rakyat Papua tidak dapat merasakan kebermanfaatan berkah SDA tersebut untuk kehidupan mereka. Kaya tapi tidak dapat menikmatinya. Punya kuasa tapi tidak bedaya. Itulah gambaran tata kelola pemerintahan di bawah sistem kapitalisme.

Mestinya pemerintah lebih fokus melakukan pembangunan dan pemerataan berbasis rakyat, yakni pembangunan yang memprioritaskan kebutuhan serta kepentingan rakyat. Bukan pembangunan berbasis korporasi. Membangun infrastruktur “wah” tetapi tidak memiliki nilai bermanfaat bagi masyarakat sekitar, apa gunanya? Yang dibutuhkan masyarakat ialah dapat memenuhi segala kebutuhan pokoknya dengan baik, mendapatkan akses, fasilitas, dan layanan publik yang memadai, dan terjaminnya pernafkahan bagi setiap kepala keluarga dengan ketersediaan lapangan kerja.

Masalah Papua tidak akan selesai dengan gaya dan model kepemimpinan demokrasi kapitalis. Di bawah sistem ini, Papua masih tercaplok kekayaan alamnya, terancam dengan separatisme, dan terampas hak-hak rakyatnya. Problem Papua akan berakhir jika masalah kesejahteraan dan keamanan terselesaikan tuntas dengan solusi cemerlang. Islam sudah memberi arahan dan pedoman bagaimana harus menjalankan roda pemerintahan yang memprioritaskan kepentingan rakyat. Papua salah urus, hak rakyat tergerus. Hanya sistem Islam yang bisa menyelamatkan Papua dari keserakahan para kapitalis sebab Islam adalah rahmat bagi seluruh semesta, bukan untuk kaum muslim saja.

Iklan
Iklan