Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Wajah Parpol Kita

×

Wajah Parpol Kita

Sebarkan artikel ini

Oleh : Ade Hermawan
Dosen STIA Bina Banua Banjarmasin

Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011 tentang Partai Politik menyebutkan bahwa Partai Politik (Parpol) adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kalimantan Post

Pada 2019, Pemilu diikuti oleh 16 parpol, yaitu PKB, Gerindra, PDIP, Golkar, Nasdem, Garuda, Berkarya, PKS, Perindo, PPP, PSI, PAN, Hanura, dan partai Demokrat. Dan untuk Pemilu 2024, KPU RI telah memutuskan bahwa ada 18 parpol yang dinyatakan lulus verifikasi administrasi, dan sampai saat ini KPU RI masih melakukan verifikasi faktual terhadap kedelapanbelas parpol tersebut, yaitu PPP, PKB, PDI Perjuangan, Partai Nasdem, Partai Demokrat, PAN, Partai Gerindra, PSI, Partai Golkar, Perindo, PKN, PKS, Partai Gelora Indonesia, PBB, Partai Hanura, Partai Ummat, Partai Buruh, dan Partai Garuda.

Lalu bagaimana wajah parpol kita tersebut? Apakah gambarnya suram atau menggembirakan? Berikut ini penulis gambarkan kondisi Parpol. Ada beberapa aspek yang akan penulis gambarkan dalam kesempatan kali ini, yaitu tujuan parpol, kepemimpinan parpol, konflik internal parpol, pendanaan parpol dan korupsi parpol.

Tujuan parpol

Partai politik adalah salah satu kelompok yang terorganisir yang anggotanya mempunyai orientasi dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dengan cara konstitusional untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka. Wajah Perolehan kekuasaan partai politik tercermin dari kemenangan partai politik dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden. Dalam tulisan ini penulis mengacu pada hasil Pemilu 2019.

Berdasarkan Keputusan KPU Nomor 987/PL.01.8-KPT/06/KPU/V/2019 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Tahun 2019, Hasil pemilu anggota legislatif (Pileg) adalah PDI Perjuangan menjadi pemenang dengan perolehan  27.053.961 (19,33 persen) suara, disusul Partai Gerindra dengan 17.594.839 suara (12,57 persen) dan Partai Golkar 17.229.789 suara (12,31 persen).

Sembilan partai dinyatakan lolos ke Senayan karena memperoleh suara melebihi batas ambang parlemen empat persen. Kesembilan partai itu adalah: 1. PDIP 27.053.961 (19,33 persen); 2. Gerindra 17.594.839 (12,57 persen); 3. Golkar 17.229.789 (12,31 persen); 4. PKB 13.570.097 (9,69 persen); 5. NasDem 12.661.792 (9,05 persen); 6. PKS 11.493.663 (8,21 persen); 7. Demokrat 10.876.507 (7,77 persen); 8. PAN 9.572.623 (6,84 persen); dan 9. PPP 6.323.147 (4,52 persen).

Sedangkan hasil Pemilu 2019 untuk pemilihan Presiden dan wakil presiden Republik Indonesia dimenangkan oleh Ir Joko Widodo (Presiden) dan KH. Ma’ruf Amin (Wakil Presiden). Mereka didukung oleh koalisi partai PDI-P, Nasdem, PKB, PPP, dan Golkar. Dan kepada partai koalisi pendukung masing-masing diberikan jatah kursi menteri oleh Presiden Joko Widodo, dan jabatan-jabatan strategis lainnya di jajaran pemerintahan. Dan partai koalisi pendukung calon presiden Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, yaitu Gerindra, PKS, PAN dan Demokrat yang mengalami kekalahan dalam pemilihan Presiden selanjutnya menjadi partai oposisi.

Dan dalam perjalanan pemerintahan Presiden Joko Widodo, partai Gerindra dan PAN Keluar dari partai oposisi untuk kemudian bergabung dalam jajaran pemerintahan presiden Joko Widodo. Dan Presiden Joko Widodo Menempatkan Prabowo Subianto, Zulkifli Hasan dan Sandiaga Uno sebagai menterinya. Yaitu Prabowo dipercaya sebagai menteri Pertahanan, Zulkifli Hasan dipercaya menjadi menteri Perdagangan, dan Sandiaga dipercaya sebagai menteri pariwisata dan ekonomi kreatif. Dengan bergabungnya partai gerindra dan PAN di pemerintahan, maka peta kekuatan partai pendukung pemerintah di legislatif (DPR RI) menjadi bertambah kuat, sedangkan partai oposisi semakin lemah, karena hanya ada dua parpol, yaitu PKS dan Demokrat.

Baca Juga :  DPR DAN DEMO, REALITA RAKYAT YANG TERLUKA

Kepemimpinan parpol

Wajah kepemimpinan parpol di Indonesia didasarkan pada latar belakang ketua umum parpol itu sendiri. Ada ketua umum partai dengan latar belakang pengusaha, seperti sosok Surya Paloh (Nasdem), Airlangga Sutarto (Golkar), Hary Tanusudibyo (Perindo). Ada ketua umum parpon dengan latar belakang pensiunan TNI, seperti Susilo Bambang Yudoyono, Agus Harimukti Yudoyono (Demokrat), Prabowo Subiyanto (Gerindra). Dan adapula yang berlatar belakang keluarga, Seperti Megawati Sukarnoputri (PDI-P). Serta adapula ketua umum parpol dengan latar belakang keagamaan, seperti Muhaimin Iskandar (PKB), dan ketua umum partai PKS, dan PAN.

Semua ketua umum parpol rata-rata mempunyai kemampuan ekonomi yang lebih, artinya mereka adalah orang kaya. Dan orang dengan kemampuan ekonomi yang kurang diastikan tidak akan pernah jadi ketua umum parpol. Hal ini bisa dimaklumi karena hanya orang kayalah yang memiliki sumber daya yang bisa menjalankan roda organisasi parpol, seperti untuk sarana dan parsarana (gedung sekretariat dan sarana pendukungnya), dan uang untuk operasionalisasi parpol.

Kebutuhan penyegaran partai politik di dalam parpol sepertinya menjadi tantangan bagi seluruh partai politik di Indonesia. Apabila kita tarik akar persoalannya, untuk menuju perubahan politik yang lebih baik, demokratisasi partai adalah sebuah kebutuhan sejarah. Apabila memandang sekilas jejak langkah dari partai-partai politik, mereka memiliki persoalan besar terkait dengan problem demokratisasi partai, terutama sehubungan dengan problem rekrutmen kepemimpinan dan keterlibatan kader dalam pengambilan kebijakan. Partai-partai papan atas hasil Pileg 2019, seperti PDIP, Partai Golkar, Partai Gerindra, dan Partai Demokrat masih terjebak dalam problem stagnasi kepemimpinan ketika hasrat untuk memimpin partai dalam jangka waktu lama dari para pemimpin puncak telah menghalangi terbukanya katup-katup regenerasi kepemimpinan partai politik.

Dengan melembagakan regenerasi kepemimpinan politik, secara bertahap partai akan dapat memecahkan tantangan kelembaman birokratisasi partai sekaligus menghindari problem partai politik pascaotoritarianisme, seperti politik dinasti dan nepotisme.

Problem kepemimpinan yang hierarkis sentralistis salah satunya berakar pada tidak berjalannya proses regenerasi kepemimpinan di internal parpol. Sebaliknya, kepemimpinan yang setara, partisipatoris, dan demokratik hanya dapat dibangun ketika proses regenerasi kepemimpinan partai berjalan baik dengan tradisi pergantian kepemimpinan yang damai dan terkelola. Hal ini mengingat bahwa partai yang responsif dan adaptif terhadap tantangan demokratisasi adalah partai yang berhasil melembagakan dinamika perubahan di internal partai tersebut.

Terkait solusi praktis terhadap kebutuhan penyegaran kepemimpinan partai politik di Indonesia ada beberapa hal yang patut dipertimbangkan. Pertama, salah satu peran dari partai politik adalah melakukan rekrutmen kepemimpinan. Partai memiliki peran menyiapkan kader-kader terbaiknya menjadi kandidat pemimpin dalam jabatan-jabatan publik.

Baca Juga :  Stunting Tuntas dengan Islam Kaffah

Sehubungan dengan tugas ini maka prinsip partisipatoris atau gotong-royong sudah saatnya diperkenalkan dalam partai untuk memilih kandidat pemimpin. Dorongan demokratisasi partai semestinya juga terkait dengan hadirnya inovasi kelembagaan dari setiap partai politik untuk mengelola aspirasi dan kebutuhan konstituen maupun masyarakat sipil.

Konflik Internal Parpol

Wajah konflik internal parpol hampir tejadi pada semua parpol. Biasanya konflik ini terjadi pada moment musyawarah Nasional yaitu dalam rangka pemilihan ketua umum parpol, seperti yang terjadi pada partai Golkar, PKS, PDI-P, PAN, PPP, Nasdem. Elit-elit parpol yag kalah dalam pemilihan ketua umum, ia akan keluar dari keanggotaan parpol untuk kemudian membuat parpol baru atau bergabung dengan parpol yang lainnya. Seperti Surya paloh, ia kalah dalam pemilihan ketua umum Golkar. Ia keluar dari partai Golkar untuk kemudian membentuk partai Nasdem. Kemudian ada Fahri Hamzah yang keluar dari PKS dan kemudian membentuk partai Gelora. Ada juga Amin Rais yang keluar dari PAN untuk kemudian membuat partai Umat. Kemudian ada juga dualisme kepemimpinan partai, seperti yang terjadi pada PPP dan Demokrat.

Konflik internal partai politik (parpol) sebenarnya merupakan sesuatu yang lumrah dan natural di negara-negara dengan sistem demokrasi yang telah mapan maupun demokrasi baru. Ringkasnya, dalam sebuah rezim demokratis, benturan kepentingan dan nilai politik merupakan sesuatu yang lumrah sebagai akibat dari dihormati dan dijaminnya perbedaan pendapat. Sepanjang konflik tersebut tidak menghancurkan tatanan sistem dan kelembagaan demokrasi.

Sayangnya, yang terjadi di hampir setiap konflik internal yang dialami oleh parpol Indonesia adalah pertikaian yang bersifat destruktif karena seringkali menyebabkan ambruknya tatanan sistem. Hal ini bisa diamati dari hampir semua parpol yang mengalami perpecahan internal, berakibat pada terganggunya kinerja parpol yang ditandai dengan merosotnya perolehan suara dalam pemilu secara signifikan, dan bahkan bisa mengakibatkan partai yang bersangkutan tidak mampu lolos ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebagaimana yang dialami oleh Partai Hanura, PPP, Demokrat, PAN pada Pemilu 2019 kemarin.

Pendanaan parpol

Menurut Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011, ada tiga sumber dana parpol, yaitu iuran anggota, sumbangan yang syah menurut hukum, dan bantuan keuangan dari APBN/APBD. Wajah pendanaan parpol tidak lepas dari yang namanya politik transaksional, yaitu politik timbal balik, dimana setelah calon legislatif maupun eksekutif memenangkan pemilu atau pilkada, maka mereka akan membalas jasa kepada para oligarki pemberi dana dengan mengeluarkan kebijakan, regulasi, dan perizinan yang menguntungkan oligarki.

Kebutuhan dana yang relatif besar untuk menggerakan roda parpol dan bantuan dana negara yang sangat terbatas, membuat parpol amat tergantung pada sumbangan orang perorang atau kumpulan orang. Saat ini hampir semua parpol menggantungkan diri pada dana yang berasal dari pengurus partai. Karenanya pengaruh elit pengurus partai menjadi sangat besar dalam menentukan arah kebijakan partai. Dengan kuasanya, para elit partai menjadikan partai sebagai kendaraan untuk mewujudkan kepentingan pribadi dan atau kelompoknya. Kondisi ini menjadi penyebab proses pendanaan parpol rentan terhadap potensi korupsi.

Iklan
Iklan