Oleh Yuriadi Ilmi
Mahasiswa Magister Ekonomi Pertanian ULM
Orang Indonesia nampaknya bukanlah penggemar buah-buahan, hal ini dibuktikan dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) BPS tahun 2021 yang menunjukkan konsumsi buah-buahan secara nasional hanya sebesar 81,14 gram/kapita/hari. Jauh dari standar minimal badan kesehatan dunia (WHO) sebesar 150 gram/kapita/hari atau hanya 54 persennya. Dari survei yang sama didapati bahwa konsumsi rokok orang Indonesia dua kali lipat dari konsumsi buah-buahan. Hal ini ditengarai ikut mengakibatkan naiknya jumlah penderita penyakit jantung, diabetes tipe dua, obesitas, dan gangguan pencernaan. Sementara itu kaum milenial dan generasi Z agaknya lebih memilih konsumsi minuman manis seperti boba maupun coklat sebagai jajanan ketimbang memilih buah-buahan terbukti dari konsumsi makanan dan minuman jadi yang lebih besar enam kali lipat konsumsi buah.
Defisit konsumsi buah-buahan ini kembali diperparah dengan serbuan buah-buahan impor, khususnya dari negeri tirai bambu. Sepanjang tahun 2022, Impor buah-buahan dari Tiongkok begitu mendominasi dibandingkan negara lainnya, dengan total mencapai 514 ribu ton dengan valuasi menembus 915 juta Dollar Amerika. Marketshare buah impor Tiongkok mencapai 66 persen dari seluruh total buah-buahan impor yang masuk ke Indonesia. Hal ini bisa kita lihat dengan kasat mata dari pasar modern hingga pasar tradisional dengan mudah kita temui buah apel, jeruk, pir, anggur, hingga peach berlabel tulisan Tionghoa yang akrab menghiasi rak-rak kayu penjual buah.
Penetrasi yang begitu cepat dan massif ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa buah-buahan impor ini memiliki karakteristik yang sulit ditandingi pesonanya oleh buah-buahan lokal. Mulai dari tampilan yang menarik, bentuk dan ukuran yang hampir seragam, warna yang merona alami, dan tentu rasa yang menggugah selera konsumen. Buah-buahan ini juga selalu tersedia sepanjang musim, seolah tak kenal paceklik ataupun gagal panen, bahkan buah-buahan impor ini lebih tahan lama dan mudah disimpan.
Belakangan di platform media sosial dan berbagi pesan ramai beredar video singkat memperlihatkan teknik pertanian tanaman buah-buahan di Tiongkok yang terkesan tidak lazim. Ada proses tertentu yang menimbulkan tanda tanya di masyarakat, seperti penyuntikan cairan tertentu ke buah yang hampir matang, pengasapan hingga proses pengawetan buah dengan lilin. Terlepas dari keabsahan dari video tersebut, tentu hal ini menimbulkan tanda tanya di sebagian warga masyarakat seberapa aman buah-buahan impor yang selama ini beredar bebas dan sudahkah pemerintah dan stakeholder terkait maksimal mengawasi peredarannya di masyarakat.
Menggagas TKBN
Pemberlakuan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) merupakan bentuk kepedulian pemerintah untuk melindungi para pelaku industri dalam negeri, dengan mensyaratkan pengadaan di lingkungan BUMN dan instansi pemerintah menggunakan vendor yang memiliki sertifikasi. Artinya memprioritaskan menyerap produk hasil olahan para pengusaha lokal sebelum melaksanakan impor untuk memenuhi kebutuhan di BUMN dan instansi pemerintah.
Serupa dengan hal itu, selayaknya buah-buahan lokal pun mejadi prasyarat bagi pengusaha/investor luar dan dalam negeri yang ingin mengembangkan usaha kuliner dan olahan makanannya di Indonesia. Mereka seyogyanya diwajibkan menyediakan menu khusus dengan bahan utama maupun kondimen dari buah lokal. Pun halnya bagi para pengusaha hotel, katering dan restoran/rumah makan agar menyerap produk buah dari petani lokal di sekitarnya. Rapat di dinas dan instansi diarahkan agar menyediakan snack dari buah-buahan lokal, hingga subsidi bagi para pelaku usaha yang berbasis buah lokal untuk ekspor ke luar wilayah.
Apabila pemberlakuan tingkat konsumsi buah nasional (TKBN) ini bisa dilaksanakan layaknya TKDN, maka iklim usaha pertanian holtikultura akan semakin membaik. Harus diakui pemerintah sudah melaksanakan berbagai program terkait peningkatan konsumsi buah lokal, sebut saja gerakan cinta buah lokal dan sejenisnya. Namun aneka program ini dirasakan masih berupa upaya persuasif yang belum mampu menyentuh akar permasalahan sebenarnya. Menciptakan pasar untuk produk holtikultura adalah kunci utama keberhasilan program sebelumnya, agar motivasi para pelaku usaha pertanian tetap terjaga karena ada jaminan produknya diserap oleh pasar.
Rumusan TKBN nantinya akan menjembatani antara para produsen (petani) dan para pengusaha baik pedagang maupun industri, membuat MoU mengenai kewajiban industri menyerap buah lokal dari petani dan mengatur maksimal jumlah buah impor yang beredar di pasaran. Untuk jangka panjang para ahli pertanian dan pembibitan agar memprioritaskan pengembangan varietas buah-buahan lokal yang mampu menyaingi buah impor terutama dari sisi ukuran dan rasa.
Peta Jalan Pertanian
Peta Jalan (Roadmap) bisa diartikan sebagai perumusan dan penjabaran visi pertanian (Luthfi Fatah, 2022). Untuk mengupdatenya tentu diperlukan hal yang paling mendasar berupa data lengkap dan komprehensif terkait seluruh subsektor pertanian di Indonesia. Karenanya pada bulan Mei-Juni 2023 ini , Badan Pusat Statistik akan melaksanakan Sensus Pertanian yang juga merupakan sensus pertanian ketujuh sejak pertama kali dilaksanakan di Indonesia di tahun 1963. Pelaksanaan sensus pertanian kali ini akan menjadi tonggak sejarah untuk menyediakan data struktur pertanian sampai unit-unit administrasi terkecil, menyediakan data yang dapat digunakan sebagai tolok ukur statistik pertanian saat ini dan menyediakan kerangka sampel untuk survei pertanian lanjutan.
Salah satu yang unik dalam sensus pertanian 2023 ini adalah pencatatan bagi pelaku usaha pertanian skala rumahan khususnya di perkotaan. Hal ini diharapkan akan menggambarkan lebih baik pelaku usaha pertanian holtikultura yang menggunakan media tabulampot maupun hidroponik. Dengan ketersediaan data yang akurat dan terkini bagi pelaku usaha holtikultura khususnya buah-buahan lokal diharapkan pemerintah dan stakeholder terkait mampu merumuskan kebijakan yang tepat sasaran, salah satunya menciptakan pasar berkelanjutan untuk komoditas ini.Sudah saatnya buah-buahan lokal kita merajai kembali pasar di dalam negeri, bukan menjadi buah-buahan kelas dua baik dari kuantitas dan kualitas hasil produksinya.