Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Derita Pengemudi Ojek Online, Dampak Buruk Kapitalistik

×

Derita Pengemudi Ojek Online, Dampak Buruk Kapitalistik

Sebarkan artikel ini

Oleh : Nor Faizah Rahmi, S.Pd.I
Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Remaja

Nasib ojek online (ojol) kian memprihatinkan. Jangankan sejahtera, justru mereka bekerja siang dan malam bagai sapi perah dengan upah yang tidak seberapa. Sempitnya lapangan pekerjaan menjadikan para ojol bertahan, pasrah dengan nasibnya yang diperlakukan tidak adil oleh perusahaan tempat ia bekerja. Kebijakan potongan biaya aplikasi yang dianggap terlalu besar, misalnya.

Kalimantan Post

Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) Lily Pujiati menemukan ada perusahaan aplikasi yang menerapkan potongan hingga 30 persen, padahal biaya perawatan kendaraan dan bensin ditanggung pengemudi ojol sendiri. Itulah sebabnya, dari 1.000 pengendara ojol dan kurir yang diteliti mahasiswa doktoral London School of Economic (LSE), Muhammad Yorga Permana, sebanyak 66 persen menyatakan ingin berhenti dan jika ada kesempatan beralih jadi pekerja kantoran. (BBC Indonesia, 26-7-2023)

Bukan hanya perusahaan yang dianggap membuat pengemudi ojol menderita, pemerintah pun dianggap demikian. Pasalnya, Peraturan Menteri (Permen) Perhubungan Nomor 12/2019 pasal 15 yang menyatakan bahwa hubungan antara perusahaan aplikasi dan pengemudi merupakan hubungan kemitraan. Sedangkan menurut Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) Pujiati, kenyataannya hubungan yang terjadi adalah hubungan kerja. (Tempo, 1-8-2023).

Praktik yang merugikan ini terjadi karena status mitra yang melekat pada pengemudi ojol, sedangkan aplikator terus berusaha meraih profit sebesar-besarnya dengan tidak mempekerjakan pengemudi ojol sebagai status pekerja. Kondisi ini menyebabkan pengemudi ojol mengalami ketidakpastian pendapatan. Pasalnya, mereka tidak memiliki jaminan pendapatan bulanan seperti upah minimum yang layak. Tersebab itu pula, mereka “dipaksa” untuk bekerja lebih dari delapan jam kerja, bahkan hingga 17 jam. 

Terlebih bagi pengemudi ojol perempuan, kondisi eksploitatif ini makin buruk karena tidak adanya cuti haid, melahirkan, ataupun menyusui. Praktis, pengemudi ojol perempuan kehilangan pendapatan karena dihitung tidak bekerja atau off bid. Dengan demikian, aplikator tidak memenuhi hak-hak pengemudi ojol sebagai pekerja sebagaimana tertuang dalam UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

Tampaknya, status “kemitraan” sedang dimanfaatkan oleh perusahaan untuk menghindari memberi pengemudi jaminan upah minimum, jaminan kesehatan, pesangon, upah lembur, hak libur, hingga jam kerja layak. Menanggapi hal tersebut, Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan Dita Indah Sari tidak menyangkal hubungan kemitraan antara perusahaan platform digital dan pengemudi ojol ataupun kurirnya, cenderung eksploitatif. Menurutnya, hal demikian terjadi karena perjanjian hubungan kemitraan dibuat sepihak.

Pihaknya kini tengah menyusun Permen Ketenagakerjaan tentang Perlindungan Tenaga Kerja pada layanan angkutan berbasis aplikasi. Permen ini nantinya akan menjadi standar baku untuk menyusun perjanjian kerja antara platform dan pengemudi. Isi kontrak tersebut memuat hak-hak dasar pekerja seperti jam kerja, aturan insentif, jaminan sosial meliputi jaminan kesehatan, kecelakaan, kematian, termasuk aturan keselamatan dan kesehatan pekerja.

Menelisik banyaknya permasalahan ojol, diduga kuat akan sulit, bahkan mustahil bahwa perubahan regulasi dalam bentuk Permen Ketenagakerjaan bisa berdampak signifikan terhadap nasib pengemudi ojol. Hal demikian setidaknya karena tiga sebab.

Pertama, isi Permen yang sedang digodok tidak menyinggung hal krusial, seperti status hubungan pekerja dan perusahaan aplikasi. Beleid tersebut masih dalam platform status “kemitraan”, padahal status “kemitraan” yang setara hanyalah ilusi selama jumlah pencari kerja lebih banyak dari lowongan pekerjaan yang tersedia. Dikatakan ilusi sebab membludaknya pencari kerja menjadikan daya tawar pengemudi ojol begitu lemah. Pengemudi ojol pada posisi yang jika tidak mau dengan aturan perusahaan, silakan keluar sebab masih banyak rakyat yang berminat terhadap pekerjaan tersebut, sekalipun dianggap eksploitatif.

Baca Juga :  Banjir Dan Kepedulian Kita

Kedua, perubahan status “kemitraan” menjadi “karyawan” pun bukan solusi. Bukan juga cerita karangan jika perusahaan besar kerap berlaku zalim terhadap pegawainya. Lagi-lagi karena daya tawar pekerja yang sangat rendah sehingga pekerja lebih memilih terzalimi asalkan masih bekerja, daripada menganggur.

Ketiga, bukan rahasia pula jika kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pro pengusaha dan merugikan pekerja. Lihat saja UU Omnibus Law Cipta Kerja, walaupun banyak pasal yang dianggap merugikan pekerja, tetap saja disahkan. Bahkan, setelah MK memutuskan beleid tersebut inkonstitusional bersyarat, pemerintah malah menerbitkan Perppu untuk melegalisasinya. Kondisi ini makin memperlihatkan ketakmampuan negara dalam menjamin kepatutan aturan kerja sama pekerja dan pemberi kerja.

Sistem ekonomi kapitalisme memang mengandalkan perusahaan untuk bisa menciptakan lapangan kerja bagi rakyat. Pemerintah tidak akan segan menggelontorkan dana untuk perusahaan sebagai bentuk stimulus ekonomi hanya agar perusahaan bisa bertahan dalam situasi krisis. Sebaliknya, subsidi pada rakyat miskin yang dianggap tindakan yang tidak produktif. Sementara itu, mayoritas tenaga kerja Indonesia dari sektor informal, bahkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) hingga saat ini masih didominasi oleh kelas usaha mikro.

Dari sekitar 64,2 juta UMKM, 99 persennya adalah pelaku usaha mikro. Artinya, pekerjaan di Indonesia didominasi oleh pelaku usaha yang penghasilannya hanya cukup untuk kebutuhan hidup sehari-hari, bahkan cenderung kurang. Selain itu, penerimaan pajak digital begitu besar, pemerintah mendapatkan Rp5,48 triliun sepanjang 2022 dari pajak digital. Bahkan perkembangan ekonomi digital (teknologi finansial) termasuk di dalamnya aplikasi ojol digadang-gadang mampu menjadi pengungkit penerimaan negara dari sektor pajak.

Maka pemerintah berkomitmen untuk memberikan dukungan yang seluas-luasnya terhadap subsektor ini. (indonesia[dot]go[dot]id, 8-3-2023). Oleh karena itu, alih-alih mengubah nasib para pekerja ojol, perubahan regulasi diduga kuat akan selalu mengarah pada terpenuhinya keinginan perusahaan. Inilah buah diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme yang menyerahkan seluruh urusan pada swasta, termasuk penyediaan lapangan pekerjaan. Sistem ini pun masih menjadikan pajak sebagai tumpuan berjalannya negara.

Terkait nasib para pengemudi ojol, kita harus bisa melihatnya dari perspektif Islam. Sebelum membahas kebijakan makro negara dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya melalui kebijakan politik ekonominya, secara mikro, hubungan pengusaha dan karyawan/mitra harus clear terlebih dahulu. Dalam artian, harus sesuai hukum syarak terkait akad-akad yang dibangun antara pengusaha dan karyawannya.

Dalam regulasi Islam, sistem kontrak kerja harus jelas, baik jumlah, waktu, maupun gajinya. Hal ini harus jelas sejak awal. Seorang karyawan digaji karena telah memberikan manfaat dari jasa yang telah ia lakukan. Apabila manfaat itu sudah tertunaikan, pengusaha wajib menggaji dan tidak boleh terjadi gharar (ketidakkejelasan), misalnya ada potongan-potongan yang tidak jelas, apalagi sampai lebih dari 40% yang mengakibatkan turunnya pendapatan para pekerja. Akad yang jelas inilah yang kemudian membuat bisnis menjadi berkah.

Baca Juga :  AROGAN

Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin memiliki pandangan khas terkait ketenagakerjaan. Pertama, Islam memiliki pengaturan akad kerja yang manusiawi dan terbebas dari eksploitasi. Misalnya Islam memiliki konsep upah sepadan, yaitu besaran upah bagi satu jenis pekerjaan.

Islam tidak memasukkan upah ke dalam biaya produksi seperti sistem hari ini sehingga jalan termudah untuk meningkatkan keuntungan adalah menekan upah. Upah dan produksi menjadi pembahasan yang berbeda dalam Islam. Ini karena berapa pun jumlah produksi yang dihasilkan, tidak berpengaruh terhadap besaran upah.

Kedua, perkara upah tersebut mencukupi kebutuhan pekerja ataupun tidak, bukan tanggung jawab perusahaan. Yang menjamin kesejahteraan rakyat bukan swasta, melainkan negara. Jika ada seorang pekerja yang mendapatkan upah sepadan, tetapi masih kekurangan dalam memenuhi kebutuhan keluarganya, semua itu menjadi tanggung jawab negara. Negara akan terus memberikan santunan hingga keluarga tersebut keluar dari kemiskinan.

Ketiga, Islam menjadikan negara sebagai pihak sentral yang mengatur seluruh urusan rakyatnya, termasuk di dalamnya penciptaan lapangan kerja. Pemerintah tidak bertumpu pada swasta. Lapangan pekerjaan akan terbuka lebar dalam sistem ekonomi Islam sebab kebijakan pemerintah pro rakyat. Tidak akan ada kebijakan mempermudah TKA masuk di tengah tingginya pengangguran dalam negeri. Begitu pun kegiatan eksplorasi SDA yang dikelola pemerintah, akan sangat menyerap tenaga kerja. 

Keempat, terbuka lebarnya lapangan pekerjaan dan adanya jaminan kesejahteraan dari pemerintah, menjadikan daya tawar pekerja sejajar dengan pemberi kerja. Keduanya sama-sama membutuhkan manfaat. Pekerja membutuhkan upah, begitu pun pemberi kerja yang membutuhkan tenaga. Keduanya tidak akan saling menzalimin, bahkan akan saling memudahkan demi tercapainya tujuan mereka.

Inilah yang akan menciptakan produktivitas tinggi dan pada gilirannya akan meningkatkan perekonomian suatu negara. Begitu pun kemitraan atau syirkah, jika dijalankan sesuai syariat, akan mendatangkan kemaslahatan dan keuntungan bagi kedua belah pihak. Nasib ojol yang kian menderita dalam sistem hari ini adalah sebuah keniscayaan. Ini karena daya tawar pencari kerja sangat lemah di hadapan pemberi kerja.

Semua itu akibat sempitnya lapangan pekerjaan dan tidak adanya jaminan kesejahteraan dari pemerintah. Oleh karena itu, agar nasib para pekerja bisa sejahtera, penting untuk menghadirkan Islam dalam setiap sendi kehidupan umat manusia, termasuk kehidupan bernegara.

Di sisi lain, negara berkewajiban melakukan asistensi pengawasan dan memenuhi kebutuhan hajat hingga per individu masyarakat sehingga mereka tidak mengandalkan gaji untuk memenuhi seluruh kebutuhan mereka.

Dua problem inilah yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Pertama, mengenai kejelasan akad kerja. Kedua, tanggung jawab negara dalam memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya. Semuanya sudah diatur secara sempurna dalam sistem Islam. Dengan demikian, tidak akan ada pihak yang dirugikan. Rakyat juga tidak akan mengandalkan bekerja sebagai satu-satunya jalan untuk memenuhi seluruh kebutuhannya. Ini karena negara sudah menanggung kebutuhan pokok rakyatnya, seperti kesehatan, pendidikan, transportasi, keamanan, dan lainnya.

Iklan
Iklan