Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Menjaga (Marwah) Suara

×

Menjaga (Marwah) Suara

Sebarkan artikel ini

Menjaga marwah suara sama halnya menjaga Indonesia, menjaga Banua. Kemajuan jaman justru membawa kita dalam dimensi peradaban yang baru. Layaknya Plato yang menemukan konsepsi pemikiran tentang negara ideal setelah kecewa terhadap ketidakadilan, generasi muda terlahir semakin cerdas dan kritis.

DALAM beberapa hari kedepan, suara rakyat diperebutkan para peserta kontestasi panggung politik di Pemilihan Umum 2024. Istilah “NPWP” – diplesetkan menjadi “Nomor Piro Wani Piro” – (nomor berapa, berani bayar berapa) sempat menjadi perbincangan sebagai kode khusus dikalangan pelaku jual beli suara.

Baca Koran

Burhanuddin Muhtadi, Dosen UIN yang terlibat dalam riset kolaboratif dari Australian National University tentang politik uang di Asia Tenggara, secara gamblang menyebutkan bahwa Indonesia menduduki urutan ketiga negara-negara yang melakukan money politics setelah Uganda dan Benin.

Faktanyapun tidak main-main, menurut Muhtadi, pada survey Pemilu tahun 2014, ditemukan bahwa satu diantara tiga orang pemilih terpapar praktik “NPWP”. Yang menarik dibandingkan responden survey di Nikaragua dan Libanon yang tertutup dan berbohong tentang keterlibatan dengan politik uang, responden Indonesia sebesar 800.000 itu nyatanya mengaku dan menjawab tanpa rasa malu.

Anehnya, meskipun politik uang marak terjadi, ternyata efektivitasnya terhadap kemenangan hanya 11% atau sekitar 1,65% lebih berhasil dibanding yang tidak memakai politik uang. Penulis tersenyum membaca data ini. Membayangkan betapa ruginya kandidat yang sudah mengeluarkan dana besar nyatanya di prank oleh konstituen bayarannya.

Tampaknya, kontestasi politik tahun 2024 ini menuntut, bukan hanya pemilih yang harus cerdas. Namun para calon Presiden dan Wakil Presiden, calon kepala daerah, anggota DPD dan calon legislatif, juga wajib lebih cerdas.

Sebaiknya simpan investasi politik anda untuk program yang lebih bermanfaat dibanding membeli suara, namun nyatanya tidak lebih sukses dibanding yang bergerak secara organik.

Baca Juga :  AL-BANJARI

Simpel saja logikanya. Saat permintaan terhadap suara rakyat meningkat, maka hargapun tidak lagi bisa kompromi seikhlasnya. 1 orang pemilik suara, berpeluang diajak oleh 3 figur kandidat. Akibatnya tawaran termahallah yang berpeluang untuk didukung, Namun sekali lagi masyarakat yang mampu terbeli fatamorgana politik uang ini hanya 11%. Dan semua pelaku poltik uangpun menyasar target yang sama bagai memancing di air keruh. Rugi…

Ibnu Qayyim dalam kitabnya “Miftahu Daris-sa’adah” menerangkan bahwa manusia hendaknya menjunjung tinggi marwah atau martabat dengan 4 cara yaitu, jika mengetahui kebenaran, akuilah, jika menemukan cahaya kebenaran, amalkanlah, ajarkan pengetahuanmu kepada orang lain dan sabar dalam kebenaran, pengamalan dan mengajarkannya. Orang bermartabat menjaga marwah suaranya di Pemilu yang akan dilakukan dalam beberapa hari mendatang pada 14 Februari 2024.

Pemilu membentuk legitimasi marwah pemasyarakatan karena kontestan yang terpilih akan duduk berada ditampuk kekuasaan. Pada level ini, kiprah politisi yang terlibat praktik kecurangan dan politik uang rata-rata memang hanya menang isi dompet namun tidak sanggup menjadi pelayan rakyat seutuhnya.

Kewajiban utama mereka adalah ingin segera “balik modal”. Akibatnya sudah dapat diterka. Lahirlah politisi “muha kayu” yang tidak punya kepekaan terhadap nasib rakyatnya. Mereka doyan keluar kota agar mendapat peluang SPJ. Senang mendorong percepatan infrastruktur agar cepat jadi cuan serta tidak tertarik dengan isu kemiskinan, pendidikan dan urusan anak, perempuan dan keluarga.

Politisi yang menang karena politik uang sudah hampir dipastikan semakin menggila diakhir jabatan. Ada dua pilihan, mereka menggila diakhir jabatan pertama, akibat godaan syahwat kekuasaan sebagai petahana atau ingin maju ke level yang lebih tinggi lagi atau sedang “kejar setoran” menutup cuan investor yang belum lunas. Jika anda melihat tanda-tanda seperti itu, maka jagalah marwah suara, jangan diperjual belikan karena pemilih mungkin hanya dapat amplop sekali, namun yang dibantu, mereka makin rakus malah ingin menang berkali-kali. Suami dan istri, bapak dan anak turun temurun memperebutkan kursi melalui suara rakyat yang terbeli dan hanya dicari saat berkontestasi.

Baca Juga :  Anak Hanya Aman dalam Naungan Syariat Islam

Menjaga marwah suara sama halnya menjaga Indonesia, menjaga Banua. Kemajuan jaman justru membawa kita dalam dimensi peradaban yang baru. Layaknya Plato yang menemukan konsepsi pemikiran tentang negara ideal setelah kecewa terhadap ketidakadilan, generasi muda terlahir semakin cerdas dan kritis.

Gerakan anti politik uang pun semakin digaungkan bahkan banyak yang mengekspresikan penolakan secara tegas. Fenomena dialog face to face seperti yang dilakukan para kandidat capres merupakan salah satu bentuk artikulasi simbol dengan pesan “aku ingin bicara” dan “aku ingin didengar”.

Masih ada waktu beberapa hari untuk merenungkan “harga mahal” suara kita yang tak ternilai. Mari letakkan pilihan pada Pemilu 2024 dengan niat yang tulus dan lurus, gunakan hati nurani, atas dasar ridho Tuhan YME. Insyaa Allah Indonesia selamat dan sejahtera menjadi cahaya dunia. Dimulai dari titik nol… yaitu suara anda!

Iklan
Iklan