BANJARMASIN, Kalimantanpost.com – Terdakwa Rafi’i Effendi mantan Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Tanah Laut yang diduga menilep uang yang diterima oleh dinas tersebut, dituntut 15 bulan penjara.
Selain itu terdakwa juga dibebani pidana denda Rp50 juta subsider 3 bulan kurungan. Sedangkan anak buahnya bendahara penerimaan di kantor, Tinawati juga di tuntut 15 bulan penjara serta denda Rp50 juta subsider tiga bulan kurungan
Terdakwa juga dibebani membayar uang pengganti Rp31 juta, apabila tidak dapat membayar kurungannya bertambah selama 8 bulan. Sedangkan terdakwa Rafi’i karena sudah mengembalikan kerugian negara, dalam tuntutan ditiadakan.
Tuntutan ini disampaikan Jaksa Penuntut Umum yang dikomandoi Ahmad Rifani dari Kejaksaan Negeri Tanah Laut, pada sidang lanjutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banjarmasin, Rabu (19/6/202) sore dihadapan Majelis Hakim yang dipimpin hakim Usriansyah.
JPU berkeyakinan, kedua terdakwa bersama melanggar pasal 3 jo pasal 18 Undang-Undang RI No. 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP, seperti pada dakwaan subsidernya.
Seperti diketahui, terdakwa Kepala Dinas Pariwisata Tanah Laut Muhammad Rafi Effendi bekerja sama dengan Bendahara Penerimaan Tinawati pada dinas yang sama, menilep uang retribusi dan asuransi pariwisata dari obyek wisata yang ada di daerah tersebut.
Berdasarkan ketentuan dan kerja sama dengan PT Asuransi Jasa Raharja Putra, setiap retribusi pariwisata ke obyek wisata dikenai biaya Rp5.000 dengan ketentuan Rp4.500 disetor ke Kas daaerah dan yang yang Rp500 disetor ke PT Asuransi Jasa Rahardja Putra.
Ternyata, menurut JPU kedua tersangka yang di sidang terpisah dalam berkas tetapi disidang secara bersama, selama tahun 2022 hingga 2023, kedua tersangka tidak menyetor ke kas daerah sebanyak Rp42 juta dari Rp900 juta lebih perolehan dari retribusi pariwisata.
Sementara untuk jasa asuransi sebanyak Rp183 juta lebih sehingga kerugian yang di derita daerah dan perusahaan negara tersebut mencapai Rp225 juta lebih.
Dari jumlah tersebut, tambah JPU, mereka tidak dapat mempertanggungjawabkan, sehingga sampai ke ranah hukum. (hid/KPO-3)