Rofi Zardaida
*) Wartawan Senior, Wirausaha,
Kepala Perwakilan Jakarta Kalimantan Post
TAK ada yang usang dalam memperbincangkan sosok pemikir besar KH Abdurahman Wahid atau yang kerap disapa dengan Gus Dur. Cucu pendiri Nahdlatul Ulama KH Hasyim Asy’ari ini pun terkenal ramah dan baik hati.
Jiwa humanis Gus Dur menyentuh berbagai kalangan. Kendati terlihat bersahaja namun apa yang dikemukannya senantiasa sarat makna. Salah satu yang layak direnungkan adalah makna dibalik kebiasaan Gus Dur dalam menanyakan kabar seseorang dengan pertanyaan “waraskah anda? bukan dengan kalimat “sehatkah” anda hari ini?.
Mengapa Gus Dur lebih senang memakai kata “waras” dalam menggambarkan kadar kesehatan seseorang? Apa sebenarnya makna kata “waras” itu? Di Jawa Timur kata waras berarti sembuh atau sehat secara jasmani. Sedangkan di Jawa Tengah, kata waras berarti sehat secara prikologis. Sementara dalam Bahasa Banjar, waras bermakna tidak gila. Wajarlah Gus Dur saat ditanya mengapa selalu menanyakan soal kewarasan, beliau menjawab saat ini orang sehat banyak namun yang waras, sehat lahir bathin itu sedikit.
Pernyataan itu ada benarnya. Kondisi sosial masyarakat terlihat semakin kompleks. Sejak kehadiran pandemi Covid-19 Indonesia menghadapi tantangan dengan spektrum dan magnitude yang belum pernah dialami sebelumnya. Ruang pemberitaan publik diisi dengan kabar diluar nalar seputar korupsi, bunuh diri, kekerasan dalam rumah tangga, perdagangan manusia hingga perampokan.
Kesehatan jasmani memang penting, namun hendaknya kita tidak boleh lengah dan mengabaikan kesehatan rohani. Ciri-ciri orang yang berada dalam kondisi waras atau sehat jasmani rohani antara lain aktif melakukan kegiatan fisik dan sehat secara mental dengan sikap dan kepribadian yang mampu menghadapi stress dan tantangan secara stabil. Mampu membedakan mana yang baik dan mana yang benar.
Sementara ciri kewarasan yang diangkat Gus Dur adalah berupa kewarasan intelektual yang mementingkan kemaslahatan bersama bukan sekadar menguntungkan diri sendiri. Orang yang waras secara intelektual diyakini lebih kuat iman dan tidak terombang ambing oleh arus keagamaan yang sifatnya ritual fisik atau godaan modernisasi yang terlihat gemerlap namun sesungguhnya menipu. Kewarasan intelektual yang diajarkan Gus Dur adalah menanaman rasa kemanusiaan yang dengan kepribadian yang luwes.
Iklim kewarasan intelektual perlu dijaga agar mampu menunjang inspirasi manusia untuk segera menjauh dari jurang kedunguan yang membelenggu nafsu manusia dalam angkara durga. Banjarmasin telah memulainya dengan kehadiran kampung literasi yang dibangun seorang pemuda bernama Hajriansyah. Kampung buku menawarkan tempat nyaman dengan segudang buku berharga terjangkau. Disana pengunjung bebas berinteraksi dan berkreasi sambil berdiskusi seputar literasi dan seni.
Bagi anda yang belum pernah berkunjung ke Kampung Buku, jangan bayangkan tempat itu sebuah kampung, ada jalan dan rumah-rumah. Kampung buku adalah nama sebuah spot nongkrong anak muda yang menawarkan oase kekinian dalam menghargai karya literasi yang menawarkan ilmu pengetahuan, ide dan gagasan. Untuk kelas Banjarmasin, wahana nongkrong seperti ini merupakan satu terobosan yang memerlukan banyak dukungan agar semakin besar animo remaja kita dalam turut serta menambah nutrisi kewarasan intelektual.
Selain Gus Dur, ternyata Harmoko mantan Menteri Penerangan di Era Soehartopun, mengangkat filosofi yang sama ketika dihadapan para wartawan beliau menjelaskan “bukan sekadar sehat, lebih penting lagi waras,” lanjutnya.
Mari kita mulai memperbaiki diri dengan cara memiliki banyak pengetahuan melalui membaca dan mengasah kerendahan hati sebagaimana diajarkan oleh Gus Bahauddin Nursalim, tak sempurna iman seseorang jika tak memiliki pengetahuan. Namun jangan lupa, menyeimbangkan kewarasan intelektual ini dengan kebahagiaan yang menyenangkan melalui candaan cerdas ala Gus Dur yang selalu ringan dalam berujar “gitu aja koq repot!”. InsyaaAllah.