Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Saling Klaim Budaya

×

Saling Klaim Budaya

Sebarkan artikel ini

Oleh : Ahmad Barjie B Penulis Beberapa Buku Sejarah dan Budaya Banjar

Ahmad Barjie B
AHMAD BARJIE B

Setidaknya ada lima bentuk “perang saudara” yang terjadi antara Indonesia dengan negeri jiran Malaysia. Pertama, perang politik, yaitu saat kedua negara berebut kedaulatan atas Sabah dan Sarawak Kalimantan Utara, yang dikenal dalam sejarah pascamerdeka sebagai Konfrontasi Indonesia – Malaysia. Indonesia ingin Sabah dan Sarawak menjadi bagian dari NKRI, minimal meminta referendum agar rakyat di kedua daerah tersebut menentukan apakah ikut Malaysia atau Indonesia.

Dalam konfrontasi ini, Malaysia relatif menang sepihak, karena Sabah dan Sarawak yang bekas wilayah Kesultanan Brunei, Kesultanan Sulu, dan kemudian jajahan Inggris (Keluarga James Brooke dan Charles Brooke), sampai hari ini masuk Malaysia dan menjadi Malaysia Timur. Untungnya kedua daerah lebih makmur. Seandainya masuk Indonesia, belum tentu daerah itu menjadi makmur. Ada komentator di televisi mengatakan, antara daerah-daerah yang masuk Indonesia dan yang masuk Malaysia, kesejahteraan rakyatnya berbeda jauh, ibarat bumi dengan langit.

Kalimantan Post

Kedua, perebutan wilayah, di antaranya sengketa kepulauan Simpadan dan Ligitan yang dimenangkan Malaysia serta pulau Ambalat yang masih diperebutkan. Sengketa ini nyaris membuat negeri bertetangga ini berperang secara fisik, sebab angkatan laut dan udara kedua pihak sudah “bakengkengan”.

Ketiga, perang ekonomi, terkait masalah hutan, disinyalir cukong kayu illegal logging berasal dari Malaysia. Juga pencurian ikan (illegal fishing) oleh nelayan Malaysia. Keempat, perang sosial, terkait masalah TKI, yang sering diperlakukan semena-mena. Dekatnya jarak kedua negara serta banyaknya TKI legal maupun illegal, membuat masalahnya tak mudah diselesaikan.

Kelima perang budaya, yaitu klaim budaya Indonesia oleh Malaysia. Yang terakhir ini kabarnya sudah banyak produk budaya Indonesia yang diakui Malaysia sebagai miliknya. Menurut Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan era Presiden SBY, Wiendhu Nuryanti sejak 2007 sudah tujuh budaya kita yang diklaim, yaitu Reog Ponorogo (2007), lagu Rasa Sayange asal Ambon (2008), Tari Pendet asal Bali (2009), kerajinan Batik (2009), alat musik Angklong (2010), tari Tor Tor dan alat musik Gondang Sambilan asal Mandailing Sumatra Utara (2011).

Kesemua bentuk peperangan ini nyaris tak ada yang dimenangkan oleh Indonesia secara memuaskan. Hanya dalam perang budaya, ada yang berhasil kita ambil kembali, seperti Tari Pendet dan kerajinan Batik, dan klaim kita ini dikuatkan pula oleh UNESCO. Untunglah kain Sasirangan sudah berhasil kita patenkan sebagai hak cipta urang Banjar.

Baca Juga :  Banjarmasin Laksana “Anak Punai Rajawali’”

Tidak Menguntungkan

Faktor utama peperangan ini karena negeri ini serumpun di segi bangsa, agama dan budaya, tetapi berbeda negara. Sekiranya satu negara tentu tak perlu ada perang demikian. Seperti dulu dalam perang Irak-Iran, orang bilang penyebabnya hanya huruf (k) dan (n), berbeda, dan memang asal kedua negara termasuk Kuwait itu satu. Jika bersatu, tentu tak perlu ada perang saudara yang sangat berdarah-darah.

Sebenarnya sebagian rakyat Sabah, Sarawak dan Malaysia dulu ada yang ingin bergabung ke kita. Tetapi para elitnya tak mau, mereka khawatir kalau gabung, maka suku Jawalah yang akan berkuasa dan Melayu terpinggirkan. Karenanya, Malaysia langsung mengklaim Sabah dan Sarawak menjadi wilayahnya dan Malaysia memilih berdiri sendiri. Akibatnya terjadilah konfrontasi dengan Malaysia di era orde lama. Konflik ini sangat melelahkan, hingga Bung Karno jatuh masih status quo. Baru setelah orde baru dan Pak Harto berkuasa, hubungan kedua negara dinormalisasi kembali.

Konflik ini tentu tak perlu diperpanjang di masa kini. Dengan penyebab yang sama ataupun berbeda tak ada untungnya kita berperang dengan Malaysia, apa pun masalahnya. Kesamaan agama dan bangsa harus di atas segala-galanya. Janganlah kita terprovokasi oleh nasionalisme sempit (ashabiyah), sehingga gara-gara budaya saja kita jadi tegang.

Perlu Payung

Mengingat kedua negara berasal dari rumpun yang sama, kemungkinan terjadinya konflik pada lima ranah di atas masih mungkin terjadi. apalagi dalam ranah budaya di mana akulturasi dan interaksi sangat mudah terjadi. Sejarah mencatat, penduduk Malaysia yang multietnis tidak sedikit berasal dari Nusantara (Indonesia). Tekanan penjajah Belanda di masa lalu, serta terbukanya Malaysia di bawah Inggris oleh banyaknya tanah perkebunan dan kekurangan pekerja, berakibat migrasi besar-besaran ke sana.

Tak heran di Malaysia banyak sekali etnis, seperti Jawa, Bugis, Melayu dan sub Melayu. Etnis asal Sumatra dan Kalimantan khususnya termasuk dominan. Dulu dan kini mereka tinggal menetap, baik terpencar maupun berkelompok. Yang elit dan kaya lebih suka membaur dengan orang Malaysia kebanyakan, yang lainnya masih hidup berkelompok berdasarkan daerah asal. Sebagian besar mereka masih terikat dengan budaya asal leluhurnya.

Baca Juga :  Hiswana Migas Kalsel Pastikan Stok LPG Aman

Pertanyaannya, salahkah mereka itu melestarikan budayanya, sehingga kemudian dihargai, dikembangkan dan akomodasi oleh pemerintah setempat (Malaysia). Walau pun akar budaya bersikfat lokal, tetapi nilai-nilai dan pencintanya bisa saja bersifat universal. Kira-kira tidaklah terlalu salah kalau suatu budaya juga berkembang jauh dari negeri asalnya. Kita seharusnya bangga kalau budaya kita juga dijadikan budaya orang negeri seberang. Sebagaimana kita begitu bangga ketika Barack Obama misalnya pandai berbahasa Indonesia, meskipun hanya satu dua kalimat.

Seperti juga pembacaan syair maulid al-Habsyi, apakah perlu kita klaim dan daftarkan hak patentnya sebagai budaya Banjar atau Jawa karena ia berasal dan berkembang di sini. Kita malah bangga jika di mancanegara al-Habsyi juga digelarkan, karena menghormati Nabi Muhammad saw adalah kewajiban semua muslim di mana saja.

Jika kita ingin budaya terus berkembang dan tidak diakui orang lain, maka kita harus merawat dan mengembangkannya secara bertanggung jawab. Pemerintah harus berada di depan. Pengembangan budaya jangan hanya menunggu ada dana. Harus ada rasa memiliki yang besar terhadap budaya yang melekat pada semua orang.

Kita menyambut baik munculnya sejumlah kerajaan dan kesultanan di Nusantara saat ini. Termasuk di banua Banjar juga ada Kesultanan Banjar pimpinan Sultan Haji Khairul Saleh, dengan Lembaga Adat Kekerabatan dan Kesultanan Banjar (LAKKB). Termasuk organisasi DMDI (Dunia Melayu Dunia Islam) yang jaringannya bersifat regional, dari Malaka-Malaysia, Jakarta, hingga ke Banjarmasin, di mana Ketua Umum DMDI Kalsel adalah Ibnu Sina Walikota Banjarmasin. Kita berharap kesultanan, kerajaan dan DMDI yang kini hadir, dalam konteks budaya dapat menjadi payung sehingga identitas budaya, khususnya budaya Melayu Islam, menjadi jelas, pemilik dan pengembangnya pun jelas. Mudahnya klaim budaya oleh negeri lain selama ini lebih disebabkan tidak adanya lembaga yang memayunginya, dan budaya dibiarkan seolah anak ayam kehilangan induk. Budaya seperti menjadi “jalan sunyi” (meminjam istilah Randu Alamsyah), yang tidak banyak orang melakoninya.

Sekali lagi langkah bijak yang bisa dilakukan adalah merawat budaya yang ada, menggali dan mengembangkannya, sekaligus memfasilitasi para budayawan dan seniman yang berkiprah di dalamnya. Sultan Iskandar Muda mengatakan, mati anak ada pusaranya, mati budaya ke mana hendak dicari. Wallahu A’lam.

Iklan
Iklan