BANJARMASIN, Kalimantanpost.com – Topik tentang Sumber Daya Alam di Banua Merupakan Berkah atau Petaka Bagi Rakyat tetap cukup menarik untuk dibahas dan tak lekang oleh waktu. Dari sudut mana dan siapa pun yang menjadi pembicara, tetap menjadi topik hangat buaf dibicarakan.
Tim Kalimantan Post pun mengangkat tema di atas untuk diskusikan dengan dipandu Sukhrowadi
Aktivis 98 sekaligus Kepala Divisi Pengembangan Media Kakimantan Post dan pengantar Pemimpin Redaksi Kalimantan Hj Sunarti yang digelar Room Inspiring Ngopi Tradisi Lantai 2 Km 5,7 Banjarmasin, Kamis (6/2/2025) sore.
Berdasarkan hasil diskusi tokoh Banua seperti pakar Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Moh Effendi, Ketua FKUP Kalsel Ilham Masykur, Direktur Walhi Kalsel Raden Septian, advokad Nita Rosita dan Nita Rosita dari Borneo LAW Firm, wartawan Nanik Hayati, Adi Jayadi dan Satria Bima dan BEM ULM, BEM STIHSA.
Lalu, dari pemerintahan dihadiri Kabid PPAS RHL Dinas Kehutanan Provinsi Kalsel Alif Widodo, Kabid Pertambangan Dinas ESDM Provinsi Kalsel Gayatrie AF dan lain-lain dirangkum Kalimantan Post dalam beberapa tulisan di media cetak dan online Kalimantan Post.
Nara sumber Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kalimantan Selatan, Ilham Maskuri Hamdie mengungkapkan, sumber daya alam merupakan suatu berkah atau petaka bagi rakyat di Banua, menurutnya harus dilihat dari sisi mans dulu.
“Kalau kita berpikir rasional dan membanding-bandingkan antara keuntungan yang diterima dari masyarakat dan dampak kerugian akibat eksploitasi sumber daya alam,” ujarnya.
Kenyataannya, lanjut Ilham, sering terjadi kerusakan alam, pemanasan global, banjir rutin tiap tahun, terjadi konflik dan lain-lain.
“Jadi, saya mengatakan kalau pengelolaan sumber daya alam merupakan suatu berkah bagi rakyat, khususnya di Banua itu hanya sebuah mimpi,” tegasnya.
Dijelaskan dosen diberbagai perguruan tinggi di Kalsel ini, berbicara masalah lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam ini merupakan dilema moral.
“Saya pernah mencoba untuk melakukan diskusi besar di katedral Katolik bicara tentang Ormas keagamaan dan pemberian konsesi tambang. Usai acara, saya ditelpon dari pusat telah melanggar aturan. Saya pun menolak anggapan itu dan menjelaskan dengan argumen saya,” jelasnya.
Ditambahkan Ilham, dalam tema diskusi kali ini ada tiga hal menarik buat dibahas yakni eksploitasi alam atau bicara tentang kelestarian lingkungan. Kedua keadilan antargenerasi yang harus dipikirkan dan ketiga, perubahan iklim dan tanggung jawab global.
“Sejak tahun 1960-1970 kecenderungan kerusakan lingkungan ini sudah ada. Dari kejadian beberapa kasus yang ada, kasus-kasus kejahatan lingkungan kurang menjadi sorotan dalam waktu yang lama. Untuk menanggulangi persoalan lingkungan ini kita perlu bicara perihal kaitan agama dan pemahaman lingkungan secara deep ecology. Seharusnya agama menjadi sumber inspirasi bagi manusia untuk menjadikan sumber daya menjadi menguntungkan,” tandasnya.
Diungkapkan ustadz yang cukup terkenal di Banua ini, sekarang okoh-tokoh keagamaan ini sudah berubah. Fatwa-fatwa yang mendukung kelestarian lingkungan ini sudah tidak terpakai lagi. Oleh karena itu, harapannya agama bisa untuk bicara masalah konsesi ini.
“Pertanyaannya sekarang, apakah pejabat kita ber Tuhan-kan materi atau Agama? Dari sini sebetulnya kita bisa mencari figur pemimpin yang kuat. Sekarang ketua partai oligarki dan lainnya berkuasa sangat penuh. Begitu juga pemimpin agama kita sudah benyem,” katanya dengan nada keras.
Kesimpulannya, kata Ilham, perlu pemimpin yang teguh; formal dan informal dan perlu mengkritisi gerak pejabat agar lebih berpihak ke masyarakat.
Lalu, bisa kah berharap dengan agama? Yang dibutuhkan sekarang bukan lagi masalah fiqh lingkungan atau teologi lingkungan, tapi ideologi lingkungan.
“Negara ini harusnya menganut ideologi lingkungan dalam setiap pengambilan keputusannya. Pemahaman yang perlu dibangun lebih lanjut untuk ditanamkan kepada kita semua. Pentingnya moderasi beragama, nasionalisme.
Pentingnya ecoteology, bagaimana memandang lingkungan secara berketuhanan,” ujarnya.
Maksudnya, lanjut dia, memandang antara Tuhan manusia dan alam tidak terpisahkan. “Merusak alam sama dengan merusak ‘wajah Tuhan,” tegasnya.
Agama harus bisa bertindak untuk menegakkan masalah deep ecology. Bahayanya ketika lingkungan hancur, akan banyak terjadi konflik di masyarakat. Agama mengajarkan kebaikan terhadap alam. Penafsiran agama yang selama ini bersifat antroposentris, harus diubah menjadi penafsiran eco teology,” tandasnya.
Sementara itu advokad Kalsel, Rusdi menambahkan mengatakan Kalsel memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah, terutama di sektor pertambangan, kehutanan, dan pertanian.
“Batu bara menjadi salah satu komoditas utama yang dieksploitasi, namun dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat semakin menjadi perhatian,” ujarnya.
Diakui Rusdi, kontribusi sumber daya alam terhadap perekonomian daerah sangat besar. Pendapatan dari sektor pertambangan dan kehutanan menopang anggaran daerah dan membuka lapangan kerja bagi masyarakat. Namun, manfaat ini belum merata karena masih banyak masyarakat yang terdampak negatif akibat eksploitasi besar-besaran.
“Pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan dan program untuk mengelola sumber daya alam, seperti regulasi tambang, program reklamasi lahan bekas tambang, dan pengawasan lingkungan. Namun, implementasi di lapangan sering kali kurang efektif karena lemahnya penegakan hukum dan dominasi tambang ilegal,” tegasnya,” ucapnya.
Pengacara Rusdi juga mengungkapkan eksploitasi sumber daya alam, terutama pertambangan batu bara, membawa berbagai dampak negatif, antara lain kerusakan lingkungan, seperti deforestasi, degradasi lahan, dan pencemaran air akibat limbah tambang.
Lalu, banjir besar seperti yang terjadi pada tahun 1965, 1992, 2007, 2021, dan 2025. Tambang ilegal yang merusak daerah hulu sungai menjadi penyebab utama, bukan sekadar pendangkalan sungai.
Selanjutnya, konflik sosial, karena banyak masyarakat lokal yang terdampak aktivitas tambang, baik dalam bentuk kehilangan lahan, pencemaran lingkungan, maupun berkurangnya sumber daya air.
“Sementara dampak terhadap ekonomi lokal, di mana masyarakat sekitar tambang sering kali tidak mendapatkan manfaat maksimal dari eksploitasi sumber daya alam, sementara keuntungan lebih banyak dinikmati oleh perusahaan besar,” tegasnya
Belum praktik penghindaran pajak oleh perusahaan tambang, di mana satu perusahaan utama membuka izin tambang, tetapi memiliki banyak anak perusahaan yang tersebar luas. Dengan cara ini, mereka dapat menghindari pajak, royalti, dan kewajiban administrasi lainnya yang seharusnya dibayarkan kepada negara sesuai peraturan yang berlaku,” papar Rusdi.
Sayangnya, lanjut dia, penegakan hukum terhadap pelaku tambang ilegal dan perusahaan yang tidak menjalankan reklamasi masih sangat lemah. Banyak perusahaan yang tidak melakukan rehabilitasi lahan bekas tambang, sehingga menambah beban lingkungan.
Untuk menyeimbangkan eksploitasi dan konservasi sumber daya alam, Rusdi pun menyarankan beberapa langkah yang bisa dilakukan.
“Meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum terhadap perusahaan yang tidak menjalankan kewajiban reklamasi tambang dan yang melakukan praktik penghindaran pajak dengan mendirikan anak-anak perusahaan,” ucapnya.
Melakukan reklamasi tambang secara bertanggung jawab, dengan kegiatan seperti revegetasi, penimbunan kembali lahan, dan menanam tanaman bernilai ekonomi seperti karet, mahoni, dan durian lokal.
Selanjutnya, menerapkan pengelolaan sumber daya alam berbasis keberlanjutan, seperti memanfaatkan teknologi ramah lingkungan dalam pertambangan dan memperkuat regulasi tentang eksploitasi sumber daya.
“Meningkatkan peran akademisi dan perguruan tinggi, dalam melakukan penelitian serta memberikan rekomendasi kebijakan yang lebih baik bagi pemerintah dan masyarakat,” paparnya.
Meningkatkan transparansi CSR (Corporate Social Responsibility) perusahaan tambang agar benar-benar bermanfaat bagi masyarakat sekitar, bukan sekadar formalitas.
Selain itu, lanjut dia, pemerintah perlu memperketat regulasi terkait penghindaran pajak oleh perusahaan tambang dengan mengaudit menyeluruh terhadap perusahaan tambang, untuk memastikan kepatuhan mereka terhadap kewajiban pajak dan administrasi.
“Penertiban izin tambang, dengan melacak hubungan antara perusahaan utama dan anak-anak perusahaannya untuk mencegah penyalahgunaan izin. Sanksi tegas bagi perusahaan yang terbukti melakukan penghindaran pajak, baik dalam bentuk denda besar maupun pencabutan izin operasional,” pungkasnya. (ful/dev/KPO,-3)