oleh: Muhammad Aufal Fresky
*) Penulis buku Empat Titik Lima Dimensi
TUMPUKAN pekerjaan rumah bangsa ini masih menanti untuk segera diselesaikan. Bukan sebatas bagaimana mendongkrak pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Lebih dari itu untuk memberikan kesempatan yang sama bagi setiap warga terkait akses ekonomi, pendidikan, dan kesehatan yang layak. Sebab, realitasnya masih banyak rakyat yang merasa belum diperlakukan deangan seadil-adilnya oleh pemerintah. Merasa hak-haknya dirampas. Terutama oleh pemimpin-pemimpin berwatak culas berjiwa bandit.
Mereka menghamba pada kepentingan diri, keluarga, dan parpolnya. Rakyat, sama sekali tidak menjadi prioritas utama dalam perumusan dan pengambilan kebijakan. Janji-janji politiknya diingkari. Sebagian hanya menjadi penguasa yang bersikap semena-mena. Tidak mencerminkan sifat, sikap, dan kepribadian sebagai seorang pemimpin sejati. Pemimpin yang bersedia mengayomi dan melayani masyarakat sepenuh hati.
Padahal, kehadiran pemimpin yang tulus, kharismatik, visioner, dan berjiwa patriotik bisa menjadi angin segar bagi masyarkat. Pemimpin-pemimpin semacam itu akan membangkitkan spirit optimisme untuk mengadapi ragam tantangan dan persoalan hari ini dan ke depan yang kian kompleks. Pemimpin seperti itu akan menjadi penguat ikatan solidaritas sosial dan persatuan nasional. Apalagi kita sedang bersiap-siap menyongsong Indonesia Emas 2045, tentu persatuan nasional menjadi syarat mutlak. Dalam hal ini, pemimipin kita, di segala levelnya, baik pusat maupun daerah, mesti mencegah potensi terjadinya perpecahan, perseteruan, dan konflik yang berkepanjangan di tengah masyarakat. Karena hal itu, tentu saja bisa menghambat pembangunan nasional di segala sektor.
Melalui catatan ini, saya juga akan mengungkapkan betapa pentingnya kehadiran sosok pemimpin yang berkualitas untuk mewujudkan Indonesia yang lebih aman, beradab, cerdas, adil, makmur, dan sejahtera. Kepemimpinan yang menginspirasi dan menggerakkan, begitulah kira-kira yang kita dambakan. Bukan hanya sekadar duduk diam di kursi empuk, ruangan ber-AC, ongkang-ongkang kaki, tunjuk sana tunjuk sini, tapi setengah hati dalam mengabdikan dirinya untuk masyarakat. Atau bahkan, enggan untuk sekadar mendengarkan keluh kesah, kritik, saran, dan masukan masyarakat.
Tidak ada empati dan simpati terhadap kondisi masyarakat yang yang sedang menjerit-jerit. Kebeperpihakannya hanya tertuju pada individu/kelompok yang dirasa mampu memberikan keuntungan untuk mempertebal kantongnya. Di negeri ini, sudah tidak terhitung jumlahnya, pemimpin-pemimpin yang “tuli” atau “buta” terhadap aspirasi publik. Sebagian lagi, mudah tersinggung ketika ada kritikan pedas dari pemuda atau mahasiswa yang kritis terhadap regulasi yang dibuat.
Kemudian, saya pun bertanya-tanya, bagaimana sebenarnya karakteristik sikap atau perangai yang wajib dimiliki pemimpin? Entah itu mereka yang sedang diberikan mandat sebagai kepala desa, bupati, walikota, gubernur, dan atau bahkan presiden. Mengenai hal itu, izinkan saya mengutip jurnal ilmiah berjudul Membangun Kepemimpinan Berbasis Nilai-Nilai Pancasila, karya Hekmatullah et al., (2021). Di dalamnya dibahas mengenai Hasta Brata atau delapan laku kepemimpinan yang pernah dijelaskan oleh Presiden Suharto.
Pertama, Lir Surya (matahari), artinya pemimpin dapat berfungsi seperti matahati bagi yang dipimpin. Dapat memberi semangat, memberi kekuatan, dan daya hidup. Kedua, Lir Candra (bulan), artinya sebagaimana bulan, pemimpin hendaknya membuat senang bagi anggotanya dan memberi terang di waktu gelap. Ketika dalam keadaan sulit, sang pemimpin tampil untuk memberi jalan terang atau jalan keluar dari kesulitan. Ketiga, Lir Kartika (bintang), artinya sebagaimana bintang yang menjadi pedoman bagi pelaut, pemimpin hendaknya menjadi pedoman dan panutan bagi rakyat yang mungkin kehilangan arah.
Keempat, Lir Samirana (angin), artinya pemimpin harus bersifat seperti angin, teliti, tidak mudah dihasut. Dia harus “manjing ajur ajer”, bergaul dengan rakyat lapisan manapun guna mencari masukan untuk mendapatkan kebijakan atau keputusan. Kelima, Lir Mega Mendung (awan hujan), artinya pemimpin diharapkan dapat tampil berwibawa, namun keputusan/kebijakan yang diambil hendaknya bermanfaat bagi rakyat. Seperti halnya mendung yang memberi kesan menakutkan, tapi apabila hujan bermanfaat bagi bumi.
Keenam, Lir Dahana (api), artinya pemimpin harus tegas dan keras seperti api dalam menegakkan disiplin dan keadilan. Ketujuh, Lir Samudra (laut), artinya pemimpin harus berwawasan luas, sanggup menerima dan mendengar persoalan, menyaringnya, dan membuat suasana menjadi jernih kembali tanpa balas dendam. Kedelapan, Lir Bantala (bumi), artinya pemimpin diharapkan tidak hanya mau berada di atas, tapi juga bersedia di bawah.
Hemat saya, konsep Hasta Brata ini mesti dimiliki oleh setiap pemimpin di Indonesia. Pemimpin yang mengamalkan delapan laku kepemimpinan tersebut, bisa mendapatkan kepercayaan tinggi dari masyarakat. Sebab, mereka bukan hanya memiliki otoritas. Lebih dari itu, dukungan penuh untuk menjalankan progam-progamnya. Pemimpin semacam ini sebenarnya juga berjiwa Pancasila. Nilai-nilai Pancasila menjadi pegangannya. Spriit perjuangan, pengorbanan, dan pengabdiannya untuk nusa dan bangsa tidak diragukan lagi. Benar-benar totalitas dalam mempersembahkan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat.
Dia meneduhkan, menyejukkan, berwibawa, cerdas, visioner, tangguh, nasionalis, dan agamis tentunya. Spirit ketuhanan, kemanusiaa, persatuan, kerakyatan, dan keadilan bersemayam dalam jiwa dan terbukti dalam kesehariannya. Intinya, pemimpin semacam itu mengutamakan rakyat di atas kepentingan dirinya sendiri. Dia sadar betul akan amanah dan tanggung jawabnya yang harus dikerjakan. Akhir kata, saya sebagai penulis, berharap penuh, di negeri ini, semakin banyak lahir dam tumbuh di mana-mana pemimpin yang berjiwa Pancasila, patriotik, dan sekaligus mengamalkan Hasta Brata dalam kepemimpinannya. Kita mendambakan betul hadirya pemimpin sejati. Sebab dengan begitu, kita semakin optimitistis, bangsa ini mampu lepas dari jerat kebodohan, kemiskinan, dan ketertinggalan. Bahkan bisa menjadi mercusuar perabadan dunia di kemudian hari.