Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

ERA GLOBAL

×

ERA GLOBAL

Sebarkan artikel ini
Ahmad Barjie B
Ahmad Barjie B

Oleh : AHMAD BARJIE B

Sekarang kita hidup di era global, yang ditandai dengan kecepatan transportasi dan informasi, sehingga dunia terasa sempit, dan apa-apa yang terjadi di belahan dunia lain, begitu cepat kita ketahui. Berbeda dengan masa lalu, di mana untuk bepergian memakan waktu lama, dan suatu peristiwa yang terjadi begitu lama baru diketahui masyarakat di negara atau daerah lain.

Baca Koran

Era globalisasi menuntut setiap bangsa dan negara untuk memiliki suatu keunggulan, agar dapat berperan dalam percaturan dunia internasional yang semakin kompetitif. Tanpa adanya keunggulan, maka suatu bangsa cenderung berada di bawah pengaruh dan kekuasaan bangsa atau negara lain, baik di bidang politik, militer, ekonomi maupun sosial budaya. Walaupun suatu negara memiliki kekayaan sumber daya alam, tetap saja kemajuan negara itu akan tertinggal daripada negara-negara lain yang sumber daya manusianya lebih unggul.

Motivator Adrie Wongso menekankan, kemajuan suatu bangsa atau negara tidak selalu disebabkan oleh lamanya usia bangsa itu di tengah bangsa-bangsa lain di dunia. Bangsa Mesir dan India sudah berusia sekitar 2.000 tahun, tetapi masih banyak terdapat kemiskinan dan keterbelakangan di kedua bangsa ini. Sedangkan Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia Baru dan Singapura, usianya baru berkisar antara 50-250 tahun, namun bangsa-bangsa ini sudah tergolong maju.

Begitu pula kemajuan suatu bangsa tidak diukur oleh kekayaan sumber daya alamnya (SDA). Ini tampak dari negeri Jepang yang 80% tanahnya terdiri dari pegunungan yang tidak cukup untuk dijadikan lahan pertanian dan peternakan. Jepang mengimpor sebagian besar kebutuhan rakyatnya, tetapi negara ini mampu menjadi raksasa ekonomi dunia dan mengekspor berbagai produk barang jadi, baik ke negara-negara berkembang bahkan mampu menembus pasar negara-negara maju. Hal itu disebabkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang sudah begitu tinggi. Bangsa Indonesia memiliki kekayaan SDA yang luar biasa, tetapi kemiskinan dan esejahteraan masih menjadi persoalan. Kekayaan SDA kini masih banyak yang dinikmati orang lain dan bangsa lain.

Baca Juga :  Danantara dan Target Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen

Bangsa Indonesia bersama dengan bangsa-bangsa lain di dunia, berada di tengah pergaulan internasional yang semakin kompetitif. Semua ini sangat menuntut ketersediaan SDM yang unggul. Namun saat ini kondisi SDM bangsa Indonesia belumlah begitu menggembirakan. Menurut Laporan World Competitiveness Yearbook 2011, daya saing SDM Indonesia berada pada posisi 46 turun 2 tingkat dari 2010. Bangsa Indonesia masih ketinggalan dalam bidang iptek dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand. Peringkat Human Development Index (HDI) Indonesia masih rendah, pada tahun 2011 Indonesia berada di peringkat 124 dari 187 negara yang disurvei. Bahkan Indonesia menempati urutan lebih rendah dari lima dari rekan-rekan ASEAN, dengan Singapura memimpin di tempat 26, diikuti oleh Brunei (33), Malaysia (61), Thailand (103) dan Filipina (112).

Relatif rendahnya kualitas SDM bangsa Indonesia tidak terlepas dari faktor pendidikan. Pengamat ekonomi Dr Berry Priyono menerangkan, bekal kecakapan yang diperoleh dari lembaga pendidikan tidak mamadai untuk dipergunakan secara mandiri, karena yang dipelajari di lembaga pendidikan sering kali hanya terpaku pada teori, sehingga peserta didik kurang inovatif dan kreatif. Karena itu usaha yang penting dan sangat mendesak sekarang adalah meningkatkan kualitas SDM bangsa kita melalui pendidikan, karena kualitas tersebut sangat ditentukan oleh pendidikan (education), disertai kesehatan (health) dan kesejahteraan (welfare). Kesejahteraan harus adil dan merata, tidak hanya dinikmati dan dikuasai sekelompok orang. Kalau ketiga faktor ini sudah baik, maka bangsa kita akan relatif unggul dan mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Sebaliknya kalau ketiga faktor ini masih lemah, jangan harap kita bisa menjadi bangsa yang unggul. Menurut pengamatan politik Ray Rangkuti, nonsen mencapai Indonesia emas pada 2045, yang ada hanya Indonesia cemas.

Iklan
Iklan