Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Fenomena “Sarjana Gaji UMR” dan Ilusi Pendidikan Tinggi

×

Fenomena “Sarjana Gaji UMR” dan Ilusi Pendidikan Tinggi

Sebarkan artikel ini

Oleh: Hifridha Sari, Nabila Tsurayya Azizah & Hafizhaturrahmah
*) Pemerhati Pendidikan

SELAMA bertahun-tahun, masyarakat Indonesia ditanamkan keyakinan bahwa pendidikan tinggi adalah jalan emas menuju kesejahteraan. Pergi ke universitas, lulus dengan gelar sarjana, lalu mendapatkan pekerjaan bergaji tinggi—itulah impian klasik yang diwariskan dari generasi ke generasi. Namun, realitasnya jauh dari ekspektasi.

Baca Koran

Di tengah derasnya arus globalisasi dan digitalisasi, Indonesia justru menghadapi paradoks ketenagakerjaan. Semakin banyak lulusan perguruan tinggi, semakin tinggi angka pengangguran intelektual. Data terbaru dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa pada Agustus 2024, dari 7,4 juta pengangguran di Indonesia, 11,28 persen di antaranya adalah lulusan perguruan tinggi, mencakup sarjana, magister, hingga doktor. Mengapa ini terjadi? Apakah dunia kerja benar-benar kejam, ataukah ada yang salah dengan sistem pendidikan kita?

Teori modal manusia yang diperkenalkan oleh Gary Becker pada tahun 1964 menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin besar peluangnya untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dan meningkatkan produktivitas ekonomi. Secara teori, investasi dalam pendidikan seharusnya memberikan keuntungan dalam bentuk kompetensi yang lebih baik dan daya saing yang lebih tinggi. Namun, kenyataan di Indonesia justru membuktikan sebaliknya. Gelar akademik tidak serta-merta meningkatkan daya saing di pasar kerja. Sebaliknya, pendidikan tinggi melahirkan generasi yang tersesat dalam ketidakpastian ekonomi—lulusan yang menumpuk tanpa arah, berharap mendapatkan pekerjaan yang tak pernah tersedia untuk mereka.

Menurut laporan World Economic Forum, 70 persen pekerjaan di masa depan akan lebih mengutamakan keterampilan dibandingkan gelar akademik. Namun, universitas di Indonesia masih berpegang teguh pada model pendidikan tradisional yang lebih mengutamakan teori daripada praktik. Dalam dunia kerja modern, perusahaan lebih mencari tenaga kerja yang memiliki keterampilan teknis, adaptasi cepat, dan pemikiran kritis—bukan sekadar gelar akademik yang hanya membuktikan seseorang pernah duduk di bangku kuliah selama empat tahun.

Baca Juga :  SEKOLAH MAHAL ATAU PRESTASI

McKinsey Global Institute dalam laporannya memprediksi bahwa pekerjaan berbasis otomatisasi dan kecerdasan buatan akan semakin meningkat, menggantikan peran lulusan perguruan tinggi yang hanya memiliki kemampuan teoritis tanpa keahlian praktis yang relevan. Bahkan beberapa perusahaan teknologi raksasa seperti Google, Apple, dan Tesla telah menghapus persyaratan gelar akademik dalam perekrutan karyawan. Mereka lebih mengutamakan keterampilan, pengalaman kerja, dan sertifikasi kompetensi dibandingkan sekadar lembar ijazah.

Banyak lulusan perguruan tinggi akhirnya terpaksa bekerja di sektor yang tidak sesuai dengan bidang studinya, menerima gaji yang bahkan tidak sebanding dengan biaya pendidikan mereka. Seorang lulusan teknik elektro yang bekerja sebagai kasir, seorang sarjana ekonomi yang menjadi sales door-to-door, atau seorang lulusan hukum yang menjadi admin media sosial—inilah tetapi realitas yang dihadapi ribuan sarjana Indonesia.

Data dari Bank Dunia bahkan menunjukkan bahwa return of investment pendidikan tinggi di Indonesia terus menurun. Artinya, biaya yang dikeluarkan untuk kuliah tidak lagi sebanding dengan peningkatan pendapatan setelah lulus. Pendidikan tinggi yang seharusnya menjadi eskalator sosial kini berubah menjadi jebakan finansial.

Masalah ini bukan hanya kesalahan individu lulusan yang dianggap kurang berkompeten. Sistem pendidikan tinggi di Indonesia memang tidak siap menghadapi perubahan zaman. Banyak perguruan tinggi masih mengajarkan teori-teori lama yang sudah tidak aplikatif dalam industri modern. Alih-alih membekali mahasiswa dengan keterampilan digital, kewirausahaan, atau soft skills, mereka justru dijejali mata kuliah yang tak berhubungan dengan tuntutan dunia kerja.

Di negara maju, universitas dan industri memiliki hubungan erat. Mahasiswa diberikan kesempatan untuk magang di perusahaan sebelum lulus, sehingga mereka memiliki pengalaman nyata sebelum masuk ke dunia kerja. Di Indonesia, sistem ini masih lemah dan terfragmentasi. Selain itu, kebijakan ketenagakerjaan yang tidak berpihak pada lulusan baru semakin memperparah keadaan. Perusahaan cenderung mencari tenaga kerja berpengalaman, sementara lulusan baru justru kesulitan mendapatkan pengalaman karena tidak ada kesempatan kerja yang diberikan. Siklus ini menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus.

Baca Juga :  Memperbaiki Konektivitas Jalan Guna Tumbuhnya Ekonomi

Jika sistem ini terus dibiarkan, Indonesia akan menghadapi ledakan pengangguran intelektual yang semakin besar. Generasi muda yang sudah menghabiskan bertahun-tahun dan puluhan juta rupiah untuk pendidikan tinggi akan kehilangan kepercayaan terhadap institusi akademik. Maka, perubahan harus segera dilakukan. Universitas harus bertransformasi menjadi pusat pengembangan keterampilan, bukan sekadar pencetak ijazah. Pemerintah harus memberikan insentif bagi industri untuk merekrut lulusan baru dan menghapus regulasi yang menghambat kerja sama antara kampus dan dunia usaha.

Mahasiswa juga harus menyadari bahwa dunia kerja tidak lagi sekadar soal gelar, tetapi soal kompetensi, fleksibilitas, dan kemampuan beradaptasi. Seperti yang dikatakan Alvin Toffler, mereka yang akan tertinggal di abad ke-21 bukanlah mereka yang tidak bisa membaca atau menulis, tetapi mereka yang tidak bisa belajar, melupakan, dan belajar kembali. Dalam era ini, bukan gelar yang menjamin masa depan, tetapi kemampuan untuk terus belajar dan beradaptasi. Jika Indonesia tidak segera membongkar paradigma lama tentang pendidikan tinggi, kita akan kehilangan satu generasi—bukan karena mereka bodoh, tetapi karena sistem ini telah gagal memberi mereka masa depan.

Iklan
Iklan