Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Rumah Air

×

Rumah Air

Sebarkan artikel ini
Ahmad Barjie B
Ahmad Barjie B

Oleh : Ahmad Barjie B
Penulis buku “Potret Sungai Banjar Kalimantan Selatan”

Jika manusia merusak rumah air, maka air akan menyerang rumah manusia. Ungkapan sederhana ini dikutip oleh alm KH Zainuddin MZ dari kakeknya. Air hakikatnya benda mati, sebenarnya tidak memiliki naluri saling menyerang sebagaimana sifat manusia dan binatang. Tetapi air benda alam yang terikat dengan hukum kausal, sebab akibat, ia memiliki unsur kehidupan, selalu bergerak, mengalir, meluap, menerjang. Air memiliki massa yang berat dan karenanya mencari tempat yang lebih rendah.

Baca Koran

Selama ini banjir sering terjadi di mana-mana, tidak saja di ibukota Jakarta, bahkan di banyak daerah dan kota lainnya di hampir seluruh Indonesia. Tidak heran setiap saat kita selalu disuguhi berita banjir, ada yang kecil, sedang, dan banjir besar mencapai atap rumah penduduk, dengan segala akibat, kerugian dan keprihatinnya, seperti tanah longsor, rusaknya lahan persawahan dan perkebunan, kerugian harta benda, lumpuhnya kegiatan sosial ekonomi hingga korban binatang ternak dan jiwa manusia.

Air Butuh Rumah

Fenomena banjir tak sekadar peristiwa rutin alam tahunan atau lima tahunan, tetapi sudah merupakan bencana akibat kesalahan manusia. Bentuk kesalahan paling fatal, manusia telah merusak rumah air.

Rumah air banyak sekali, dari pohon, hutan, tanah, sungai, danau, laut, kawasan rawa, selokan, sumur, parit, drainase, bendungan, kanal, dan seterusnya. Sekadar contoh, setiap pohon berdiameter satu meter akan mampu menampung delapan drum air. Maka ketika terjadi penebangan satu juta pohon, berarti delapan juta drum air kehilangan rumah.

Kita ingat, pada 1970/80-an sungai Barito dan Martapura penuh dengan kayu gelondongan ukuran besar untuk industri kayu lapis, dll. Saking borosnya menebang sampai banyak yang lapuk. Hitung saja berapa juta ton air kehilangan rumah.

Belum lagi rusaknya hutan akibat penebangan, penambangan, alih fungsi dan sebagainya. Mujiono Abdillah dalam disertasinya menyatakan, penyebab terjadinya banjir selama ini adalah: Pertama, faktor klimatologis (iklim). Di musim penghujan saat volume air hujan sangat tinggi melebihi daya tampung sungai.

Kedua, menurunnya daya serap tanah terhadap air hujan yang disebabkan penutupan permukaan tanah oleh bangunan, urug, betonisasi dan sejenisnya. Serta rendahnya kemampuan menahan air hujan karena terjadinya dehutanisasi atau rusaknya hutan (deforestry).

Ketiga, penipisan hutan lindung untuk keperluan perluasan lahan pertanian, perkebunan, penambangan di daerah hulu sungai dan meningkatnya percepatan pelarian air hujan ke sungai karena gundulnya pepohonan, penebangan dan pengelupasan permukaan tanah oleh penambangan.

Baca Juga :  Korporasi Pertanian, Solusi Untuk Ketahanan Pangan?

Keempat, perubahan peruntukan daerah penampungan air sungai menjadi daerah permukiman atau lingkungan industri. Banyak lahan rawa, gambut, yang sebelumnya hanya digunakan untuk bertani, justru dirubah jadi pemukiman dan perusahaan.

Kelima, penurunan daya tampung sungai, berupa pendangkalan palung sungai oleh sedimensi (pelumpuran), penyumbatan sungai karena sampah dan limbah padat; penyempitan palung sungai karena disfungsi aliran sungai, seperti bangunan di bantaran sungai.

Pakar lingkungan alm Otto Soemarwoto menyatakan, kerusakan hutan variabel terbesar banjir, disusul rusaknya sungai. Berkurangnya hutan berakibat air hujan yang meresap ke dalam tanah berkurang, pengisian air tanah juga berkurang. Hilangnya hutan juga berarti makin besarnya erosi dan tingginya kandungan lumpur dalam air sungai. Sedimensi yang tinggi menyebabkan air sungai keruh, tidak layak konsumsi, tidak disenangi ikan dan juga tidak menarik pariwisata. Lumpur yang mengendap di hilir dan muara sungai, menghambat kelancaran arus air sehingga risiko banjir semakin tinggi.

Gerakan Terpadu

Semua pernyataan di atas menunjuk kepada satu titik, yaitu rusaknya rumah air. Di banyak pulau rumah-rumah air nyaris semua rusak dan tidak terjaga lagi, termasuk pulau Kalimantan yang seharusnya terjaga dari kerusakan. Di daerah ini yang namanya pengrusakan hutan seperti penebangan dan penambangan seolah menjadi kebanggaan karena menghasilkan kemakmuran semu bagi sebagian pengusaha, pejabat dan warga, tanpa memikirkan akibatnya di masa datang.

Wajar daerah ini juga sering mengalami bencana alam banjir. Apa jadinya lubang-lubang raksasa bekas penambangan itu, siapa dan di mana lagi yang akan menampung hujan di gunung, bagaimana pula kalau air laut sampai menembus daratan. Air yang merasa rumahnya sudah dirusak oleh manusia pasti tidak akan bertahan. Ia akan menerjang, membanjiri sungai dan kawasan pemkiman. Sama dengan binatang liar yang terpaksa masuk kampung karena habitatnya dirusak.

Cara paling penting dan rasional mengatasi banjir adalah menghindari aksi pengrusakan rumah air, baik di sektor hulu, tengah maupun hilir. Untuk kota besar seperti Jakarta, program jangka panjang bolehlah dipikirkan membuat bendungan raksasa atau terowongan sebagai rumah air saat banjir dan menjadi jalan raya saat kering, atau sumur resapan seperti dilakukan Pemprov DKI. Boleh juga meniru Amsterdam yang mampu bebas banjir padahal kotanya lebih rendah daripada permukaan laut. Mendesak pula melakukan normalisasi sungai, dengan perluasan dan pendalaman sebagaimana segera dilakukan Pemprov Jakarta. Semua gagasan ini tentu sangat membutuhkan dana besar.

Baca Juga :  SEKOLAH MAHAL ATAU PRESTASI

Di atas semua itu tak boleh dikesampingkan dan ini paling penting adalah mencegah terjadinya kerusakan rumah-rumah air sebagai tersebut di atas. Selama rumah-rumah air masih saja dirusak, secanggih apa pun usaha dan solusi dilakukan, tetap tidak akan efektif.

Mengantisipasi kerusakan rumah-rumah air jelas peran dan tanggung jawab tidak hanya di pundak pemerintah. Justru masyarakat, pengusaha, LSM dan para pihak sangat dituntut kesadaran dan peran aktifnya.

Selama ini banyak pihak hanya menonjolkan kepentingannya pribadi. Banjir Jakarta misalnya, tak lepas dari rusaknya hutan dan pegunugan di kawasan Puncak Jawa Barat dan sekitarnya. Puncak justru dipenuhi bangunan dan villa mewah milik orang Jakarta sendiri, termasuk yang dibangun di kawasan terlarang.

Banjarmasin dan Kalsel juga mencatat banjir besar 2021 lalu. Penyebabnya hampir sama. Betapa banyak pengusaha di kota yang membangun hotel, ruko, gedung, rumah, dll, tanpa memperhatkan sungai dan kawasan tangkapan air. Aturan rumah panggung seperti tak diindahkan, dan pemerintah kota seolah tak berdaya mengaturnya, padahal bangunan itu tampak di depan hidung.

Di kawasan hulu, betapa maraknya penambangan batubara tanpa reklamasi yang sekaligus merusak hutan dan tanahnya. Atas nama investasi dan peningkatan PAD, penambangan seolah terus diberi peluang, padadal manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat tak seberapa. Sumber terbesar APBN/ABPD selama ini justru dari hasil pajak rakyat, bukan royalti tambang. Tidak ada sejarahnya negara/daerah makmur karena investasi, terlebih dengan merusak alam.

Masyarakat apalagi, betapa banyak yang masih suka membuang sampah sembarangan, membangun di atas sempadan dan bantaran sungai. Tak punya visi membangun dan menyelamatkan lingkungan untuk hari depan.

Kesadaran dan pengendalian diri untuk keselamatan orang banyak sangat kurang di hati kita semua. Wajar alam jadi rusak dan banjir menjadi kenyataan sehari-hari. Ketika alam marah, kita tak akan sanggup melawan. Solusi terbaik kita harus bersahabat dengan alam. Merusak dan melawan alam sama dengan bunuh diri.

Iklan
Iklan