oleh: Noorhalis Majid
DI negara-negara maju yang peradaban di jalan rayanya lebih tinggi, sangat memuliakan pejalan kaki sebagai pengguna jalan yang harus diutamakan.
Lahirlah budaya, dimana truk teronton menghormati mobil kecil – terutama mobil penumpang, mobil menghormati pengemudi kendaraan, kendaraan roda dua menghormati pengguna sepeda, dan akhirnya semua pengendara di jalan, mulai dari truk teronton, mobil, kendaraan roda dua dan sepeda, memuliakan pejalan kaki, mengutamakan pengguna kursi roda dan melindungi kelompok disabilitas.
Memang begitulah seharusnya peradaban di jalan raya. Bukan sebaliknya, truk teronton arogan melibas mobil penumpang, mobil merampas hak pengemudi kendaraan, kendaraan semena-mena membahayakan pengguna sepeda, dan semua pengendara di jalan raya merampas hak penjalan kaki, pengguna kursi roda, dan tidak melindungi kelompok disabilitas.
Hal demikian menggambarkan hukum rimba jalan raya, dan itulah yang terjadi pada negara-negara yang peradaban di jalan rayanya masih rendah. Yang pelayanan publik di jalan raya tidak ditangani secara serius. Jalan raya hanya dijadikan obyek untuk mencari keuntungan dan uang, tidak dalam rangka membangun peradaban, apalagi sampai ekspresi seni dan budaya.
Sejumlah negara yang warganya rajin berjalan kaki dan terbukti menjadi negara yang tingkat kesehatannya terbaik, serta peradabannya semakin menjadi teladan, antara lain Jepang, Singapura, Hong Kong, Tiongkok, United Kingdom, Amerika Serikat, Ukraina, Rusia, Spanyol, Swedia, Swiss, dan Korea Selatan. Sementara Indonesia, berada di peringkat terakhir dalam daftar negara yang rajin berjalan kaki.
Dengan berjalan kaki, tentu saja interaksi dan komunikasi antar warga terjalin intensif. Karena saat berjalan kaki, akan berpapasan dengan orang lain yang juga berjalan kaki. Berbeda halnya kalau mengendarai mobil atau kendaraan, tidak akan berpeluang terjalinnya interaksi dan komunikasi. Bahkan pada rute yang rutin dilewati setiap hari, pasti akan terbangun keakraban pada orang-orang yang dipapasi setiap harinya, dan dengan demikian interaksi warga dapat memrbangun rasa solidaritas dan kerjasama.
Sementara negara yang paling banyak menggunakan sepeda, tentun saja Belanda, disusul Belgia, Jepang, Tiongkok dan Swiss. Bahkan di Belanda dan Belgia, jumlah sepedanya lebih banyak dari pada jumlah warganya. Di tempat-tempat umum, sepeda dapat disewa, dan semua orang tanpa kecuali, termasuk pejabat pemerintahan dan keluarga kerajaan, menggunakan sepeda sebagai moda transportasi dalam segala aktivitas.
Perlu diketahui, jalan raya yang sekarang dibangun begitu modern, awalnya adalah jalan setapak untuk pejalan kaki. Sejak 3000 tahun SM sudah ditemukan jalan setapak di Mesopotamia. Dari sanalah peradaban jalan raya pertama seperti di Romawi, Tiongkok, dan India dibangun lebih maju dengan lapisan batu dan kerikil. Di Indonesia sendiri jalan-jalan pertama juga jalan setapak berupa tanah, sampai pihak kolonial membangun jalan melalui sistem yang disebut kerja paksa, walau banyak juga yang mengatakan bahwa semua pekerja pembuat jalan tersebut dibayar.
Kalau jalan berawal dan bermula diperuntukkan untuk pejalan kaki, kenapa kemudian justru pejalan kaki yang tersingkir di jalan raya? Kenapa jalan raya tidak menjadi ekspresi ketinggian peradaban warganya, sehingga pejalan kaki, pengguna kursi roda dan kelompok disabilitas, dimuliakan sebagai pengguna jalan yang diutamakan dan dilindungi.
Ada banyak contoh dimana negara memberikan kemuliaan bagi para pejalan kaki, dimana mereka membangun trotoar dan fasilitas demi keamanan dan kenyamanan pejalan kaki. Sebut saja misalnya, New York Amerika, trotoarnya luas, bersih dan seluruh bloknya diberi nama serta nomor dengan jelas, dengan itu pejalan kaki tidak mungkin nyasar.
Begitu juga dengan Vancouver Kanada, sebagian besar warganya memilih berjalan kaki, karena pemerintahnya telah membangun sistem transportasi yang terintegrasi dari satu tempat ke tempat lainnya. Paris Prancis, Buenes Aires, Florence Italia serta Vientiane Laos dan Marrakesh Maroko juga demikian, membangun tempat yang nyaman serta memuliakan untuk pejalan kaki, terbangunlah budaya berjalan kaki bagi warganya.
Dulu ketika mobil dan kendaraan roda dua belum banyak dan tidak arogan seperti sekarang ini, ditunjang penghijauan yang rindang di sepanjang jalan, serta trotoar yang cukup bagi pejalan kaki, hampir semua anak di kabupaten/kota di Kalimantan Selatan, pergi ke sekolah hanya berjalan kaki, pun ibu-ibu yang berangkat ke pasar, juga berjalan kaki. Padahal jarak dari rumah ke sekolah atau ke pasar mungkin mencapai 3 – 4 km. Namun setelah jalan diperlebar dan memangkas pohon serta trotoar karena ingin melayani mobil dan kendaraan, akhirnya tidak ada yang mau berjalan kaki. Pergi ke warung yang jaraknya hanya 100 meter pun menggunakan motor.
Agar tidak terjadi hukum rimba di jalan raya, dimana yang besar dan kuat mengalahkan yang lemah lagi tak berdaya, maka selain membenahi aturan dan segala bentuk regulasi, yang lebih penting adalah membangun fasilitas yang aman dan nyaman.
Bila trotoar dengan segala fasilitasnya, termasuk hal-hal yang dibutuhkan generasi muda, dan semuanya dibangun dengan memuliakan manusia, terutama penyandang disabilitas, anak-anak dan perempuan, maka perlahan akan lahir kembali budaya berjalan kaki. Bersamaan itu ditata tentang penggunaan jalan raya yang saling memuliakan satu dengan lainnya, sehingga tidak ada arogansi berlalu lintas.
Di sekolah-sekolah dasar, mulai dari PAUD dan TK, hendaknya diajarkan tentang adab dan budaya di jalan raya. Termasuk adab saat berada di angkutan umum, dan adab di ruang publik untuk saling memuliakan manusia.
Di sekolah-sekolah dasar di Jepang, semua adab terkait di ruang publik, termasuk di jalan dan angkutan umum, diajarkan dan dipraktikkan dalam bentuk mata pelajaran. Sehingga, sekolah benar-benar laboratorium kehidupan, yang memberi bekal saat berada di tengah masyarakat.
Kalau tidak pernah ada pembelajaran secara dini tentang adab di jalan raya, jangan salahkan bila yang terjadi hukum rimba jalan raya. Tidak ada adab dan budaya, karena yang kuat menggilas yang lemah. (nm)