Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Laskar Pelangi

×

Laskar Pelangi

Sebarkan artikel ini
Ahmad Barjie B
Ahmad Barjie B

oleh: Ahmad Barjie B
Alumnus SMPN dan MAN Kelua-Tabalong

KITA patut mengingat cerita Laskar Pelangi, film layar lebar yang sempat the best dan ditonton jutaan orang, mulai anak-anak, guru, menteri sampai presiden. Andrea Hirata, pengarang novel tersebut, salah satu dari 12 murid sekolah yang berada di pedalaman Bangka Belitung (Provinsi Babel sekarang). Meski sekolahnya rongsokan, tapi dari situ lahir para intelektual handal, karena muridnya punya semangat belajar yang tinggi. Mereka menyintai gurunya dan sedih kalau tidak belajar. Berbeda jauh dengan iklan satu obat, para siswa berjingkrak gembira ketika gurunya sakit, dan berbalik kecewa gurunya cepat sembuh. Belajar seolah beban, bukan kebutuhan.

Baca Koran

Laskar Pelangi punya guru yang gigih mengabdi tanpa pamrih. Tak pernah berpikir uang gaji, tunjangan, sertifikasi, fasilitas, pangkat dan aksesori lain yang identik dengan materi dan gengsi. Dengan sepeda butut, murid dan guru berpacu dalam kegigihan menuntut dan memberi ilmu.

Kegigihan seperti ini pula yang menjadi modal utama para ulama dan guru agama yang aktif berdakwah di tengah masyarakat. Buku “Ulama Kalsel dari Masa ke Masa”, yang diterbitkan MUI Kalsel 2010/2011 memperlihatkan, para ulama umumnya berangkat dari pendidikan madrasah, pondok sederhana dan kaji duduk, berguru dari satu ke ulama lainnya. Ketika murid dan guru sama-sama ikhlas, akhirnya ilmu dapat dikuasai dan mendatangkan berkah. Mereka menjadi ulama panutan di zamannya. Para tokoh pendiri bangsa ini umumnya juga berangkat dari keterbatasan. Nyatanya mereka menjadi orang hebat, adayang sampai menguasai 4-5 bahasa asing.

Sekolah Nonprofit

Seyogianya semua sekolah negeri dan swasta, memiliki kelengkapan dan keunggulan sarana dan fasilitasnya, kompetensi dan profesionalitas guru dan tenaga kependidikannya. Namun sekolah dimaksud harus dapat dimasuki anak didik dari semua kalangan tanpa membedakan tingkat sosial ekonomi para orangtua yang memang tidak sama, ada yang kaya, sederhana bahkan miskin.

Lembaga pendidikan hakikatnya organisasi publik nonprofit. Bukan mencari untung materi tetapi lebih bersifat sosial melayani kebutuhan pendidikan semua lapisan masyarakat. Dunia pendidikan menganut prinsip education for all atau universal education, pendidikan untuk semua.

Baca Juga :  SEKOLAH MAHAL ATAU PRESTASI

Selama ini kita menyaksikan, muncul lembaga-lembaga pendidikan eksklusif, terutama bayarannya. Banyak sekolah negeri lebih mahal daripada swasta atau sebaliknya. Hanya kalangan orangtua berduit yang bisa menyekolahkan anaknya ke sana. Selebihnya orangtua dan anak gigit jari. Sekadar sekolah reguler saja mereka sudah sesak nafas. Sebenarnya banyak pakar menolak keberadaan sekolah mahal. Mereka khawatir sekolah itu bukannya bertaraf tapi bertarif nasional atau internasional alias mahal, sementaranya mutunya biasa saja. Pendidikan berkualitas mestinya hak semua orang, tanpa perlu berlabel plus, unggulan, model, RSBI, SBI dan sejenisnya.

Munculnya sekolah/PT mahal di antaranya disebabkan kesalahan paradigma. Sekolah/kuliah dianggap investasi, yang kelak keuntungannya dipetik orangtua dan anak, seperti menabung, membeli rumah atau tanah yang kelak akan untung. Paradigma ini muncul karena pola pikir sekuler, liberal dan kapitalistik. Lalu praktisi pendidikan mengadopsinya untuk menjustifikasi beragam pungutan dan komersialisasi pendidikan. Akibatnya, banyak sekali modal yang dileluarkan untuk sekolah/kuliah dan mendapatkan gelar tertentu. Tentu hanya kalangan keluarga mampu saja yang mampu menjangkaunya, yang tak mampu akan tersisih, kalah sebelum bertanding. Akhirnya lulusan pendidikan berusaha menjadikan pekerjaannya sebagai ladang untuk mengembalikan modal dan meraih untung sebanyak-banyaknya. Belum lagi untuk meraih jabatan tinggi, kembali uang yang berbicara. Maka korupsi, penyalahgunaan jabatan, mark up, tarif layanan yang mahal, pat gulipat dan semacamnya menjadi hal biasa. Jika ini dibiarkan, maka gurita korupsi yang kini sudah parah, t
ak bisa dipotong lagi.

Memang dengan sekolah/kuliah, anak dan orangtuanya akan beroleh keuntungan, karena ia mungkin akan bekerja dan menjadi orang baik. Tapi yang lebih untung adalah masyarakat dan negera. Melalui ilmu dan keahliannya mereka mengabdi untuk masyarakat dan negara. Sebaliknya, jika tidak sekolah, lalu menjadi penganggur dan pelaku kriminal, mereka menjadi beban bahkan ancaman bagi masyarakat dan negara. Jadi, sesuai ajaran agama dan pesan konstitusi, mestinya negaralah yang bertanggung jawab memfasilitas dan membiayai pendidikan tersebut. Jelas berbeda dengan investasi uang atau barang, yang keuntungannya hanya dinikmati investornya sendiri. Jepang sudah lama menganggap pendidikan sebagai investasi negara, bukan investasi pribadi dan keluarga. Hasilnya, Jepang sukses menjadi negara maju, karena benar-benar all out membiayai dan memajukan pendidikan penduduknya.

Baca Juga :  Danantara dan Target Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen

Misi Awal

Di tengah sulitnya masyarakat umum mencapai sekolah bermutu, perlu ditekankan agar pendidikan kembali ke misi awalnya untuk mencerdaskan bangsa. Kepada anak didik penting kita pesankan agar selalu rajin belajar. Biar studi di sekolah biasa, tak mustahil bisa jadi orang. Meski orang tua hidup sederhana, tak mustahil keberhasilan menanti, asalkan gigih. Mujiburrahman (kini Rektor UIN Antasari), anak seorang ulama dan PNS (Drs H Jamhari Arsyad, alm), tapi PNS dahulu tak semakmur sekarang. Terbukti ketika mau studi ke Universitas al-Azhar Mesir, Mujiburrahman gagal berangkat karena tidak punya dana awal ke sana. Akhirnya ia beroleh beasiswa ke Kanada dan Belanda.

Hal sama kita pesankan kepada para guru. Keikhlasan mengajar kunci lahirnya siswa unggul dan berkarakter. Ikhlas tak berarti hidup kere seperti ibu gurunya Laskar Pelangi. Ikhlas itu mengabdi secara all out. Kita guru banyak berhitung, kepandaian siswa akan serba tanggung.

Pemerintah secara serius harus mengupayakan pendidikan murah, kalau tidak bisa gratis. Selain tingkat SD dan SLTP, perlu penggratisan pendidikan hingga SLTA, supaya orang tua sempat menabung untuk persiapan masuk kuliah. Pengawasan harus intensif dilakukan, supaya sekolah, terutama yang berstatus negeri, tidak mudah memungut dari orang tua. Sesuai namanya, sekolah negeri mestinya semua biayanya ditanggung pemerintah pusat dan daerah.

Pemerintah seharusnya melengkapi sarana dan prasarana pendidikan tanpa kecuali. Juga memperbaiki kesejahteraan guru, termasuk guru honorer penting sekali diperhatikan. Kita sependapat guru-guru terus diangkat taraf hidupnya. Asal semua digunakan meningkatkan kompetensi kepribadian, pedagogik, profesional dan sosial. Bukan mengejar materi, memupuk gengsi, apalagi menambah istri, yang berdampak terabaikannya tugas mendidik dan mengajar. Nah.

Iklan
Iklan