BANJARMASIN, Kalimantanpost.com – Menandai jatuhnya pemerintahan Orde Baru diawali oleh adanya krisis moneter yang berakibat pada merosotnya nilai rupiah terhadap mata uang dolar. Keadaan ini diperburuk pula ketika menjelang Pemilu 1997 dimana-mana terjadi kekacauan.
Di Jakarta banyak kerusuhan yang bernuansa politik hingga suasana di daerah-daerah terbawa arus yang mencekam. Kerusuhan terjadi Ciputat, Kebayoran Lama, Tangerang, Bekasi, Bangil dan Banjarmasin.
Sejarawan Universitas Lambung Mangkurat, Dr Mansyur MHum menyebutkan kerusuhan di Banjarmasin terjadi pada tanggal 23 Mei 1997 yang dikenal sebagai Tragedi Jumat Kelabu, karena menimbulkan ratusan jiwa manusia, harta benda serta bangunan gedung dan perumahan telah dibakar habis oleh amukan massa yang sedang kalap.
“Kejadian yang sama sekali tidak pernah ada yang menduga ini, bermula dengan kampanye putaran terakhir bagi partai Golkar yang jatuh pada hari Jumat,” beber Mansyur.
“Menurut rencana kegiatan kampanye Partai Golkar di Banjarmasin dilaksanakan besar-besaran dan dihadiri Menteri Sekretaris Kabinet Drs H Syadillah Mursyid, MPA dan K.H. Hassan Basri, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat,” sambungnya.
Lebih lanjut, Mansyur menceritakan Kerusuhan berawal ketika massa Golkar berpawai menuju tempat kampanye di Lapangan di Jalan Kamboja melewati jalan di depan Masjid Noor yang biasa ditutup karena digunakan oleh sebagian jemaah sholat yang berada di luar Masjid.
Raungan suara sepeda motor yang melintasi jalan di saat jemaah belum selesai melaksanakan shalat Jumat memicu kemarahan warga. Warga yang merasa dilecehkan serta merta menyerbu dan mengejar yang berpawai, membubarkan mereka yang berkumpul di lapangan Kamboja dan membakar atribut Golkar.
Peserta kampanye tidak peduli laki-laki atau perempuan yang mengenakan baju atau kaos kuning, dipaksa melepaskan pakaiannya dibawah ancaman senjata tajam, seperti clurit, golok dan sebagainya.
Setelah memporak-porandakan peserta kampanye, massa yang brutal dan tak terkendali mengalihkan sasarannya kepada bangunan kantor, rumah ibadah, toko, tempat hiburan, hotel dan sebagainya.
Mereka melempari kaca-kaca, membakar mobil dan bangunan serta menjarah isi toko dan supermarket. Kejadian berlangsung dari pukul 13.00 sampai dengan pukul 20.00 wita, dan selama itu pihak keamanan seakan tak berdaya.
Kerusuhan Jumat Kelabu itu menimbulkan kerugian yang tidak sedikit. Kerugian dari segi harta benda tercatat : mobil (21 terbakar, 12 rusak), sepeda motor (60 terbakar, 4 rusak), kantor, instansi pemerintah, bank 12 terbakar/rusak, pertokoan dan tempat hiburan 10 terbakar/rusak, tempat ibadah 5 terbakar/rusak, dan bebertapa sekolah, panti jombo serta rumah penduduk terbakar, sehingga sekitar 400 kepala keluarga kehilangan tempat berteduh dan sekitar 4.000 karyawan kehilangan pekerjaan.
Disamping itu, korban jiwa juga tidak sedikit. Tercatat yang meninggal (135 orang), hilang (164 orang), luka-luka (lebih 100 orang). Belum termasuk mereka yang ditahan sebanyak 304 orang untuk menunggu proses selanjutnya.
Banyaknya selisih antara jumlah korban yang meninggal atau korban yang dilaporkan hilang itu terjadi karena korban yang meninggal sebagian besar tidak dapat lagi dikenali karena hangus terbakar.
Peristiwa 23 Mei 1997 ini sangat menggores perasaan masyarakat Kalimantan Selatan, karena sepanjang pemerintahan Orde Baru tidak pernah terjadi unjuk rasa yang anarkis apalagi sampai meminta korban jiwa manusia.
Kejadian ini pun kata Mansyur, semakin melemahkan posisi pemerintahan Orde Baru, karena di beberapa daerah yang selama ini dinilai aman ternyata mengalami kejadian yang luar biasa.
Musuh-musuh Orde Baru menjadikan peristiwa semacam kerusuhan 23 Mei ini sebagai reaksi ketidakadilan yang dirasakan masyarakat selama ini. Kasus ini sampai sekarang tidak terungkap dengan jelas siapa pelaku yang bertanggung jawab.
Mansyur memaparkan gejolak-gejolak yang terjadi di Ibu kota Jakarta menjelang kejatuhan pemerintahan Orde Baru diikuti dengan seksama oleh daerah-daerah termasuk Kalimantan Selatan.
Spanduk-spanduk yang terbentang di jalanan dan depan Kampus Unlam mendukung gerakan yang dilancarkan komponen mahasiswa Jakarta agar Presiden RI Jenderal Soeharto mengundurkan diri, karena dinilai sudah tidak layak lagi memimpin bangsa Indonesia yang sedang dilanda berbagai krisis.
Besarnya tekanan para demonstran, merebaknya kerusuhan, dan terbentuknya opini yang diciptakan pers yang sangat menyudutkan pemerintah Orde Baru, mengakibatkan Presiden Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden pada tanggal 21 Mei 1998, dan sejak itu tumbanglah Pemerintahan Orde Baru. (sfr/KPO-3)