Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Sekolah Rakyat : Solusi Atau Sekedar Janji Politik?

×

Sekolah Rakyat : Solusi Atau Sekedar Janji Politik?

Sebarkan artikel ini

Oleh : Siti Rohani 
Mahasiswi FISIP ULM Banjarmasin, Magang pada Ombudsman RI Kalsel 

Baru-baru ini pemerintah meluncurkan Program Sekolah Rakyat sebagai bagian dari janji kampanye Presiden Prabowo Subianto yang bertujuan untuk menyediakan pendidikan gratis bagi anak-anak dari keluarga yang tergolong miskin dan miskin ekstrem. Namun kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran mengenai segregasi, yaitu sistem yang memisahkan siswa ke dalam kelompok karakteristik tertentu sosial, akibat pemisahan siswa dari kalangan miskin ke dalam sekolah khusus yang berpotensi menciptakan stigma dan memperburuk kesenjangan sosial. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menekankan kurangnya kajian yang mendalam yang dapat menjadikan siswa sebagai “kelinci percobaan” dalam sistem pendidikan yang belum teruji.

Kalimantan Post

Tantangan logistik juga sangat signifikan terutama di daerah terpencil seperti Papua, di mana renovasi gedung dalam waktu 80 hari menghasilkan fasilitas yang belum memadai seperti asrama dan ruang kelas yang tidak memenuhi standar. Selain itu, kurangnya transparansi dalam pengelolaan anggaran dan minimnya partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan menimbulkan skeptisisme bahwa program ini lebih berorientasi pada pencitraan politik daripada sebagai solusi pendidikan yang berkelanjutan sebagaimana dilaporkan oleh media nasional. Selain itu baru-baru ini dari total 1.469 guru yang lulus seleksi tercatat 143 orang memutuskan mundur atau tidak memenuhi panggilan penugasan untuk mengajar di sekolah rakyat, penyebab utamanya adalah lokasi penempatan yang terlalu jauh dari domisili masing-masing guru.

Program ini diatur berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2025 tentang Optimalisasi Pengentasan Kemiskinan dan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem. Inpres ini menugaskan Kementerian Sosial sebagai koordinator utama dengan dukungan dari Kementerian Pendidikan, Kementerian Keuangan, dan pemerintah daerah. Sebesar Rp76,4 triliun dari APBN 2025 telah dialokasikan untuk infrastruktur dan operasional, dengan maksud untuk mendirikan sekolah berasrama yang ditujukan bagi anak-anak prasejahtera. Regulasi ini berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menegaskan bahwa pendidikan merupakan hak setiap individu. Namun, perencanaan yang dilakukan secara terburu-buru dan minimnya kajian dampak sosial telah menimbulkan kritik. Penggunaan aset yang ada seperti di gedung Sentra Handayani Jakarta mengakibatkan pemindahan siswa dari Sekolah Luar Biasa (SLB) yang dianggap melanggar prinsip inklusivitas dan memicu protes dari komunitas pendidikan sebagaimana dilaporkan ole
h Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.

Baca Juga :  DPR DAN DEMO, REALITA RAKYAT YANG TERLUKA

Proses pendirian Sekolah Rakyat mencakup revitalisasi aset yang telah ada dan pembangunan infrastruktur yang baru. Revitalisasi memanfaatkan gedung milik Kementerian Sosial, seperti bekas pusat rehabilitasi yang direnovasi dalam waktu 80 hari untuk dijadikan ruang kelas dan asrama. Pembangunan baru meliputi alokasi lahan dan pembangunan infrastruktur sesuai dengan standar nasional dengan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah.

Perekrutan siswa telah dimulai sejak April 2025 melalui tes psikotes, akademik, dan kesehatan, yang ditujukan untuk anak-anak dari keluarga yang termasuk dalam desil 1. Sebanyak 1.554 guru akan direkrut melalui skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang dikoordinasikan oleh Kementerian Sosial dan Kementerian Pendidikan. Namun, waktu persiapan yang singkat menyulitkan penyediaan fasilitas dan pelatihan guru, terutama di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) yang memiliki akses terbatas sebagaimana dilaporkan oleh Sekretariat Negara.

Sekolah Rakyat menghadapi masalah segregasi sosial: yaitu sistem yang memisahkan siswa ke dalam kelompok karakteristik tertentu dan kualitas pendidikan yang rendah akibat fasilitas yang terbatas. Sebagai contoh di papua, siswa seperti Queen Sabattini merasakan dampak emosional dari pemisahan keluarga mencerminkan kurangnya perhatian terhadap dampak psikologis. Renovasi cepat di Sentra Handayani di Jakarta yang terkesan terburu-buru, menghasilkan fasilitas yang belum optimal menurunkan kepercayaan masyarakat. Program ini mirip dengan SD Inpres (1973) yang mendirikan 60.000 sekolah dasar untuk memperluas akses pendidikan. Meskipun Sekolah Rakyat berfokus pada kelompok miskin, SD Inpres lebih inklusif tetapi juga menghadapi tantangan kualitas. Pendekatan top-down Sekolah Rakyat berisiko mengulangi kegagalan jika tidak dievaluasi dengan baik.

Salah satu keunggulan Sekolah Rakyat terletak pada penyediaan akses pendidikan gratis yang mengatasi hambatan biaya bagi keluarga miskin seperti yang dilaporkan oleh YLBHI. Pemanfaatan aset pemerintah yang tidak terpakai mengurangi beban anggaran dan konsep asrama mendukung disiplin siswa menurut orang tua di Jakarta. Namun, program ini berpotensi mengalami tumpang tindih dengan sekolah negeri yang memerlukan revitalisasi. Minimnya kajian mendalam meningkatkan risiko ketidakmerataan kualitas pendidikan, dan pemindahan siswa dari SLB menimbulkan isu keadilan. Fasilitas yang belum memadai di daerah terpencil juga menghambat efektivitas program.

Baca Juga :  Pustaka di Layar Kaca

Selain itu keterbatasan infrastruktur di wilayah 3T seperti Papua dan Kepulauan Riau merupakan tantangan utama yang ditandai dengan akses transportasi dan internet yang buruk. Kualitas guru yang rendah akibat pelatihan yang minim juga menjadi hambatan terutama di daerah terpencil di mana guru sering kali enggan untuk mengajar sebagaimana diungkapkan oleh Sekretariat Negara (Setneg). Kurangnya koordinasi antar kementerian dan partisipasi masyarakat menyebabkan resistensi seperti yang ditunjukkan dalam studi ResearchGate. Selain itu risiko penyalahgunaan anggaran yang terjadi di sektor pendidikan menurut YLBHI mengancam keberlanjutan program jika pengawasan tidak dilakukan dengan baik terutama mengingat besarnya alokasi anggaran.

Agar program ini tidak gagal pemerintah perlu memperkuat pelatihan guru melalui program seperti Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang menekankan literasi dan numerasi. Kolaborasi dengan universitas untuk merancang kurikulum berbasis lokal dan penerapan pengawasan anggaran yang transparan seperti yang diusulkan oleh YLBHI dapat mencegah korupsi serta meningkatkan efektivitas. Integrasi dengan sekolah negeri melalui revitalisasi seperti yang dilakukan dalam program Sekolah Penggerak dapat mengurangi tumpang tindih. Partisipasi masyarakat melalui musyawarah desa dan pemanfaatan platform digital seperti Merdeka Mengajar akan memperkuat implementasi di daerah terpencil.

Sekolah Rakyat diharapkan dapat menjadi solusi yang efektif untuk pemerataan pendidikan sesuai dengan ketentuan Pasal 31 UUD 1945. Program ini memiliki kemampuan untuk menghasilkan lulusan yang kompetitif dan berkontribusi pada visi Indonesia Emas 2045 asalkan terdapat peningkatan infrastruktur dan kualitas tenaga pengajar. Keberhasilan program ini sangat bergantung pada koordinasi lintas sektor, transparansi, dan partisipasi masyarakat. Dengan pengawasan yang ketat Sekolah Rakyat dapat berfungsi sebagai fondasi pendidikan inklusif bukan sekadar sebagai janji politik dalam mewujudkan cita-cita mencerdaskan bangsa.

Iklan
Iklan