Oleh : Husnayadi Herliza, SH.MH
Pemerhati Pertanahan
Transaksi jual beli tanah harus dilakukan secara ekstra hati-hati agar tidak terjadi konflik di kemudian hari. Kerap terjadi beberapa kasus sengketa yang sumbernya antara lain surat tanah palsu, luas tanah yang dibeli tidak sesuai dengan yang tertera di surat tanah, tanah sitaan dan lain sebagainya. Tidak sedikit masyarakat yang belum mengetahui apa saja yang perlu dilakukan dalam jual-beli tanah. Akibatnya merasa dirugikan terkait transaksi tanah. Hal seperti ini tidak akan terjadi dengan lebih memahami legalitas apa saja yang harus dipersiapkan dalam transaksi jual beli tanah.
Prinsip Pokok Jual Beli Tanah
Jual beli menurut hukum tanah (UUPA) adalah perbuatan hukum yang berupa penyerahan tanah yang bersangkutan oleh penjual kepada pembeli untuk selama-lamanya pada saat mana pihak pembeli menyerahkan harganya kepada penjual. Jual beli tanah dimaksud didasari hukum adat yang bersifat `tunai’, artinya pada saat jual beli itulah haknya dialihkan dari penjual kepada pembeli dan saat itu pula pembeli membayar lunas harganya kepada penjual.
Jual beli tanah di sini dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dengan disaksikan 2 orang saksi. Kalau sudah bersertipikat, siapapun boleh menjadi saksi asal sudah dewasa. Kalau belum bersertipikat, saksinya adalah Kepala Desa dan salah seorang anggota pemerintahan desa setempat.
Berbeda dengan UUPA, prinsip jual beli menurut KUH Perdata adalah perjanjian dalam mana pihak yang satu (penjual) mengikatkan dirinya untuk menyerahkan hak atas tanah kepada pihak pembeli dan pihak pembeli membayar harga tanah yang telah disetujui bersama, kemudian dilakukan lagi penyerahan secara hukum (juridische levering).
Dalam beberapa Yurisprudensi, fungsi pendaftaran peralihan hak tanah ialah untuk memberikan alat pembuktian yang kuat mengenai sahnya jual beli tersebut. Jual beli tanah yang tidak dilakukan di hadapan PPAT tetap sah menurut hukum, sepanjang syarat-syarat materil mengenai jual beli itu dipenuhi. Dilakukannya jual beli tanah di hadapan PPAT bukan syarat sahnya jual beli tetapi hanya untuk mendapatkan bukti yang kuat mengenai jual beli itu sebagaimana Putusan MA RI No.123 K/Sip/1970 tanggal 19 September 1970. Pertimbangan dalam Putusan MA di atas : jual beli tanah bersifat tunai, pendaftaran jual beli menurut PP No.10/1961 (sekarang PP No.24/1997) hanya bersifat administratif, dan jual beli tidak di hadapan PPAT adalah sah sepanjang syarat-syarat materil jual beli telah dipenuhi.
Berdasarkan ketentuan PP No.24 Tahun 1997, PPAT berhak menolak untuk membuat akta jika : a. Tidak diserahkan sertifikat asli atau sertifikat tidak sesuai dengan daftar-daftar di Kantor Pertanahan; b. Bidang tanah yang belum terdaftar, kepadanya tidak disampaikan surat bukti hak Pasal 24 ayat 1 atau Surat Keterangan Kepala Desa yang menyatakan yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut dan surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersertifikat dari Kantor Pertanahan; c. Salah satu pihak yang akan melakukan perbuatan hukum tidak berhak atau tidak memenuhi syarat memenuhi syarat bertindak demikian; d. Salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu surat kuasa mutlak yang pada hakikatnya berisi perbuatan hukum pemindahan hak; e. Belum memperoleh izin dari pejabat yang berwenang bila diperlukan; f. Obyek sedang dalam sengketa; g. Tidak dipenuhi syarat lain atau dilanggar larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Kepala Kantor Pertanahan menolak melakukan pendaftaran jika salah satu syarat berikut tidak dipenuhi : a. Sertifikat atau surat keterangan tentang keadaan hak atas tanah tidak sesuai lagi dengan daftar-daftar yang ada pada Kantor Pertanahan; b. Perbuatan hukum dimaksud tidak dibuktikan dengan akta PPAT atau kutipan risalah lelang; c. Dokumen yang diperlukan untuk pendaftaran peralihan tidak lengkap; d. Tidak dipenuhi syarat lain yang ditentukan peraturan perundang-undangan; e. Tanah yang bersangkutan menjadi obyek sengketa di pengadilan; f. Perbuatan hukum yang dibuktikan dengan akta PPAT batal atau dinyatakan batal oleh putusan pengadilan yang tetap; dan g. Perbuatan hukum dalam Pasal 37 ayat 1 PP No.24/1997 dibatalkan oleh para pihak sebelum didaftar oleh Kantor Pertanahan.
Perlindungan Hukum
Sebenarnya yang dibeli adalah hak atas tanah, bukan semata tanah secara fisik. Hak atas tanah memberi wewenang kepada pemegang haknya sesuai dengan macam haknya, yakni apakah tanah yang akan dibeli tanah dengan status Hak Milik, HGB, HGU atau Hak Pakai. Tanah dengan status HM tidak ada jangka waktu, sedangkan HGB, HGU atau Hak Pakai ada jangka waktunya.
Tidak semua orang boleh membeli tanah tertentu terutama berkaitan dengan adanya larangan-larangan yang harus diperhatikan. Misalnya, seorang yang tinggal di Banjarbaru tidak boleh membeli tanah pertanian yang terletak di Pelaihari dan demikian pula sebaliknya, terkait adanya larangan memiliki tanah pertanian secara absentee. Atau orang asing atau badan hukum asing di Indonesia tidak boleh membeli tanah HM, HGU atau HGB, sebab orang asing hanya boleh membeli tanah dengan status Hak Pakai.
Tanda bukti hak yang paling kuat adalah sertifikat, jadi perlu dilihat juga apakah tanahnya sudah bersertifikat atau belum. Bila sudah bersertipikat, teliti terlebih dahulu keabsahan sertifikat tersebut, apakah sesuai dengan daftar-daftar di Kantor Pertanahan. Tanah yang sedang dijaminkan dapat dijual tetapi dengan syarat adanya persetujuan kreditur, tentu lebih aman membeli tanah yang tidak sedang dijaminkan.
Bila tanah yang akan dibeli dalam sengketa atau dalam sitaan (pengadilan atau PUPLN) seharusnya tidak dibeli karena ada benih sengketa. Sitaan dapat diketahui dari adanya pengumumaan penyitaan di lokasi tanah tersebut atau pengumuman di surat kabar. Di sini PPAT dilarang membuat akta atas tanah yang sedang disita atau dalam sengketa.
Yang berhak menjual tanah adalah pemilik tanah yang bersangkutan, yaitu orang atau badan hukum yang disebut dalam sertipikat selaku pemegang hak. Bila sudah dewasa maka yang menjual adalah pemegang hak yang bersangkutan, namun bila belum dewasa diwakili orang tuanya (ayah atau ibu atau keduanya bersama-sama). Harta bersama hanya boleh dijual oleh suami dan isteri bersama-sama atau atas persetujuan bersama (meskipun sertipikat tertulis hanya atas nama salah satunya saja), dan bila tanah warisan maka yang berhak menjual adalah para ahli waris kecuali telah diadakan pembagian harta warisan.
Yang tidak kalah penting adalah melakukan pendaftaran peralihan hak di Kantor Pertanahan. Nama pembeli selaku pemegang hak yang baru ditulis pada halaman dan kolom yang terdapat pada buku tanah dan sertipikat yang telah ditandatangani Kepala BPN. Secara de jure, pembeli telah aman dalam arti dilindungi secara hukum.
Sebagai kesimpulan, secara fisik tanah yang sudah dibeli harus dipelihara dengan sebaik-baiknya sesuai peruntukkan, jangan dibiarkan terlantar sebab dapat mengundang pihak lain yang beritikad tidak baik untuk menguasai secara tanah secara tanpa hak, sehingga jadi sengketa. Hal tersebut dimaksudkan untuk memberi perlindungan hukum bagi pembeli tanah itu sendiri, baik secara de jure maupun fisik di lapangan.