Oleh : Habibah Auni
Mahasiswa Universitas Gadjah Mada
Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan sudah memberlakukan aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), yang berlaku dari 24 April 2020 hingga 7 Mei 2020. Kota ini menjadi kota pertama diberlakukannya PSBB di Provinsi Kalimantan Selatan. Adanya aturan ini diharapkan mampu memutus mata rantai penyebaran virus Covid-19. Sehingga bisa memulihkan Kota Banjarmasin seperti sediakala.
Namun, ternyata keganasan virus Covid-19 tidak kunjung mereda. Berdasarkan Data Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Banjarmasin pada(05/05), tercatat ada 69 kasus positif Covid-19. Jumlah ini jauh meningkat dibandingkan dengan sebelum diterapkannya PSBB, yang mana kasus pasien positif virus Covid-19 per (23/04) masih menyentuh angka 32.
Mau tidak mau, hal ini mendorong Banjarmasin untuk memperpanjang PSBB. Kini, kota tersebut sudah membuka PSBB untuk tahap II yang dimulai dari 22Mei 2020, dengan harapan wabah Covid-19 akan terhenti pada 31Mei 2020.
Secara tidak langsung, pembukaan gelombang PSBB baru menunjukkan bahwa pelaksanaan PSBB terbukti tidak efektif dalam menekan laju penyebaran virus Covid-19. Coba saja kita tengok kondisi di lapangan sepanjang PSBB berlaku, banyak toko non sembako di kota Banjarmasin yang masih buka. Jika ditanya alasannya, rupanya para pedagang tak ingin ditutup usahanya, lantaran nasib hidupnya ada di situ. Selain itu, masih banyak pula masyarakatyang berkerumun di atas jam malam.
Di samping masyarakat yang belum disiplin, sistem pengawasan di pos-pos penjagaan juga terbilang cukup lemah. Sebagaimana pendapat pengamat kebijakan publik dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Prof Dr H Budi Suryadi, terdapat banyak kelemahan pada praktik penegakan aturan di lapangan yang menyebabkan PSBB belum bisa berjalan secara efektif.
Padahal terminologi “pembatasan sosial” dalam PSBB menegaskan patut adanya jarak di antara setiap manusia. Indikator keberhasilan dari produk hukum ini, sudah pasti minimal tidak ada kontak fisik atau pertemuan antar manusia. Sebaliknya, aturan ini bakal mengalami kegagalan apabila masih banyak masyarakat yang ditemui beraktivitas di luar rumah. Artinya, keberhasilan PSBB sangat ditentukan oleh kepatuhan masyarakat dan keefektifan penegakan aturan oleh aparat.
Tiap masyarakat adalah “siswa” yang sepanjang hayatnya berupaya memerdekakan dirinya. Hasil pembebasan siswa dari doktrinasi yang kerap membelenggunya, diperoleh dari pengenalan hakikat dirinya sebagai manusia. Titik dimana siswa memahami dirinya adalah makhluk yang hidup bersama dengan makhluk lainnya di suatu ekosistem masyarakat. Dengan demikian, siswa akan menjaga perilakunya sebaik mungkin, untuk memastikan terwujudnya kondisi tertib-damai.
Tindakan merugikan orang lain akan dihindari sejauh mungkin. Siswa akan mencoba menaati peraturan bawah sadar yang telah menjadi kesepakatan bersama. Tidak ada yang namanya melanggar keamanan orang lain. Konkritnya, ketidakpatuhan terhadap protokol kesehatan tidak akan terjadi. Sebabsiswamengusahakanterciptanyakemerdekaansejati, yang mungkin dicapai ketika mengikuti nurani baiknya.
Sedangkan aparat adalah “guru”, aktor yang berperan besar dalam membantu, membimbing dan mengarahkan siswa dalam mencapai jati dirinya. Tentu saja dalam perjalanannya, guru harus memastikan agar tidak keluar dari “jalurnya”. Ketika siswa berbuat salah, guru wajib mengoreksi perilaku siswa dengan tegas agar tidak mengulanginya lagi. Harapannya tertanam sikap siswa yang sangat baik.
Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan guru dalam mengingatkan siswa adalah sebagai berikut: Pertama guru bersikap “tut”, yakni memberi teguran kepada tiap anggota siswa pada pelanggaran pertama. Kedua, guru bersikap “wuri handayani”, yakni memberi sanksi tegas apabila siswa tercatat banyak melanggar aturan sehingga mulai membahayakan dirinya dan sekitarnya.
Terakhir untuk memberikan efek jera yang kuat, guru harus memberikan teladan yang baik. Caranya dengan menampilkan nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan kepatuhan terhadap kode etik profesional, saat bertemu dengan siswa di lapangan. Misal ketika mengingatkan siswa lantaran tidak menggunakan masker, maka idealnya guru juga menggunakan masker. Agar siswa tidak menganggap guru mendidiknya setengah-setengah.
Mengingat jumlah siswa sangat banyak, maka jumlah guru juga harus bisa menyamainya. Harapannya, sejumlah sumber daya manusia (SDM) guru mampu mendidik seluruh siswa agar patuh terhadap PSBB. Penjaringan relawan yang memiliki passion dalam pendidikan, nampaknya bisa memudahkan guru dalam mengkondisikan siswa di lapangan.
Setelah jumlah SDM guru mencukupi, guru-guru diterjunkan ke semua titik kumpul siswa berada. Area-area tersebut adalah pasar, perbatasan, terminal dan wilayah rentan kerumunan lainnya.
Sekarang, penerapan PSBB Banjarmasin sedang memasuki jilid III. Sudah saatnya momen ini menjadi pengingat bagi kita bersama, untuk memberi perhatian serius terhadap penanganan Covid-19. Maka dari itu, mari kita perkuat kepatuhan terhadap PSBB agar tercapai tertib-damai!