Persoalannya seolah jadi momok yang tak penah terselesaikan padahal persolannya berada di depan mata
BANJARMASIN, KP – Harga gas elpiji 3 kilogram kembali meroket. Harga di pasaran tembus mencapai Rp40 ribu per tabung. Harga ini tentu tak manusiawi.
Naiknya harga gas bersubsidi hingga berkali-kali lipat dari harga eceran tertinggi (HET), yakni Rp17,5 ribu ini bukan cerita baru. Layaknya gelombang, datang, pergi, kemudian datang lagi.
Persoalannya seolah jadi momok yang tak penah terselesaikan. Berbagai cara sudah ditempuh Pemko Banjarmasin untuk mengatasinya. Terakhir, Pemko telah membuat regulasi dengan cara melakukan distribusi tertutup.
Bagi warga yang betul-betul berhak menerima subsidi, seperti warga miskin dan usaha mikro kecil menengah (UMKM) diberikan “kartu sakit”.
“Kartu sakit” ini berfungsi untuk mendapat pelayanan prima dan kestabilan harga dari pangkalan. Pemegang kartu harus diprioritaskan untuk dapat membeli gas dengan harga sesuai HET.
Kendati sudah dilakukan pendistribusian tertutup, faktanya masih ada saja keluhan dari warga terkait tinggi harga gas di pasaraan.
Menahgapai persoalan ini, Asisten II Bidang Ekonomi dan Pembangunan Setdako Banjarmasin, Doyo Pudjadi, mengklaim bahwa keluhan itu datang dari mulut warga yang memang tak berhak menerima subsidi alias pemegang “kartu sakit”.
“Hingga saat ini belum ada bukti yang mengeluh itu dari warga penerima subsidi. Artinya yang mengeluh diluar yang menerima kartu. Dengan kata lain mereka yang tak berhak menggunakan elpiji bersubsidi,” ujar Doyo, Rabu (26/08/2020).
Sebab menurutnya, distribusi tertutup yang sudah dilakukan Pemko berkerjasama dengan Pertamina dan para pemilik pangkalan sudah dinilai cukup efektif dan tepat sasaran. Sebab penyusunannya disesuaikan dengan basis data terpadu (BDT) yang ada di dinas sosial.
“Kalau yang ngeluh pemegang kartu akan kami tindak segera. Kami sudah mewanti-wanti pangkalan untuk benar-benar melayani. Kalau tidak mohon maaf kami akan koordinasi dengan Pertamina untuk distop. Karena tak mentaati perjanjian,” katanya.
Kendati demikian, Doyo tak menampik memang ada celah permainan bisnis gas bersubsidi ini oleh para mafia. Yang berujung pada melonjaknya harga jual di pengecer.
Calah ini muncul manakala pangkalan masih diperbolehkan menjual gas yang tersisa ke pengecer, tentunya setelah pendistribusian ke pemegang “kartu sakti” terpenuhi.
“Secara bisnis, ketika lebihan Pemko tak ada kewenangan untuk menahan pangkalan menjual lebihan ke pengecer,” bebernya.
Doyo pun mengakui, Pemko tak bisa bertindak terlalu jauh untuk melarang pangkalan menjual sisa gas ke luar. Sebab jika itu dilakukan, dia meyakinkan bakal muncul masalah baru.
“Ini memang jadi persoalan. Ketika Pemko terlalu satlak, yang teriak tak lagi warga. Tapi pengkalan,” jelas Doyo.
Kelonggaran untuk pangkalan menjual gas sisa ke pengecer ini memang tak bisa diperketat. Terlebih kondisi pandemi CoVID-19 kian memperburuk prekonimian warga.
“Ini dimaklumi lah. Apalagi saat ini musim Covid, Banyak pengangguran, ini kan peluang pekerjaan. Kami maklumi saja lah,” ujar Doyo.
Dari analisa Doyo, celah penjualan ke pengecer ini lah sinilah asal muasal masalah melonjaknya harga gas di pasaran yang saat ini dikeluhkan warga.
“Resikonya ketika ke tangan pengecer, dijual lagi ke warung-warung, sehingga harganya berlipat hingga tembus Rp40 ribu,” bebernya.
Melihat kondisi ini, Pemko pun tak bisa berbuat banyak. Doyo hanya bisa meminta kesadaran dari warga yang mampu untuk tak memakai gas bersubsidi. Dan mengimbau warga mampu untuk menggunakan gas 5 kilogram atau lebih.
“Namun imbauan itu kan sampai ke tingkat operasional siapa yang bisa menjamin. Kecuali imbauan itu langsung ada sanksi dari Tuhan. Mulutnya langung bengkak (kalau pakai yang subsidi). Kan imbauan tak begitu,” tukasnya. (sah/K-3)