Apalagi hutan yang tersisa di Kalsel, hanyalah di Pegunungan Maratus, dan itu sudah dikelola masyarakat adat selama ratusan tahun dan tetap terjaga dibandingkan hutan yang dikelola pemerintah, mengingat masyarakat adat menerapkan kearifan lokal.
BANJARMASIN, KP – Masyarakat adat menolak Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pengelolaan Hutan Berkelanjutan, karena dinilai tidak memberikan perlindungan kepada masyarakat adat.
Hal tersebut diungkapkan Wahana Lingkungan Hidup (Wahli) Kalsel, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara maupun Aliansi Dayak Kalimantan Bersatu Nasional pada uji publik Raperda Pengelolaan Hutan Berkelanjutan yang dilaksanakan DPRD Kalsel, Senin (30/11/2020), di Banjarmasin.
“Raperda ini tidak memberikan perlindungan terhadap masyarakat adat,” kata Direktur Walhi Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono.
Apalagi hutan yang tersisa di Kalsel, hanyalah di Pegunungan Maratus, dan itu sudah dikelola masyarakat adat selama ratusan tahun dan tetap terjaga dibandingkan hutan yang dikelola pemerintah, mengingat masyarakat adat menerapkan kearifan lokal.
“Jadi kita tolak Raperda apapun yang tidak memberikan perlindungan ataupun pengakuan terhadap hak adat,” tegasnya.
Hal senada diungkapkan Direktur Bidang Organisasi Kaderisasi dan Keanggotaan (OKK) Aliansi Masyarakat Adat, Hasan Efendy, dimana pembahasan Raperda ini tidak transparan dan melibatkan masyarakat adat.
“Padahal pengelolaan hutan ini berkaitan erat dengan masyarakat adat, namun tidak dilibatkan,” tegasnya.
Ketua Aliansi Dayak Kalimantan Bersatu Nasional, Dehen MK menilai Raperda ini sangat lemah dan tidak menyentuh pemberdayaan masyarakat dan hak adat. “Jadi tidak ada koneksinya dengan Raperda Pengelolaan Hutan Berkelanjutan, bahkan tidak berpihak kepada masyarakat,” tegasnya.
Apalagi yang berkaitan dengan pengelolaan hutan sangat identik dengan masyarakat adat, yang sudah hidup berdampingan dan mengelola hutan sejak ratusan tahun lalu.
Sementara itu, Wakil Ketua Pansus Raperda Pengelolaan Hutan Berkelanjutan, Zulfa Asma Vikra mengatakan tujuan pembuatan Perda tersebut dalam rangka melestarikan hutan serta flora dan fauna.
“Perda ini juga untuk pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan, beserta budaya,” katanya.
Ia menjelaskan Perda yang sedang dalam proses tahap penyempurnaan bertujuan meningkatkan perekonomian masyarakat yang berada di sekitar hutan. “Dalam pembahasan kita juga memuat sinergitas dan kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat, untuk kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.
Zulfa menambahkan, Raperda ini berperan aktif dalam mengelola hutan kritis di Kalsel yang mencapai 511.000 hektar. “Lambat laun hutan kritis ini akan tertanam, dan beberapa tahun akan ada pemulihan,” katanya. (lyn/K-1)