Banjarmasin, KP – Puluhan aktivis dan wartawan di Kalimantan Selatan (Kalsel) terlihat menggelar aksi untuk menyuarakan keadilan dan menolak kekerasan yang dialami salah satu wartawan saat meliput kasus korupsi di Surabaya.
Aksi yang dilakukan di Bundaran Hotel A, Kota Banjarmasin itu merupakan bentuk dukungan atas kasus penganiayaan terhadap Jurnalis Tempo, Nurhadi, dengan turun ke jalan, Jumat (2/4) sore.
Aksi solidaritas tersebut dilakukan oleh puluhan peserta yang menamakan dirinya sebagai Koalisi Kemerdekaan Pers dengan melakukan orasi, membaca puisi dan pentas teatrikal, dengan penjagaan ketat oleh para petugas TNI – Polri.
Juru bicara Koalisi Kemerdekaan Pers, Fariz Fadillah mengatakan, aksi yang digelar tersebut bertujuan untuk memberi peringatan kepada aparat penegak hukum, maupun oknum-oknum yang ingin menghalangi kerja para jurnalis.
“Karena pekerjaan jurnalis sendiri, sudah dilindungi oleh Undang-Undang Pers nomor 40 Tahun 1999,” ungkapnya disela aksi tersebut, Jumat (2/4) sore.
Ia menjelaskan, dalam aksi ini, para peserta aksi menuntut, agar pemerintah dan Polda Jawa Timur agar segera bisa mengusut tuntas kasus kekerasan terhadap jurnalis Tempo Nurhadi.
“Selain itu, kami juga mengajak semua pihak untuk melawan segala bentuk kekerasan terhadap jurnalis. Karena jurnalis sejatinya bekerja untuk publik,” tukasnya.
Ia mengingatkan kepada pemerintah, aparat penegak hukum, dan warga bahwa kasus kekerasan jurnalis masih berpotensi terjadi. Bukan tak mungkin, problem serupa bisa muncul di Kalimantan Selatan.
“Ini adalah upaya kita menggalang solidaritas dan menuntut Polda Jawa Timur agar kasus ini bisa diusut tuntas. Serta mengajak semua pihak untuk melawan segala bentuk kekerasan terhadap jurnalis. Karena jurnalis sejatinya bekerja untuk publik,” paparnya yang juga Koordinator Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Balikpapan.
Kalau pun ada masalah di kerja-kerja jurnalistik, Fariz mengingatkan ada mekanisme penyelesaian tersendiri yang dijabani oleh Dewan Pers. Hal itu sudah tertuang dalam Undang-Undang Pers Nomor 40 tahun 1999.
Karenanya, Pria dengan sapaan Fariz itu beserta teman seprofesi lainnya berharap, agar semua pihak bisa menghormati segala upaya para jurnalis dalam melakukan pekerjaannya, untuk memberikan informasi yang berkaitan dengan publik.
“Ya apa lagi terkait kasus korupsi, mereka ingin menutupi, kami para jurnalis ingin membuka,” tutur Fariz
“Jadi kami meminta tolong kepada seluruh lapisan masyarakat, agar bisa memahami dan membantu kami sebagai jurnalis, untuk bisa bersama-sama menjalankan kerja-kerja jurnalis,” pungkas Fariz.
Di tempat terpisah, Sekjen AJI Indonesia, Ika Ningtyas, juga menegaskan bahwa pihaknya meminta pemerintah serius menyelesaikan kasus-kasus kekerasan pada jurnalis, termasuk mengusut semua pelaku kekerasan terhadap jurnalis Tempo, Nurhadi.
Kata Ika, pembiaran pada kasus kekerasan yang menimpa jurnalis menjadi ancaman serius bagi kebebasan pers dan demokrasi. “Pemerintah harus menunjukkan komitmen melindungi kebebasan pers dengan tidak membiarkan adanya impunitas terhadap para pelaku kekerasan yang telah merusak demokrasi kita,” tegasnya.
Berdasarkan catatan Bidang Advokasi AJI Indonesia, sepanjang 2020, kasus kekerasan terbanyak terjadi di Ibu Kota Jakarta (17 kasus), disusul Malang (15 kasus), Surabaya (7 kasus), Samarinda (5 kasus), Palu, Gorontalo, Lampung masing-masing 4 kasus.
Dari jenis kasus kekerasan yang dihadapi jurnalis, sebagian besar berupa intimidasi (25 kasus), kekerasan fisik (17 kasus), perusakan, perampasan alat atau data hasil liputan (15 kasus), dan ancaman atau teror 8 kasus. Sedangkan dari sisi pelaku, polisi menempati urutan pertama dengan 58 kasus, disusul tidak dikenal 9 kasus, dan warga 7 kasus.
Adapun Direktur LBH Pers Ade Wahyudin menyampaikan, kekerasan yang menimpa Nurhadi merupakan pelanggaran Undang-Undang Pers, karena selain penganiayaan, ada juga penghalangan aktivitas jurnalistik ketika para pelaku mematahkan simcard dan mereset telepon seluler Nurhadi.
“Kami mendorong penegak hukum untuk mengusut kasus ini dan mencari pelakunya siapa. Hingga sekarang sudah dihadirkan dua terduga pelaku, tapi harapannya tidak berhenti di situ karena yang melakukan kekerasan banyak,” ujarnya.
Unjuk rasa Koalisi Kemerdekaan Pers diikuti oleh sejumlah lembaga. Diikuti oleh puluhan peserta aksi, mereka datang datang dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Balikpapan Biro Banjarmasin, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lentera Uniska, LPM INTR-O FISIP ULM, LPM SUKMA UIN Antasari, LPM Lensa Poliban, LPM Kinday ULM, serta sejumlah perwakilan organisasi profesi lainnya.
Sebelumnya, Pemred Majalah Tempo, Wahyu Dhyatmika, selaku pemimpin Nurhadi membeberkan awal mula insiden kekerasan ini. Kejadian tersebut bermula pada Sabtu 27 Maret 2021.
Wahyu mengatakan saat itu, Nurhadi tengah meminta konfirmasi kepada mantan Direktur Pemeriksaan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Angin Prayitno Aji. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebelumnya sudah menyatakan Angin sebagai tersangka dalam kasus suap pajak.
“Penganiayaan terjadi ketika sejumlah pengawal Angin Prayitno Aji menuduh Nurhadi masuk tanpa izin ke acara resepsi pernikahan anak Angin di Gedung Graha Samudra Bumimoro (GSB) di kompleks Komando Pembinaan Doktrin Pendidikan dan Latihan TNI Angkatan laut (Kodiklatal) Surabaya,” ujar Wahyu dalam keterangannya, Ahad, 28 Maret 2021, dikutip dari Tempo.
Ia mengatakan kejadian itu terjadi pada Sabtu malam. Meski Nurhadi sudah menjelaskan statusnya sebagai wartawan Tempo yang sedang menjalankan tugas jurnalistik, Wahyu mengatakan pengawal Angin tetap merampas telepon genggam Nurhadi dan memaksa untuk memeriksa isinya.
“Nurhadi juga ditampar, dipiting, dipukul di beberapa bagian tubuhnya. Untuk memastikan Nurhadi tidak melaporkan hasil reportasenya, dia juga ditahan selama dua jam di sebuah hotel di Surabaya,” bebernya.
Wahyu mengutuk aksi kekerasan ini. Ia menyebut hal tersebut sebagai serangan terhadap kebebasan pers dan melanggar KUHP serta Undang Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999.
“Tempo mengutuk aksi kekerasan tersebut dan menuntut semua pelakunya diadili serta dijatuhi hukuman sesuai hukum yang berlaku,” tegas Wahyu.(Vin/KPO-1)