Oleh : Phephy Berliana Irmamira Siagian
Fakultas Bioteknologi Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta
Belum tuntasnya pandemi Covid-19, Kalimantan Selatan telah digegerkan oleh bencana banjir besar yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Khalayak umum mengenal Kalimantan sebagai pulau yang aman untuk dihuni karena minimnya bencana yang pernah terjadi. Namun alam pun berkata lain akan hal itu, awal tahun 2021 Kalsel dikejutkan dengan banjir besar yang menghancurkan ribuan rumah dan bahkan akses jalan pun diporak-porandakannya. Hal ini tentunya menyebabkan banyaknya timbunan kayu, pohon, dan barang-barang lainnya yang tersebar mengikuti aliran banjir. Selain itu, sudah dapat dipastikan bahwa terdapat genangan air pada banyak tempat. Walaupun kejadian banjir ini sudah terjadi dalam beberapa bulan yang lalu namun beberapa daerah di Kalsel masih digelisahkan oleh pasang-surut air sungai yang berpotensi membawa sampah berupa botol, kaleng, dan sebagainya ke rumah-rumah warga dan bahkan menjadi tertimbun.
Beberapa hal tersebut dapat menimbulkan kawasan yang disukai oleh nyamuk dan menjadi spot utama perkembangbiakan nyamuk, khususnya nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk ini sangat menyukai tempat yang lembab, tidak terkena oleh sinar matahari, adanya genangan air, lubang berair pada batang pohon, dan barang-barang bekas yang terisi air. Dengan begitu, banyak kawasan di Kalsel yang justru dapat menyokong kemakmuran hidup nyamuk Aedes aegypti sehingga memicu terjadinya kasus demam berdarah (DBD). Penyakit demam berdarah sendiri dikenal sebagai penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus serta dapat menular dengan cepat melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti yang merupakan vektor dari virus dengue.
Insidensi DBD Masih Tinggi
Virus dengue mengalami masa inkubasi pada tubuh manusia (inkubasi intrinsik) sekitar 3-14 hari sebelum munculnya gejala klinis dan biasanya gejala tersebut muncul dihari ke 4-7. Untuk masa inkubasi didalam tubuh nyamuk (inkubasi ekstrinsik) berkisar antara 8-10 hari. Dalam penyebaran penyakit Demam Berdarah (DBD) terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi pola penyebarannya, salah satunya adalah faktor kondisi lingkungan. Faktor ini terbagi menjadi tiga macam, yaitu kondisi lingkungan fisik, kondisi lingkungan biologis, dan kondisi lingkungan sosial. Faktor kondisi lingkungan fisik yang dimaksud, meliputi kepadatan hunian, kelembaban udara, suhu, keberadaan penampungan air (tandon, kontainer, vas bunga, bak mandi, tempayan, tempat minum burung, dll), keberadaan barang bekas, dan karakteristik rumah penduduk. Adapun faktor kondisi lingkungan biologis yang meliputi keberadaan tanaman di sekitar pemukiman yang cenderung lembab dan terdapat lubang-lubang pada tanaman sehingga memicu perkembangbiakan nyamuk,
Keberadaan breeding place nyamuk Aedes aegypti baik di dalam rumah maupun diluar rumah, iklim dan cuaca. Sementara itu, juga terdapat faktor kondisi lingkungan sosial yang meliputi mobilitas penduduk, kepadatan penduduk, tingkat pendidikan, kebiasaan penduduk, dan tingkat perekonomian. Berdasarkan Dataset Satu Data Banua, 2 tahun yang lalu yaitu di tahun 2019 Kalsel sempat mengalami kejadian luar biasa (KLB) akibat penyebaran penyakit demam berdarah yang menewaskan 5 orang pengidapnya. Sementara itu, dari awal Januari hingga Maret di tahun 2021 ini justru belum tercatat adanya kasus demam berdarah. Hal ini karena rutinnya pemantauan jentik oleh pihak kesehatan. Namun dilansir dari Tribun Banjarbaru tanggal 7 Januari 2021, Kepala Dinas Kesehatan Kota Banjarbaru di sela-sela pandemi Covid-19 tetap menghimbau masyarakat untuk tetap waspada terhadap keberadaan nyamuk Aedes aegypti karena cuaca yang sedang tidak menentu. Walaupun belum ada laporan kasus yang tercatat tetapi harus tetap waspada dengan memperhatikan kebersihan lingkungan karena cuaca dan kondisi lingkungan pada beberapa daerah di Kalimantan Selatan termasuk rentan demam berdarah.
Kolaborasi Menuju Kalsel Bebas DBD
Menjadi kota yang terbebas dari DBD perlu adanya regulasi yang baik antar pihak baik itu masyarakat, tenaga kesehatan, maupun pemerintah. Karena dengan kerjasama yang baik dan penerapan kedisiplinan akan kebersihan serta pemantauan maka Kalsel bebas DBD akan lebih mudah untuk terealisasikan. Salah satu upaya kerjasama yang dapat dilakukan untuk membasmi nyamuk oleh masyarakat yaitu dengan menggunakan larvasida. Larvasida merupakan obat yang digunakan guna pengendalian vektor, namun pada umumnya larvasida mengandung bahan kimia yang berbahaya bagi lingkungan, selain berbahaya penggunaan larvasida juga akan menimbulkan resistensi pada hewan vektor. Salah satu obat yang aman untuk membasmi vektor yaitu dengan penggunaan biolarvasida. Biolarvasida diketahui lebih ramah lingkungan karena pengendalian hewan vektor yang dilakukan menggunakan bahan dasar dari tanaman. Penggunaan biolarvasida ini dapat digunakan bebas oleh masyarakat dengan dosis tertentu.
Selain dengan menggunakan biolarvasida, masyarakat Kalimantan juga dapat membuat suatu program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) yang tentunya perlu dipandu oleh pihak kesehatan seperti Jumantik. Sementara itu, juga diperlukan partisipasi dari pihak puskesmas daerah untuk dapat menghimbau, mensosialisasikan, dan mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya menjaga kebersihan lingkungan demi terwujudnya kawasan bebas Demam Berdarah (DBD). Beberapa strategi pengendalian tersebut dapat diterapkan sebagai tindakan preventif (pencegahan), namun jika ditemukan pada suatu daerah yang demam berdarahnya telah mewabah maka sangat disarankan untuk melakukan program pengendalian dengan menggunakan pendekatan bioteknologi berupa symbiotic control yang dapat diterapkan oleh pihak kesehatan. Banyak cara yang bisa dilakukan, kalau bisa dari diri sendiri, kenapa harus dari orang lain dulu. Mari galakkan dan ajak orang sekitar untuk dapat mewujudkan kawasan bebas dengue “umpati nang baik, buang nang buruknya”!