Oleh : Mariana, S.Pd
Guru MI Al Mujahidin II Banjarmasin
Menghela nafas yang panjang dan ngos ngosan mendengar fakta yang ada terkait utang yang makin berat dan membuat masyarakat dipersulit akibat negara yang terhutang, padahal negara yang terhutang akan tetapi semua masyarakat ikut menanggung.
Konsekuensi dari pelebaran defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada 2020 membuat melonjaknya nilai pembiayaan utang. Merujuk pada Peraturan Presiden nomor 72 tahun 2020, pembiayaan utang untuk 2020 mencapai Rp1.039,22 triliun, melonjak 158,4 persen dibanding tahun sebelumnya.
Kebijakan pemerintah dinilai tidak stabil sehingga menyebabkan efek krisis ekonomi yang berkepanjangan. Penanganan pandemi yang setengah-setengah membuat dana APBN yang dihimpun dari hutang pun menjadi mubazir.
Belum lagi penyerapan anggaran untuk penanganan Covid-19 di daerah yang sangat minim. Ditambah dengan kebocoran fatal karena korupsi. Ini membuat roda ekonomi tidak berputar seperti yang diharapkan, sementara hutang sangat bengkak.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, utang pemerintah tahun 2020 mencapai Rp6.074,56 triliun, belum termasuk utang BUMN. Nilai tersebut melonjak dibandingkan akhir 2019 yaitu Rp4.778 triliun. BPK mencatat, indikator kerentanan utang negara pada 2020 telah melampaui batas yang direkomendasikan IMF atau International Debt Relief (IDR).
Utang yang menjadi tanggungan pemerintah sebenarnya bukan hanya utang APBN sebesar Rp6.527 triliun (per April 2021). Namun, pemerintah juga menanggung utang BUMN sebesar Rp2.143 triliun. Jadi, total utang pemerintah pada masa Jokowi sekarang sebesar Rp8.670 triliun.
Belum lagi, BUMN diminta dan dibebani tugas untuk pembangunan infrastruktur. Sehingga, kalau gagal bayar atau bangkrut, bebannya harus ditanggung APBN dan menjadi bagian dari utang pemerintah.
Sehingga, warisan utang Presiden Jokowi kepada presiden berikutnya bisa lebih Rp10 ribu triliun. Apabila dibiarkan, khawatir APBN akan lumpuh terkena beban utang ini dengan pembayaran bunga dan utang pokok yang sangat besar, serta bisa memicu krisis ekonomi.
Indonesia pernah mengalami krisis ekonomi pada 1998, yang mengantarkan Indonesia masuk ke dalam jerat IMF. Sritua Arief dalam bukunya IMF, Bank Dunia dan Indonesia menyebutkan ada empat agenda yang akan dilaksanakan oleh IMF untuk memulihkan perekonomian Indonesia yaitu: liberalisasi impor dan aliran modal bebas; devaluasi; privatisasi BUMN; dan Investasi asing yang lebih lancar. Imbasnya bisa kita rasakan sekarang, Indonesia tidak mampu menjadi negara yang mandiri.
Utang hampir senilai total PDB Indonesia itu digunakan untuk memulihkan ekonomi dari guncangan krisis finansial pada akhir periode Orde Baru. Akibatnya, generasi sekarang masih harus membayar utang 22 tahun yang lalu. Hingga saat ini, Indonesia masih belum mampu keluar dari lilitan utang luar negeri, meski pemerintahan sudah berganti tujuh kali. Dulu, di bawah kepemimpinan Bung Karno, Indonesia mewarisi utang sebesar USD2,3 miliar atau sekitar Rp32 triliun, di luar utang warisan Belanda.
Sedangkan utang pada masa pemerintahan Soeharto berada di kisaran Rp551,4 triliun, dengan PDB berkisar Rp955,6 triliun. Masa pemerintahan BJ Habibie, utang menjadi sekitar Rp938,8 triliun, sementara PDB Rp1.099 triliun. Pada era pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid, utang pemerintah sebesar Rp1.271 triliun dan PDB Rp1.491 triliun.
Lalu pada era Megawati, terdapat utang sebesar Rp1.298 triliun, sementara PDB Rp2.303 triliun, sehingga rasio utang saat itu 56,5 persen terhadap PDB. Pada era Susilo Bambang Yudhoyono utang Indonesia justru makin membengkak menjadi Rp2.608 triliun. Rezim telah silih berganti, tetapi utang terus meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa pergantian rezim bukanlah solusi untuk bebas dari utang.
Memang bukan menjadi rahasia umum, bahwa utang menjadi sumber keuangan negara, hal ini merupakan konsekuensi dari penerapan ekonomi kapitalisme. Banyak alasan untuk mengatakan wajar bagi pemangku kekuasaan mengambil utang, seperti yang disampaikan oleh bendahara negara.
APBN menanggung beban yang luar biasa selama pandemi. Sementara belanja negara melonjak untuk penanganan kesehatan, bantuan sosial kepada masyarakat dan batuan kepada dunia usaha. Ditambah pula penerimaan negara merosot karena aktivitas ekonomi lesu. Klop semua masalah keuangan negara, maka utang menjadi solusi untuk menyelamatkan rakyat.
Akhirnya publik menyimpulkan bahwa pandemi menjadi justifikasi utang terus bertambah lagi. Padahal jumlah utang telah mencapai Rp6.418,15 triliun atau setara 40,49 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) per akhir Mei 2021.
Bukankah negeri ini telah lama perekonomiannya dikendalikan teknokrat IMF, dan pandemi semakin mereduksi kekuatan ekonomi negeri yang semakin terjerat dalam skenario utang jangka panjang. Tentu hal ini sangat mengkhawatirkan. Publik tentu bertanya-tanya, mengapa utang menggunung tapi pemerintah tak pernah menjelaskan pada masyarakat setiap aliran distribusi dari utang yang diproduksi. Kemenkeu semestinya terbuka kepada masyarakat soal aliran utang yang ditambah setiap tahunnya. Baik dari pinjaman atau penerbitan obligasi pemerintah dalam dan luar negeri.
Tidak transparan dan dipertanyakan akuntabilitas dan tata kelolanya oleh masyarakat luas. Kemudian jika alasan Menkeu menambah utang untuk selamatkan rakyat, mengapa terlihat tidak sejalan dengan kebijakan keuangan yang obral insentif kepada BUMN hingga investasi. Baru-baru ini DPR menyetujui suntikan dana sebesar Rp72 triliun ke 12 BUMN.
Artinya ada kucuran dana segar dan jumlahnya besar yang akan diberikan pemerintah pada 12 BUMN. Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Aria menyampaikan pihaknya telah menyetujui ususlan PMN tahun anggaran 2022 yang diajukan oleh pemerintah sebesar Rp72.449 triliun.
Kesalahan dalam mengambil kebijakan menambah utang dan prioritas alokasi anggaran negara disebabkan menjalankan ekonomi kapitalisme. Padahal banyak cara yang bisa ditempuh guna menyelamatkan ekonomi negara tanpa utang.
Proyek ibukota baru hingga perjalanan dinas sepanjang pandemi sebaiknya ditunda atau dibatalkan. Lakukan reformasi birokrasi dengan memangkas belanja pegawai, dan belanja barang juga harus diminimalisasi. Bukan malah sibuk minta rumah sakit khusus untuk merawat pejabat yang terpapar Covid-19.
Sementara itu, sisa lebih pembiayaan anggaran tahun (SILPA) sebanyak Rp136 triliun bisa digunakan untuk menutupi kebutuhan kesehatan dan perlindungan sosial. Lalu, Trubus berpendapat senada, ia menyarankan akan dilakukan perampingan lembaga negara. Agar anggaran negara efisien, seperti BPIP dan Stafsus yang berdiri karena perpres perlu dipangkas.
Sebab karena jeratan utang Timor-timur lepas dari Indonesia, bahkan ada wacana pulau-pulau lain di Indonesia telah disasar negara pemberi utang untuk dimiliki. Apakah harus mengulang kesalahan yang sama. Kebijakan mengambil utang dalam bentuk jangka panjang merupakan salah satu kebijakan dalam sistem ekonomi kapitalisme.
Seharusnya pemerintah tidak menambah utang lagi, karena pinjaman utang guna pembangunan infrastruktur dengan Tiongkok saja meninggalkan berbagai dikte politik dan ekonomi yang saat ini harus dipenuhi negeri. Kondisi Indonesia akan semakin parah karena jeratan utang dari segala arah. Pandemi belum juga bisa dikendalikan kini harus dihadapkan dengan masalah baru lewat pinjaman utang yang tak kalah membahayakan dari virus Covid-19.
Padahal kita sama-sama mengetahui bahwa tidak ada yang gratis dalam paradigma kapitalisme. Utang yang mengandung riba memiliki potensi bahaya politis atas negeri. Hal itu akan menjadi alat campur tangan dan kontrol asing terhadap kebijakan negeri.
Utang seperti ini jelas hukumnya haram, karena diperoleh dengan syarat yang melanggar hukum syara’. Kedaulatan negara pun terancam. Dengan utang, asing pun mudah mencaplok SDA dan negara. Padahal Allah SWT telah berfirman, “…dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. An-anisa: 141).
Bahaya ideologis dan politis di balik utang yang terus ditumbuhsuburkan kapitalisme harus dihindari. Menyelamatkan rakyat bukan dengan utang melainkan dengan menerapkan Syariah dalam institusi penerapan Islam . Negeri menjadi berkah, berlimpah kebaikan. Masya Allah.
Generasi milenial dan Gen-Z tentu harus merenung. Selama 76 tahun Indonesia berdiri, mengapa utang menjadi salah satu sumber andalan utama dalam pembangunan ekonomi negara atau APBN. Padahal, Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah, memiliki tambang emas terbaik di dunia, cadangan minyak, gas, perak, tembaga serta batu bara melimpah, sumber daya hayati di lautan melimpah, kesuburan tanah, flora dan fauna.
Ironi di negeri yang memiliki kekayaan alam melimpah ruah tetapi gagal mengelola hasil bumi, sehingga masyarakat jauh dari kesejahteraan yang diharapkan. Jawabannya adalah karena negara ini menerapkan sistem ekonomi kapitalisme.
Dalam perspektif sistem kapitalisme, utang dan pajak menjadi sumber andalan utama pembangunan ekonomi. Akibatnya atas nama pajak, rakyat akan selalu dipalak. Lantas, apa bedanya hidup di zaman kolonial yang juga harus bayar upeti.
Begitu pun dengan narasi menyelamatkan APBN, maka negara akan selalu berutang. Bahkan, ekonom Faisal Basri mengatakan tidak ada satu negara pun yang tidak berutang, termasuk negara kaya sekalipun.
Apabila kondisi ekonomi suatu negara mengalami surplus pendapatan, utang akan tetap ada. Caranya dengan menerbitkan surat utang baru dengan bunga lebih murah untuk membayar utang baru yang bunganya lebih tinggi. Seperti itulah sistem kapitalisme bekerja. Jadi, dalam sistem ini, jangan pernah bercita-cita untuk tidak berutang, bahkan utangnya pun riba.
Selain itu, utang negara mustahil lunas 100 persen karena investasi dan defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) negara makin besar daripada penerimaan negara. Sepanjang investasi lebih besar dari tabungan dan belanja pemerintah lebih besar dari penerimaan pemerintah, maka CAD juga naik. Jadi, tidak mungkin utang negara akan turun dari tahun ke tahun. Inilah yang terjadi di Indonesia, bunga utang luar negeri makin lama makin tinggi.
Dengan kerja sistem seperti inilah generasi Indonesia akan selalu berhadapan dengan lingkaran setan utang. Apalagi Kenen (1990) dan Sachcs (1990) mengingatkan bahwa utang luar negeri telah menimbulkan perlambatan pertumbuhan ekonomi bagi negara yang punya utang besar.