Oleh: Umi Diwanti
Pemerhati Masalah Sosial
Tak hanya wabah Corona yang mengkhawatirkan di negeri ini tapi juga wabah korupsi. Baru-baru ini LSI (Lembaga Survei Indonesia) merilis hasil survei di Indonesia terkait pengelolaan dan potensi korupsi di sektor sumber daya alam. Hasilnya sangat mencengangkan, korupsi menjadi masalah yang paling memprihatinkan. Didapati 44 persen yang menilai sangat prihatin, 49 persen prihatin dan hanya 4 persen yang menilai tidak prihatin. (gatra.com, 8/8/2021)
Hal ini memang sangat jelas difaktai. Bagaimana hari ini dana bansos pun tak luput dari sasaran korupsi. Efek korupsi ini tak bisa dianggap sepele. KPK sendiri menyatakan bahwa korupsi mengakibatkan melambatnya pertumbuhan ekonomi, menurunnya investasi, meningkatnya kemiskinan, serta meningkatnya ketimpangan pendapatan. Bahkan korupsi juga dapat menurunkan tingkat kebahagiaan masyarakat di suatu negara. (aclc.kpk.go.id)
Karenanya sudah seharusnya masalah korupsi ini ditangani dengan serius. Salah satunya yang bisa dilakukan tentunya dengan memberikan sanksi berat yang mampu memberi efek jera. Sayangnya yang terjadi di negeri ini justru sebaliknya. Seringkali korupsi menjadi sesuatu yang dimaklumi bahkan diapresiasi. Diberikan remisi hingga diberikan peluang untuk menjabat kembali di posisi strategis.
Seperti yang baru-baru ini terjadi, pada 18 Febuari 2021 lalu, Emir Mouis ditunjuk sebagai komisaris di PT Pupuk Iskandar Muda (PIM). Padahal ia pernah terlibat kasus suap proyek pembangunan pembangkit listrik uap (PLTU) di Tarahan, Lampung pada 2004 saat menjadi anggota DPR. Tahun 2014 ia divonis 3 tahun penjara dan denda Rp 150 juta karena terbukti menerima suap senilai 357.000 dollar AS pada 2014. (kompas.com, 6/8/2021)
Jika negeri ini mengaku ingin memerangi korupsi maka fakta yang terjadi sungguh jauh panggang dari api. Sanksi yang diberikan sangan ringan. Denda yang hanya secuil dari apa yang dikorupsi dan hukuman penjara yang sebentar sekali. Bahkan selepas menjalani hukuman para koruptor masih diberi karpet merah menuju jabatan baru. Wajar jika akhirnya bukannya jera justru semakin menginspirasi untuk kembali melakukan korupsi. Hasilnya korupsi semakin menjadi.
Jika ditelusuri mengapa hal ini bisa terjadi setidaknya ada 3 penyebab. Pertama adalah adanya faktor pemicu korupsi itu sendiri. Hari ini, dalam penerapan sistem sekuler kapitalis untuk mendapatkan pendidikan dan sebuah jabatan orang harus membayar mahal. Karenanya setelah mendapatkan jabatan yang terpikirkan adalah bagaimana mengembangkan modal. Tanpa kekuatan iman dan di tengah banyaknya tuntutan keadaan maka korupsi menjadi andalan.
Kedua, tidak adanya jaminan pemenuhan kebutuhan. Pada saat negara berlepas tangan terhadap kebutuhan rakyat maka setiap orang berjuang se diri untuk dirinya dan masa depannya. Hal ini kerap membuat orang kalap mata ingin menumpuk harta tak peduli menempuh jalur dosa.
Berbeda dengan pemerintah Islam yang negara benar-benar hadir sebagai penanggung jawab terpenuhinya segala kebutuhan. Tidak ada warga negara yang perlu mengkhawatirkan masa depannya bahkan keluarganya. Karenanya obsesi menumpuk harta dengan berbagai cara itu sama sekali tidak ada. Buat apa numpuk harta dengan melakukan dosa sementara masa tua atau anak keturunan kita sudah mendapat jaminan dari negara.
Ketiga, sistem sanksi yang lemah. Sebagaimana yang terjadi saat ini. Baik hukuman maupun sanksi yang diberikan pada para koruptor sangatlah tidak setimpal. Bahkan seringkali masih berkesempatan mendapat remisi hingga promosi menduduki jabatan yang lebih lagi. Padahal sudah semestinya tujuan sanksi adalah sebagai terapi membuat jera masyarakat akan kejahatan yang dilakukan.
Sebagaimana dalam Islam sanksi berfungsi sebagai penebus dosa pelaku sekaligus membuat jera. Semua pelaku kejahatan diberikan sanksi berat dan tegas. Untuk para koruptor selain sanksi, mereka juga dipaksa mengembalikan semua harta korupsinya. Karenanya sepanjang sejarah penerapan sistem Islam, sangat minim dijumpai kejahatan yang terus-menerus bahkan cenderung meningkat seperti yang terjadi saat ini.
Namun demikian Islam bukanlah agama kejam seperti yang biasa dituduhkan. Sebab sistem sanksi dalam Islam hanyalah bagian akhir dari setiap masalah. Sistem Islam juara dalam amal preventif. Misalnya saja kasus korupsi ini, Islam terlebih dahulu menyelenggarakan pendidikan secara gratis dengan landasan utama membentuk peserta didik menjadi manusia taqwa.
Pekerjaan pun bisa didapatkan secara cuma-cuma karena sudah menjadi tanggung jawab negara. Negara juga menjamin semua kebutuhan dasar rakyat. Karenanya tidak ada istilah “mau mengembalikan modal” atau “kepepet” melakukan korupsi dalam setiap pekerjaan yang dilakukan.
Selain itu, ketakwaan individu yang dihasilkan sistem pendidikan berbasis Islam serta suasana amar makruf nahi mungkar yang sudah mengakar juga efektif menjadi rem pakem setiap individu untuk bermaksiat.
Ditambah sistem pengawasan dalam Islam yang sangat ketat. Akan ada para qhodi hisbah dan surtoh (polisi) yang ditugaskan untuk mengawasi setiap pelaksanaan pengurusan masyarakat. Demikianlah Islam menutup rapat setiap celah kemaksiyatan. Ketika terjadi kekhilafan maka sanksi tegas pun segera dijatuhkan.
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa ada dan tidaknya korupsi sangat bergantung pada sistem yang diadopsi sebuah negeri. Maka jika negeri ini benar-benar ingin mengakhiri korupsi, terlebih dahulu harus mengakhiri sistem sekuler demokrasi yang terbukti menjadi stimulan korupsi. Hijrah ke sistem Islam. Niscaya masalah korupsi akan tenggelam. Biidznillah.