Oleh : Umi Diwanti
Pengasuh MQ. Khadijah al-Kubro, Aktivitas Muslimah Kalsel
Kalsel di urutan keenam angka perkawinan anak secara nasional. Hal ini disampaikan oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Provinsi Kalimantan Selatan. Karenanya DPPPA kembali harus bekerja keras mengatasi hal ini. Diantaranya wacana membuat berbagai kegiatan untuk mengalihkan pikiran kawin muda di benak anak. (kalsel.inews.id, 1/10/2021)
Upaya menekan angka perkawinan anak ini memang selalu menjadi perhatian pemerintah. Sudah banyak program yang dibuat, hingga merevisi undang-undang (UU). Yakni merevisi batas usia perkawinan yang semula 15 di UU perkawinan Nomor 6 tahun 1974, menjadi 19 tahun dalam UU Nomor 1 tahun 2019. Juga dengan memperketat dispensasi pernikahan yang telah ada. Dan masih banyak program lainnya.
Faktanya hingga saat Indonesia belum jua tereliminasi dari nominasi negara terbanyak angka perkawinan anak. Artinya semua hal yang dilakukan selama ini cenderung sia-sia. Bahkan beresiko bahaya yang lebih nyata. Jalur perkawinan anak dipersempit, sementara berbagai tayangan tak senonoh semakin bebas. Ketika naluri seksual anak telah membuncah, nikah susah, apalagi pilihannya kecuali berzina. Naudzubillah. Tapi inilah fakta saat ini. Kita tak perlu membuka koran, bahkan di sekitaran pun mudah ditemukan kasusnya.
Perkawinan Anak, Salahkah?
Secara agama tak ada batasan usia menikah. Bahkan pemuda yang yang sudah “siap” menikah didorong untuk segera menikah. Jika belum siap maka Rasulullah pun menyarankan untuk berpuasa. Artinya kata “siap” lah yang menjadi patokan. Bukan usia. Hal yang sama yang disampaikan Wakil Bupati HSU Husairi Abdi, sebenarnya yang terlarang itu bukanlah perkawinan anak tapi tidak dimilikinya kesiapan mental, spiritual, kemampuan (ekonomi, pen) dan pendidikan yang layak pada anak yang menikah itulah masalahnya. (kalsel.inews.id, 1/10/2021).
Diantara penyebab ketidaksiapkan itu pertama, kurangnya ilmu atau pemahaman. Baik itu pemahaman agama terkait hak dan kewajiban sebagai suami istri maupun ilmu pendukung lain semisal ilmu psikologi tentang karakter dasar laki-laki dan perempuan yang memang Allah ciptakan bagai langit dan bumi. Ketika hal ini tidak dipahami maka rumah tangga pasti sering terjadi cekcok yang tak jarang berujung pada perceraian.
Kedua, kurang persiapan ekonomi. Sudahlah tak siap pemahaman ditambah hidup kekurangan, maka jangankan mereka yang menikah muda, yang tua pun pasti akan bermasalah. Jangankan pengantin baru, pengantin lamapun bisa bubaran.
Ketiga, kesiapan kesehatan. Pada dasarnya setiap yang sudah baligh maka alat reproduksi yang ada padanya telah sempurna. Siap untuk proyek melestarikan keturunan sebagai yang Allah titahkan. Jikapun ada masalah pada sebagian orang hanyalah kasuistik. Masalah ini sangat dipengaruhi oleh faktor kesiapan mental yang dipengaruhi oleh kurangnya pemahaman yang dimiliki (poin pertama).
Semua hal ini bisa diatasi cukup dengan negara menerapkan nilai-nilai agama (Islam) dalam menata kehidupan. Tak perlu membuat ketetapan baru apalagi sampai mengharamkan yang Allah halalkan, semisal pembatasan usia nikah. Negara harusnya hadir dengan mengemban tugas dan kewajiban yang telah Allah gariskan.
Pertama, negara seyogyanya menjalankan sistem pendidikan berbasis aqidah Islam. Menanamkan aqidah yang mendasar pada seluruh peserta didik serta membekali dengan tsaqofah Islam dan skill kehidupan termasuk skill berumah tangga sebelum mereka baligh. Hal ini akan membuat setiap anak siap secara mental ketika memutuskan sesuatu. Meski diantara mereka ada yang memilih menikah muda, mereka tak berani sembarangan menjalani sebab mereka paham pernikahan bukan sekedar kesenangan namun ibadah yang bisa berbuah Surga atau Neraka.
Kedua, negara juga semestinya menerapkan sistem pergaulan Islam. Memisahkan kehidupan laki-laki dan perempuan kecuali pada wilayah yang dibolehkan. Tidak boleh ada ikhtilat (berdua-duaan) dan campur baur dalam interaksi sehari-hari. Selain itu negara juga harus menutup semua konten yang bisa merangsang syahwat. Lingkungan harus bersih dari segala bentuk kepornoan. Termasuk wajib bagi semua warga negara menutup auratnya sesuai syariat.
Dengan tiadanya rangsangan seksual dari luar, niscaya tak ada anak-anak yang pikirannya menjadi liar. Mereka akan tersibukan dengan belajar dan amal solih lainnya. Jikapun ada yang menikah muda sudah pasti karena mereka memang sudah siap dengan segala konsekuensinya. Sudah paham. Tak seperti sekarang di mana rangsangan seksual bertebaran di mana-mana, ditambah kehidupan serba bebas memberikan kesempatan luas untuk anak-anak bergaul bebas. Wajar jika akhirnya banyak yang ingin menikah bukan karena siap, tapi ‘kebelet’.
Ketiga, negara hadir sebagai penjamin kebutuhan dasar warga negara. Mulai dari menyediakan lapangan kerja bagi setiap lelaki baligh hingga bantuan langsung dari Baitul Maal ketika ada rumah tangga yang terkendala dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Dengan terpenuhinya semua kebutuhan dasar, maka rumah tangga pun akan kokoh.
Keempat, negara juga harus hadir sebagai pelenggara pendidikan, kesehatan dan keamanan secara gratis dengan kualitas. Semua warga negara dipastikan bisa mengakses semua layanan ini dengan baik. Niscaya masalah kesehatan termasuk di dalamnya kesehatan reproduksi pun akan bisa diatasi dengan baik.
Dalam hal ini, akan ada pendampingan khusus bagi mereka yang menikah muda. Sehingga pasangan muda ini akan diarahkan oleh tenaga medis sesuai dengan kondisi kesehatan masing-masing pasangan. Apakah mereka bisa langsung program kehamilan ataukah harus ditunda dulu. Dan hal lain yang perlu arahan tim ahli. Dengan demikian niscaya angka kematian ibu dan anak pun dengan mudah bisa dikendalikan.
Demikian pula masalah pendidikan, tak seharusnya dibatasi dengan status sudah menikah. Sebab Islam mewajibkan belajar dari buaian hingga liang lahat. Maka meski sudah menikah harusnya akses pendidikan tetap harus dibuka lebar.
Dengan demikian maka jelaslah bahwa tak ada yang salah dalam kasus perkawinan anak. Namun belum hadirnya negara untuk turut membuat anak-anak menjadi “siap” menikah, inilah problemnya. Maka dari itu jika ada pernikahan anak yang bermasalah, solusinya bukanlah dengan mempersulit apalagi melarang pernikahan anak. Namun dengan menghadirkan kembali negara sebagai sebaik-baik pelayan umat. Yakni dengan menerapkan Islam dalam segala bidang sebagaimana sebagian telah dijelaskan di atas. Insyaallah semua pernikahan akan menjadi berkah.