Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan
Opini

Benang Merah Kebijakan Pengelolaan Keuangan Haji

×

Benang Merah Kebijakan Pengelolaan Keuangan Haji

Sebarkan artikel ini

Oleh : Dr Hidayat MA
Ketua Prodi Hukum Ekonomi Syariah IIQ Jakarta

Menunaikan ibadah haji ke Mekkah merupakan idaman dan cita-cita setiap seorang muslim. Sebagai rukun Islam yang kelima, haji merupakan perjalanan wajib bagi yang mampu. Ukuran mampu dalam konteks ini mencakup kemampuan urusan biaya atas keberangkatan dan biaya atas kebutuhan keluarga yang ditinggalkan. Oleh karena itu demi menunaikan ibadah rukun Islam kelima ini umat muslim rela menabung dan mengumpulkan pendapatannya. Berdasarkan Kepres Nomor 6 Tahun 2024 tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji tahun 1445 Hijriah/2024 maka besaran biaya Haji tahun ini berkisar antara Rp87.359.984,00 dan Rp97.609.469. Sebuah deretan nilai dana yang besar bagi masyarakat ekonomi menengah ke bawah, khususnya para petani, nelayan atau pekerja lepas. Terlebih saat ini kondisi perekonomian tengah lesu pasca terdampak pandemi meski telah memasuki masa pemulihan, secara umum dunia ekonomi belum sepenuhnya pulih secara maksimal.

Baca Koran

Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) telah mengambil langkah berani untuk mengelola dan menginvestasikan dana setoran awal jemaah haji sebesar Rp25 juta sesuai Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Dengan menginvestasikan dana sebesar Rp25 juta tersebut maka dana yang seharusnya dibayar oleh jamaah haji Rp93,41 juta, tinggal hanya membayar Rp56,04 juta sedangkan sisanya yaitu Rp37,36 juta diambil dari subsidi nilai manfaat yang diperoleh dari hasil investasi dana setoran awal para jamaah di atas. Sepanjang 2024, hasil investasi dana haji yang dikolela BPKH mencapai Rp169 triliun. Dari dana nilai manfaat tersebut lalu dibagikan kepada jamaah haji yang masih menunggu waiting list.

Bagaimanapun usaha yang dibuat oleh BPKH ini telah mendapat tanggapan yang beragam dari masyarakat, ada yang setuju dan tidak sedikit yang menolak. Dari pihak yang tidak setuju kemudian telah mengukuhkan pendapatnya dengan meminta fatwa kepada majelis fatwa Indonesia yang hasilnya mendapat tanggapan positif dan mengkuatkannya dengan mengeluarkan fatwa pada Juni 2024.

Hasil Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia VIII Tahun 2024 yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Bahrul Ulum Sungailiat Kabupaten Bangka Provinsi Bangka Belitung telah dihimpunkan dalam sebuah buku yang berjudul Konsensus Ulama Fatwa Indonesia 2024. Berkaitan dengan fatwa investasi dana haji itu dapat di lihat dalam Keputusan No 09/Ijtima’ Ulama/VIII/2024 Tentang Hukum memanfaatkan hasil setoran awal BIPIH calon jamaah haji untuk membiayai penyelenggaraan haji jamaah lain. Adapun hasil keputusan hukum memanfaatkan hasil investasi setoran awal BPIH calon jamaah haji untuk membiayai penyelenggaraan haji jamaah lain menurut fatwa ini adalah Haram.

Berseberangan dengan fatwa MUI di Bangka Belitung ini yaitu Mudzakarah Perhajian Indonesia yang dihadiri para ahli fikih, akademisi, dan praktisi haji yang diadakan di Pesantren Buntet, Cirebon pada hari Sabtu 9 November 2024 yang memutuskan bahwa pemanfaatan hasil investasi dana setoran awal BPIH untuk membiayai penyelenggaraan ibadah haji jemaah lain hukumnya diperbolehkan. KH Aris Ni’matullah berpendapat, hukum memanfaatkan hasil investasi setoran awal BPIH calon jemaah haji untuk membiayai penyelenggaraan ibadah haji jemaah lain adalah mubah.

Baca Juga :  PEMIMPIN DI HARI KIAMAT

Dalam muzakaroh MUI lain di Bandung, menguatkan pendapat yang membolehkan di atas, mengatakan Jika hasil investasi dana haji jemaah lain tidak boleh digunakan untuk jemaah yang berangkat, mereka akan membayar biaya haji mendekati angka riil. Sebab, jumlah hasil investasi dana haji yang masuk ke virtual account tiap jemaah tidak besar.

Fatwa majelis ulama Indonesia (MUI) yang diputuskan Bangka Belitung tersebut telah direspon oleh Prof. Nazaruddin Umar yaitu Menteri Agama Indonesia yang baru, menurut beliau memberikan hukum terhadap masalah ini mudah tetapi perlu dipikirkan dampak dan akibatnya ke belakang. Beliau menambahkan; bukan Indonesia saja yang membolehkan masalah ini bahkan Tabung Haji Malaysia yang sudah berkiprah lama dalam mengelola dana haji, ulama ataupun rakyat merekapun tidak mempermasalahkan atau mengharamkan aktifitas mengelola dana haji ini. Malahan kalau kita lihat investasi Tabung Haji Malaysia, lembaga pengelola dana haji ini lebih maju bahkan berinvestasi dalam banyak bidang, seperti jalan raya, perkebunan, membangun bangunan tinggi mencakar langit dan lain-lain.

Akibat perbedaan pendapat dalam menentukan hukum BIPIH : 1. Perbedaan pendapat ulama terhadap masalah ini akan menyebabkan ummat menjadi bingung dan akan melahirkan ketidakpercayaan terhadap institusi ulama di Indonesia. Pada hal masalah ini pada asalnya adalah tentang mu’malah yang mana pada asalnya hukumnya adalah dibolehkan. Dalam kitab al-Asybah wa al-Nazair, halaman 102, karangan imam al-Suyuti dari mazhab Imam Syafi‘i r.a. (wafat 911 h.), beliau membuat satu kaidah sebagai berikut:Artinya: pada asalnya setiap sesuatu adalah dibolehkan sehingga terdapat dalil yang mengharamkannya; 2. Perbedaan ini juga akan membenturkan beberapa lembaga resmi negara yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Akibat dari fenomena ini akan menyebabkan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) tidak sepenuh hati menginvestasikan dana umat yang sudah ada, disebabkan oleh keragu-raguan; 3. Akibat perbedaan ini juga akan menyebabkan penyelenggaraan haji akan buruk yang bisa membawa kemudaratan terhadap jamaah haji.

Pertimbangan-pertimbangan hukum, yakni : 1. Setiap ummat Islam yang mampu wajib menunaikan rukun Islam yang kelima sebagaimana telah ditetapkan oleh syariat dan usaha pemerintah yang telah serius menjamin keamanan dan kenyamanan setiap calon haji dalam pelaksanaan ibadah haji. Ditambah lagi anggota Yudikatif telah berusaha sekuat tenaga membuat payung hukum setiap kebijakan yang dibuat di negara ini menjadi titik temu semua pihak agar tetap mengedepankan kemaslahatan semua pihak; 2. Keinginan ummat Islam di negara ini tidak pernah kendor untuk menunaikan ibadah haji, tetapi apalah daya disebabkan keterbatasan rezeki yang ada menyebabkan agak terhambatnya keinginan yang selama ini sudah tertanam untuk menunaikan ibadah haji ke Mekkah; 3. Menghormati usaha BPKH yang telah berusaha semaksimal mungkin menginvestasikan dana awal setiap calon haji sehingga dapat mengurangi dana wajib setiap jamaah merupakan pertimbangan setiap stakeholder untuk mencari solusi agar semua pihak tetap win-win sehingga setiap musim haji terlaksana dengan baik dan jamaah mendapatkan haji yang mabrur/ah; 4. Menggunakan hasil dana haji orang lain yang dibagi melalui lembaga negara dan telah dikelola oleh lembaga tersebut (BPKH) dengan akad yang telah dipersetujui masing-masing pihak adalah dibolehkan dan tidak dipermasalahkan, bukan di Indonesia saja tetapi di negara-negara muslim lainnya juga begitu.

Baca Juga :  MEMUJI RASUL

Alternatif solusi adalah : 1. Semua pihak dianjurkan untuk menahan diri, tidak membuat statemen-statemen yang membuat riuh dan gadoh, akan tetapi selalu mengedepankan kemaslahatan dan persatuan, ini betujuan untuk menjaga situasi tidak memanas di masyarakat; 2. Fatwa MUI 2024 tetap diapresiasi dengan sedikit penambahan yaitu dalam keputusan fatwa tersebut ditambah: i. membolehkan hasil investasi setoran awal BIPIH calon jamaah haji untuk membiayai penyelenggaraan haji jamaah lain dengan syarat pemerintah menjamin bahwa jamaah yang berangkat sesudah itu tidak akan dibebni biaya tambahan; ii. Membolehkan pengelola keuangan haji yang menggunakan hasil investasi dari setoran awal biaya perjalanan ibadah haji (BIPIH) calon jamaah haji untuk membiayai penyelenggaraan ibadah haji jamaah lainnya dengan syarat jamaah yang telah dipakai hasil investasi dana hajinya tidak dibebani dana tambahan.

  1. Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) memastikan bahwa akad yang dipersetujui antara BPKH dan calon jamaah haji adalah sesuai dengan syariah. Juga memastikan bahwa akad yang dipakai dipahami oleh jamaah dengan memberikan kefahaman kepada mereka akan konsekuensi terhadap akad tersebut.

Akhirnya disimpulkan bahwa usaha pemerintah Indonesia untuk menjamin keamanan dan kenyamanan setiap aktivitas ibadah di negara ini adalah pantas diapresiasi. Bagaimanapun usaha ini tidak selalu sempurna yang bisa memenuhi semua keinginan setiap masyarakat. Oleh sebab itu setiap pihak boleh memberikan masukan yang bersifat membangun. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai representatif mufti (pemberi fatwa) yang sangat dihormati di negara ini diharapkan agar selalu berkolaborasi dengan semua pihak termasuk cendikiawan, kyai, akademisi dan pemerintah sebelum mengeluarkan fatwa, terutama dalam masalah mu’amalah. Juga yang tidak kalah penting adalah mengadakan perbandingan dengan pendapat-pendapat mazhab lain atau negara lain yang masalahnya sama dengan yang diputuskan.

Semua pihak yang ada di negara ini harus menyadari bahwa persatuan dan kemaslahatan ummat yang sesuai dengan syariat harus diutamakan dalam membuat atau memutuskan setiap kebijakan. Dengan itu tujuan bernegara ini dapat dicapai yaitu sejahtera di dunia dan juga bahagia di akhirat.

Iklan
Iklan