Banjarmasin, KP – Menyusul viralnya kasus persetubuhan perkara perkosaan terhadap wanita berinisial D, mahasiswa ULM Fakultas Hukum Banjarmasin yang kembali mencuat setelah pelaku hanya di vonis 2,6 tahun mendapatkan sorotan dari Praktisi Hukum sekaligus akademisi, DR H Abdul Halim Shabab.
Karena langkah hukum banding yang dilakukan jaksa dalam perkara perkosaan terhadap mahasisiwi yang sedang pratek kerja di Polresta Banjarmasin dinilai kurang tepat.
Hal ini dikarenakan dalam aturan permintaan banding boleh diterima panitera pengadilan tidak boleh lewat dari sepekan setelah putusan dijatuhkan oleh majelis hakim kepada terdakwa.
Berbeda jika dalam perkara perdata dan Tata Usaha Negara (TUN) yang mendapat masa waktu pengajuan permohonan selama dua pekan.
“Dalam praktek misalnya banding diserahkan 14 hari, maka permohanan banding tidak dapat diterima, jadi sia-sia kan,” ujar Ketua STIHSA, DR H Abdul Halim Shabab kepada awak media, Kamis (27/01/2022) siang.
Apakah ini artinya tidak ada langkah hukum yang bisa dilakukan bagi korban untuk mendapatkan keadilan? Menurut mantan advokat senior ini tak perlu khawatir. Halim memberikan tiga langkah hukum yang bisa dilakukan.
Pertama, jaksa penuntut umum yang bertugas mewakili korban dalam suatu perkara di persidangan dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK) terhadap putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap.
“Namanya upaya hukum luar biasa peninjauan kembali (Pasal 263 KUHAP),” katanya.
Jadi, solusi sambung pria yang juga seorang pengajar hukum pidana ini, adalah mengajukan kasasi demi kepentingan umum sesuai Pasal 259 KUHAP.
Selanjutnya bisa melakukan jalur hukum perdata sesuai Pasal 1365 KUHPerdata. Setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum diwajibkan untuk mengganti kerugian yang timbul dari kesalahan tersebut.
“Bisa lewat perdata, dasarnya perbuatan melawan hukum, yang sangat merugikan korban,” jelasnya.
Jadi, dengan melihat proses persidangan, Halim melihat, majelis hakim sudah melaksanakan tugasnya secara profesional. Vonis yang dijatuhkan kepada Bripka Bayu Tamtomo selama 2,6 tahun tentu sudah berdasarkan pertimbangan yang komprehensif, baik secara data maupun fakta yang ditemukan dalam persidangan.
Namun, yang disayangkan Halim, dalam perkara ini kenapa jaksa tidak menambahkan tuntutan memberatkan kepada pelaku. Padahal itu bisa dilakukan dalam penunututan.
“Idealnya hukumannya ditambah seper tiga dari ancaman, karena yang bersangkutan adalah penegak hukum yang harusnya memberikan contoh baik kepada masyarakat, namun kenyataannya dalam pertimbangan hakim banyak yang meringankan termasuk pemberian maaf pada pelaku serta banyak perjanjian yang meringankan, ”demikian alumni Doktor Ilmu Halim Kalsel ini.(vin/KPO-1)