Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Industri Oleh dan Untuk Oligarki Pengangguran Kian Menjadi

×

Industri Oleh dan Untuk Oligarki Pengangguran Kian Menjadi

Sebarkan artikel ini

Oleh : Adzkia Mufidah, S.Pd
Pemerhati Sosial Kemasyarakatan

Pengangguran masih menjadi problem. Jumlah pengangguran di beberapa kabupaten di Kalimantan Selatan meningkat. Seperti yang terjadi di Tabalong. Tingkat pengangguran terbuka menjadi perhatian serius Bupati Tabalong, H Anang Syakhfiani. Di tahun 2022, tingkat pengangguran terbuka Tabalong mengalami peningkatan yakni menjadi 4,46 persen dibanding tahun 2021 yang berada di angka 3,43 persen. Anang menyebutkan fenomena ini terjadi tidak hanya di Tabalong saja namun ada beberapa daerah di Kalsel juga meningkat. (kontrasonline.com).

Baca Koran

Kabupaten lain yang juga meningkat TPT nya menurut data BPS Kalimantan Selatan adalah kabupaten Balangan (2,44 menjadi 3,98) dan Kotabaru (5,57 menjadi 6,70).

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran di Indonesia sebanyak 7,99 juta orang per Februari 2023. Secara spesial, BPS mencatat masih ada 10 provinsi yang memiliki tingkat pengangguran di atas rata-rata nasional. Ini diantaranya Aceh, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Maluku dan Papua Barat. (katadata.co.id)

Pengangguran dari tamatan SMK masih merupakan yang tertinggi dibandingkan tamatan jenjang pendidikan lainnya, yaitu sebesar 9,6 persen. Ini karena kompetensi lulusan SMK dianggap masih belum bisa memenuhi kebutuhan industri. (Kumparan, 6-5-2023).

Era industrialisasi yang seharusnya mampu menyerap tenaga kerja, nyatanya hanya ilusi. Sejak dahulu, industri tidak bisa menjadi sektor utama dalam menyerap tenaga kerja. Tidak heran banyak pengamat ekonomi mengatakan bahwa gejala deindustrialisasi telah tampak di negeri ini.

Dalam catatan Bisnis disebutkan bahwa deindustrialisasi adalah proses kebalikan dari industrialisasi yaitu penurunan kontribusi sektor manufaktur alias industri pengolahan nonmigas terhadap PDB. Selain dari kinerja manufaktur, sinyal deindustrialisasi juga bisa dibaca dari semakin besarnya porsi pekerja informal dalam struktur pekerjaan di Indonesia.

Data BPS mengungkap bahwa jumlah pekerja informal di Indonesia terus mengalami kenaikan. Pada Februari 2020 lalu, jumlah pekerja formal tercatat sebesar 43,36 persen dan sektor informasi sebanyak 56,64 persen. Jumlah pekerja informal naik menjadi 59,62 persen, sedangkan pekerja formal tersisa 40,38 persen pada Februari 2021. Persentase jumlah pekerja formal terus tergerus pada tahun-tahun setelahnya, pada Februari 2022 BPS mencatat jumlah pekerja formal tersisa menjadi 40,03 persen. Sementara jumlah pekerja informal melejit hingga 59,97 persen.

Baca Juga :  Puasa dan Penerbangan, Panduan Kesehatan dan Perspektif Islam

Tren ini terus berlanjut, kendati pemerintah mengklaim bahwa kondisi perekonomian mulai menunjukan pemulihan dan perlahan lepas dari imbas pandemi Covid-19. Namun demikian, jika mengacu kepada data BPS per Februari 2023, jumlah pekerja informal malah menembus angka 60,12 persen atau mengalami kenaikan 0,15 persen. Pekerja formal tercatat anjlok menjadi 39,88 persen.

Data mengenai tren peningkatan pekerja informal itu sejalan dengan tren penurunan penduduk yang berstatus sebagai buruh, karyawan dan pegawai. Berdasarkan data BPS jumlah buruh dalam waktu 3 tahun terakhir mengalami penurunan dari 37,02 persen pada Februari 2021 menjadi 36,72 persen pada Februari 2022, dan turun ke angka 36,34 pada Februari 2023. (bisnis.com, 06/05/2023)

Diakui atau tidak, hal tersebut menunjukkan bahwa pemerintah telah gagal dalam menciptakan lapangan kerja bagi rakyatnya. Itu wajar, karena dalam sistem ekonomi kapitalisme, peran pemerintah hanya sebagai regulator.

Disamping itu, realitasnya pemerintah lebih mengandalkan swasta dalam penciptaan lapangan pekerjaan. Lihat saja industri manufaktur yang diandalkan dalam menyerap lapangan pekerjaan, hampir semuanya milik swasta. Jika swasta yang memegang kendali, bukan kesejahteraan pekerja yang menjadi fokus, melainkan profit perusahaan.

Total pendapatan yang dihasilkan perusahaan berkorelasi positif dengan penekanan upah pekerja. Menekan upah atau bahkan mengurangi pekerja (PHK) akan terus dilakukan agar keuntungan makin melimpah.

Untuk Oligarki

Selain oleh swasta, industri pun dikendalikan oligarki. Walhasil, pembangunan industri bukan berdasarkan kebutuhan rakyat, melainkan kepentingan oligarki. Contohnya, proyek IKN dan pembangunan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang hingga kini terus berpolemik. Pengamat Kebijakan Publik dari Indonesia Justice Monitor (IJM) Dr. Erwin Permana menyebutnya sebagai satu dari sekian proyek yang dipersembahkan untuk oligarki. Ini karena rakyat terus mempertanyakan urgensi proyek ambisius tersebut.

Meski banyak pihak yang mempertanyakan proyek tersebut, pada akhirnya tetap jalan dengan alasan ini adalah proyek business-to-business dan tidak akan menyentuh APBN. Namun, setelah berjalan dan pembiayaan membengkak karena banyak hal termasuk korupsi, pembiayaan pun mencaplok APBN. Padahal, APBN sudah sangat defisit. Kini harus ditambah membayar bunga utang pada Cina.

Baca Juga :  Manfaat dan Hikmah Puasa dalam Islam

Juga tenaga kerja proyek ini banyak dari TKA. Ini tidak bisa distop oleh pemerintah lantaran terjegal kebijakan. Akibatnya, alih-alih menyelesaikan pengangguran dengan menyerap tenaga kerja, yang ada malah lapangan kerja bagi warga makin sempit bahkan lenyap. Oleh karenanya, selama industri dikendalikan swasta, lapangan pekerjaan tidak akan terbuka lebar bagi rakyat Indonesia.

Industri dalam system Islam

Menelaah persoalan pengangguran pada era industrialisasi, sejatinya berpangkal pada industri yang bercorak kapitalisme. Pembangunan industri fokus pada kepentingan korporasi dan juga oligarki. Hal ini berbeda dengan pembangunan industri dalam Islam. Hal ini bisa dilihat dari ;

Pertama, dalam Islam pembangunan untuk menyejahterakan. Karenanya, Islam tegas menjadikan negara sebagai penanggung jawab dalam menjamin kebutuhan asasi rakyatnya,, termasuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya.

Ini berdasarkan keumuman hadis Rasulullah SAW, “Seorang Imam (kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya.” (HR Bukhari, 844).

Kedua, industri dibangun berdasarkan kemaslahatan umat sehingga negara wajib menjadi pengendali industri. Perbedaan krusial industri ala kapitalisme dan Islam terletak pada kepemilikan. Kapitalisme memandang bahwa kepemilikan alat industri, termasuk SDA, adalah hak dari semua manusia. Swasta termasuk asing bebas memiliki, memproduksi, ataupun mengembangkannya tanpa batasan.

Berbeda dengan Islam yang membatasi kepemilikan. SDA yang melimpah dan dibutuhkan umat tidak boleh dikuasai swasta. Industri hulu yang mengilang minyak, misalnya, tidak boleh dimiliki swasta. Dengan banyaknya industri yang dikelola negara, akan sangat membantu dalam penyerapan tenaga kerja.

Ketiga, pendidikan dua kualifikasi. Pendidikan dalam Islam mengarah pada dua kualifikasi penting, yaitu terbentuknya kepribadian Islam yang kuat, sekaligus memiliki keterampilan untuk berkarya. Negaralah yang menyediakan fasilitas pendidikan serta memastikan seluruh rakyatnya mendapatkan pendidikan berkualitas.

Pendidikan dalam Islam juga tidak akan membebek pada kepentingan industri. Pembangunan industri yang berfokus pada kemaslahatan umat akan banyak dibangun seiring kualitas SDM yang inovatif, kreatif, dan produktif. SDM yang memiliki kepribadian Islam sekaligus keterampilan akan berlomba-lomba menjadi insan kamil yang bermanfaat bagi umat.

Wallahu a’lam.

Iklan
Iklan