Oleh : Ahmad Barjie B
Pemerhati Sosial Keagamaan
Liga Arab beranggotakan 22 negara, dengan jumlah penduduk mencapai 250 juta jiwa lebih. Bila digabung dengan Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang beranggotakan 57 negara, maka total penduduknya mencapai ± l miliar jiwa lebih. Lantas mengapa Liga Arab dan OKI yang penduduknya begitu besar seolah tidak berdaya menghadapi Israel yang hanya berpenduduk 9 juta jiwa, dan tidak mampu membela bangsa Palestina, khususnya di Gaza yang berpenduduk 2,5 juta jiwa.
Lebih mengecewakan lagi, Liga Arab dan OKI tidak kunjung menghasilkan langkah konkret untuk membantu Palestina dan menekan Israel bersama sekutunya. Sekedar embargo minyak saja langsung ditolak terutama oleh Arab Saudi dan Kuwait sebagai negara penghasil minyak terbesar dunia. Begitu pula seruan agar negara-negara Arab yang berbatasan dengan Palestina dan Israel membuka perbatasannya supaya bisa dimasuki tentara dan relawan jihad dari luar, juga tidak disetujui.
Mestinya di saat bangsa Palestina berada dalam kondisi hidup dan mati seperti sekarang, Liga Arab dan OKI melakukan tindakan konkret. Disamping terus menekan Israel dan AS lewat diplomasi dan forum PBB, melakukan boikot dan embargo ekonomi, juga sudah selayaknya memobilisasi tentara dan relawan jihad di negara masing-masing. Itu penting untuk menyadarkan Israel agar segera menarik tentaranya dan menghentikan pembantaian rakyat sipil Palestina. Sejauh ini batu Houti Yaman yang berani melakukan tindakan nyata dengan mengganggu kapal-kapal di Laut Merah yang diduga menjadi mitra Israel. Aksi jihad pasti akan ditakuti oleh Israel dan sekutunya, sebab itulah senjata kaum muslimin paling ampuh dan pamungkas yang selama ribuan tahun silam sangat disegani oleh kawan dan lawan. Kalau jauh-jauh hari sudah menolak jihad, dan tidak pula membantu relawan ke sana, itu artinya kalah sebelum berjuang. Israel tentu akan semakin bebas berbuat semaunya.
Diplomasi sekarang baru akan berhasil menekan suatu negara bila disertai kekuatan fisik militer. Lihat saja gaya AS ketika menekan Irak dalam Perang Teluk jilid II, seiring diplomasi AS dan sekutunya juga juga sudah menyiapkan angkatan perangnya malang melintang di Teluk Persia, Laut Tengah dan Lautan Hindia. Hal sama juga dilakukan AS saat menekan rezim Taliban Afghanistan. Bahkan kekuatan militer lebih dikedepankan ketimbang diplomasi. Sekarang pun AS langsung mengirim kapal induknya ke Laut Tengah dan Laut Merah guna mendukung Israel.
Untuk bangsa keras kepala seperti Israel, diplomasi apapun tidak ada yang mampu menekannya. Sejak Israel berdiri tahun l948 hingga sekarang sudah puluhan resolusi PBB dan ratusan usaha diplomasi, tapi semuanya nihil, Israel tidak peduli barang sedikit. Mendiang PM Israel Yitzhak Rabin yang ingin berdamai dengan Palestina juga dibunuh oleh seorang mahasiswa radikal, Yigal Amir. Presiden Mesir mendiang Anwar Sadat juga terbunuh saat memilih jalur diplomasi, karena rakyat Mesir tahu bahwa menjinakkan Israel tidak bisa lewat diplomasi. Apalagi sudah jelas AS dari dulu pro Israel. Cuma kekuatan militer yang bisa mengatasinya.
Buih di Lautan
Mengapa umat Islam yang begitu besar tidak mampu melawan negara kecil semacam Israel? Menjawab pertanyaan ini kita patut kembali kepada sebuah hadis. Rasulullah SAW suatu ketika memberi sinyal dan peringatan, kelak di suatu zaman umat Islam akan jadi bahan permainan bangsa lain, persis seperti buih di lautan yang diterjang ombak ke sana ke mari. Para sahabat bertanya, apalah saat itu umat Islam sedikit? Nabi menjawab, tidak, bahkan umat Islam saat itu sangat besar jumlahnya. Mereka bisa dipermainkan dan dilecehkan oleh bangsa lain karena terlalu cinta dunia dan takut mati. Hadis senada mengingatkan, bila umat Islam terlalu cinta dunia maka Allah akan mencabut kehebatan Islam. Umat Islam tidak lagi berwibawa.
Melihat reaksi negara-negara Islam terhadap kebrutalan Israel selama ini, nyata sekali kalau umat Islam, khususnya para pemimpin dan elit penguasanya sangat cinta dunia dan takut mati atau menderita. Cinta dunia di sini tidak terlepas dari kekuasaan dan kekayaan. Kita menyaksikan, betapa banyaknya pemimpin dan warga negara Arab yang hidup mewah dan kaya luar biasa, yang mestinya hal itu mendorong mereka untuk berani berkorban, tetapi ternyata sebaliknya. Mereka takut berperang dengan Israel dan berkonfrontasi dengan Amerika. Takut kalau kekuasaan dan kekayaan mereka akan terancam, takut diserang seperti Palestina, takut kesenangannya terganggu.
Sekedar memerintahkan tentaranya berperang saja mereka tidak berani, padahal yang namanya tentara dan senjata sudah sewajarnya digunakan untuk berperang ketika perlu. Apalagi memerangi Israel sudah nyata dan kuat dasar hukumnya, baik dari segi agama maupun politik. Mereka rela melihat bangsa Palestina setiap hari jadi korban, yang sepertinya mau digenocide oleh Israel. Sama juga dengan negara-negara muslim OKI. Belum apa-apa mereka sudah ewuh pakewuh terhadap AS. Jangankan menyatakan perang terhadap Israel dan menekan sekutunya, sekedar protes keras pun tidak berani, ragu, lembek, lunak.
Sikap ini sangat berbeda dengan masa Rasulullah dan para sahabat, serta para khalifah sesudahnya. Saat itu para pemimpin punya nyali besar dalam berperang, baik langsung maupun tak langsung. Banyak pemimpin dan rakyatnya yang bercita-cita mati sebagai syahid. Setiap ada panglima atau serdadu yang tewas, mereka iri dan ingin sekali mengalami hal serupa, karena yakin surga sangat merindukan pejuang yang syahid sebagai martir kebenaran.
Para pemimpin sekarang ini selalu menghindari jihad dengan berbagai alasan klasik dan dibuat-buat. Di antaranya beralasan bahwa medannya sulit, jauh, padahal yang namanya jihad memang tidak sunyi dari kesulitan. Jihad itu sendiri dalam definisi syara’ artinya berusaha sekuat tenaga dan siap menanggung segala kesulitan dalam memerangi musuh dan membendung agresinya. Juga beralasan persenjataan Israel lebih canggih karena selalu dipasok induknya AS, padahal sejarah teramat banyak bercerita kecanggihan persenjataan bisa saja dikalahkan oleh pasukan kecil dan bersenjata sederhana asalkan didasari semangat juang dan iman kuat. Kemenangan Islam dalam Perang Badar, Perang Qadisia melawan Persia, perang Nahawind melawan Byzantium, Perang Crusades melawan pasukan Eropa dan lain-lain, hanyalah sedikit dari banyak contoh. Bangsa kita berhasil mengusir penjajah Belanda, Portugis, Inggris dan Jepang juga bukan karena kecanggihan senjata dan banyaknya tentara.
Aksi Nyata
Keberhasilan Hamas melawan Israel sekarang juga jadi contoh. Keberanian pejuang dan bangsa Palestina ini sulit dicari bandingnya. Para pemuda yang rata-rata gagah dan tampan, ternyata tidak lagi menyayangi jiwanya. Mereka merelakan diri dalam misi-misi serangan terhadap tentara Israel dan mesin-mesin perangnya. Mereka bukanlah pemuda preman dan rakyat jelata yang tidak punya masa depan. Banyak di antaranya justru terdiri dari kalangan mahasiswa, intelektual, dokter, doktor, terpelajar dan profesional yang bermasa depan cemerlang. Lantas mengapa merela rela berjibaku demikian?
Jawabannya karena mereka tidak bisa lagi berharap banyak kepada saudara-saudaranya dari negeri-negeri muslim lain, jauh maupun dekat. Mereka protes terhadap para penguasa Arab yang mabuk kekuasaan dan kekayaan, mereka protes terhadap tentara-tentara muslim yang tidur. Para pemuda pemudi pejuang itu berharap kelak negeri mereka bisa merdeka, damai dan berdaulat, meski kini mereka menebusnya dengan nyawa yang sangat berharga dan milik satu-satunya.
Melihat besarnya pengorbanan bangsa Palestina dan beratnya penderitaan yang mereka alami, mestinya negeri-negeri muslim secara all out memberi dukungan nyata. Mengingat gagalnya usaha-usaha diplomatik selama ini, maka pilihan paling tepat ada tiga: Pertama, negeri-negeri Islam terjun berperang di pihak Palestina dengan mengirim tentara reguler, maupun relawan jihad. Kedua, negeri-negeri muslim di bawah bendera PBB maupun PKI menempatkan pasukan penjaga perdamaian di medan konflik. Untuk itu PBB harus ditekan secara diplomatik agar mau menempatkan pasukan perdamaian, seperti pernah dilakukan pasca Perang Arab Israel l973. Ini penting agar ada kekuatan militer yang mampu menjaga dan menyelamatkan bangsa Palestina dari pembantaian dan genocide. Ketiga, embargo dan boikot, ini sudah dilakukan, dan perlu terus dilakukan sampai Israel menghentikan agresinya.
Di atas segalanya, mobilitas tentara dan relawan jihad sangat penting dilakukan. Semoga pertolongan Allah diberikan kepada bangsa Palsetina sehingga mereka segera beroleh kemerdekaan, dan semoga para pejuang dan rakyat sipil yang tewas dijadikan Allah sebagai syuhada dengan ganjaran surga. Amin.