Oleh : CAKRAWALA BINTANG
Bahwa di dalam kitab Ad-Durun Nafis, karangan M Nafis, yang maqamnya ada di Kelua, Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara pada bab pendahuluan dijelaskan, adalah hendaklah diketahui bahwa yang terpenting harus memelihara diri agar tidak sampai jatuh ke lembah maksiat, maupun maksiat lahir dan batin. Pada dasarnya, hendaklah dapat melepaskan diri dari hal-hal yang dapat merusak perjalanan cita-cita menuju ridha Allah SWT. Dengan demikian dapat dikatakan sebagai sebuah kegagalan.
Maka untuk itu hal-hal yang dapat menggagalkan itu dikarenakan : 1. Kasal (malas), untuk mengerjakan ibadat kepada Allah SWT. Padahal jika dipikirkan dapat melaksanakan ibadat tersebut; 2. Futur (bimbang atau lemah pendirian) tidak memiliki tekad yang kuat karena terpengaruh kehidupan duniawi dan godaan-godaannya; 3. Malal (pembosan), cepat merasa jemu dan bosan untuk melaksanakan ibadat karena merasa terlalu sering dilakukan, namun tujuan belum tercapai.
Untuk selanjutnya yang menyebabkan gagalnya tujuan karena penyakit “syirik khafi” atau syirik tersembunyi, yang mana masih ada getaran jika amal kebaikan yang dilakukan adalah sepenuhnya, karena kemampuan diri sendiri. Padahal sesungguhnya segala makhluk dan segala yang ada adalah ciptaan Allah SWT. Oleh karena itu, yang namanya kemampuan adalah juga pemberian Allah SWT.
Untuk itu, syirik kecil itu dapat dibagi dalam : 1. Ria(pamer), bahwa mengira saksi hanyalah manusia semata, padahal malaikat serta makluk lainnya serta Allah SWT adalah saksi perjalanan setiap orang yang ada di muka bumi ini. Sehingga dengan memperlihatkan kebaikan pada manusia semata, seakan ingin menyembunyikan maksud lainnya. Semua itu seperti ingin mencari keuntungan sendiri dengan memanfaatkan kelemahan manusia lainnya; 2. Sum’ah (memperdengar-dengarkan), untuk supaya banyak orang tahu akan kemampuannya, sehingga dengan demikian akan dapat diakui sebagai penguasa atau berkemampuan untuk itu; 3. Ujub (membanggakan diri, yang mana dengan demikian lupa untuk melanjutkan keilmuan dalam hal perjalanan menuju Tuhan.
Dikatakan, “Suqut awwaluhu wuquf ma’al ‘ibadah”. Bahwa gugurnya permulaannya karena terhenti pada ibadatnya semata-mata. Hanya mengira jika sampai ibadat itu saja, tanpa melihat perkembangan selanjutnya. Karena ibadat itu sepertinya hanyalah merupakan alat semata untuk mencapai Allah SWT. Bahwa kehidupan itu terus berlanjut, mengikuti irama waktu. Kemudian pada waktu itu akan berbeda dimensinya. Dimana masa demi masa pada program Allah SWT, akan berbeda dengan masa lalu atau masa yang akan datang. Atau dengan kata lain, cara berjuang di masa lalu itu, akan berbeda dengan masa yang sekarang.
Cara berjuang di masa sekarang ini, maka dengan menghubungkan perjuangan masa lalu itu, dengan tujuan Islam diturunkan. Tujuan Islam diturunkan untuk “rahmat atas semesta alam”. Dari pengertian itu semua sangat jelas, jika hukum Islam haruslah mendominasi hukum buatan manusia. Karena hanya dengan demikian, manusia akan bisa diselamatkan dari cara pikirnya yang terlalu berlebihan. Itulah sebenar-benarnya perjuangan yang tiada hentinya.