Oleh : Prof Dr Husaini
Akademisi ULM
Pada Pilkada Serentak 2024, peningkatan jumlah calon perempuan terlihat di beberapa daerah. Fenomena peningkatan keterlibatan perempuan di Pilkada Serentak 2024 ini menjadi angin segar bagi kontestasi politik di Indonesia. Keterlibatan perempuan dalam politik dan kepemimpinan menjadi salah satu bagian dari SDG 5.5 yang terwujud lewat proporsi kursi yang diduduki perempuan di parlemen nasional dan pemerintahan daerah. Indikator SDG 5.5.1 mengukur “proporsi kursi yang diduduki perempuan di parlemen nasional dan pemerintah daerah” dalam kerangka tujuan pembangunan berkelanjutan seperti yang diamanatkan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa. Indikator ini berfokus pada representasi perempuan dalam lembaga legislatif dan eksekutif di tingkat nasional maupun daerah. Tujuan akhirnya sebagai upaya untuk menuju kesetaraan gender (Topan Y, Kompas Pedia, 2024).
Perempuan yang maju dalam bursa Pilkada, masih banyak yang dipertanyakan kemampuannya. Selain itu, perempuan juga masih saja mendapat stereotip sebagai orang yang tak pantas memimpin. Keadaan diperburuk dengan karakteristik sistem politik Indonesia didominasi budaya patriarki, yang memandang perempuan sebagai sosok lemah dan tidak bermanfaat. Padahal kehadiran perempuan di bidang politik sangat penting untuk pengambilan keputusan dan kebijakan berperspektif gender (Titi E, 2024).
Keterwakilan perempuan sebagai cakada juga mewakili suara serta kepentingan perempuan dan anak. Maka dari itu, menjadi tugas kita bersama sebagai pemilih untuk memastikan apakah program yang ditawarkan cakada perempuan mampu menjawab isu perempuan dan anak di daerahnya, kemudian komitmen politik yang dibangun menyelesaikan permasalahan sampai ke akarnya, dan tidak adanya pelanggaran, sekaligus tetap menciptakan pilkada yang ramah perempuan dan anak. Kita juga harus memastikan bahwa Pilkada Serentak tahun ini bebas dari diskriminasi bagi perempuan, baik peserta maupun pemilih (Titi E, 2024).
Sementara itu, Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengungkapkan seluruh pihak harus bersinergi untuk saling mengingatkan dan mendukung penyelenggaraan Pilkada Serentak Tahun 2024 yang bebas dari diskriminasi bagi perempuan. Pemerintah Indonesia meratifikasi The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) melalui Undang-Undang No.7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan dan CEDAW telah menjadi hukum positif Indonesia. Konvensi CEDAW menegaskan diskriminasi terhadap perempuan adalah pelanggaran HAM, perempuan memiliki hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang harus dinikmati oleh perempuan atas dasar persamaan, kesetaraan dan keadilan dengan laki-laki dan konvensi juga mewajibkan negara untuk melindungi, memajukan, dan memenuhi hak asasi perempuan. Dalam penyelenggaraaan Pemilu dan Pilkada, prinsip dasar CEDAW harus kembali digaungkan agar dalam prosesnya bebas dari diskriminasi, baik terhadap perempuan sebagai peserta maupun pemilih (Titi E, 2024).
Kepala daerah perempuan terus meningkat dari tahun ke tahun. Menurut laman Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), keterwakilan perempuan yang maju di Pilkada Serentak dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada Pemilihan Kepala Daerah 2024, terdapat peningkatan tren partisipasi perempuan. Untuk posisi Gubernur dan Wakil Gubernur, terdapat 18 perempuan yang ikut mencalonkan diri pada Pilkada 2024. Di tingkat Bupati dan Wakil Bupati, jumlah calon perempuan mencapai angka 210 perempuan, sedangkan untuk tingkat Walikota dan Wakil Walikota, terdapat 81 perempuan yang turut bersaing dalam kontestasi politik lokal.
Partisipasi politik perempuan untuk maju dalam ajang pilkada tentu menjadi kekuatan perempuan untuk memajukan bangsa Indonesia khususnya dalam bidang politik. Keterwakilan pemimpin daerah perempuan dan partisipasi politik perempuan merupakan hal penting dalam rangka memastikan hadirnya kebijakan-kebijakan yang mendukung, memberdayakan, dan memfasilitasi kebutuhan perempuan di berbagai bidang pembangunan. Minimnya partisipasi perempuan pun menjadi sorotan. Hal ini akan berdampak pada perjuangan kepentingan perempuan (Devi H, 2024).
Majunya calon kepala daerah perempuan di Kalimantan Selatan periode tahun 2024-2029 seperti Calon Gubernur Kalimantan Selatan yaitu Hj. Raudhatul Jannah atau biasa dipanggil Acil Odah adalah ciri sudah menjalankan demokrasi yang berlaku saat ini di Indonesia. Ada penerimaan yang luas terhadap calon pemimpin perempuan. Kedewasaan demokrasi ini akan sempurna jika kemudian Hj. Raudhatul Jannah benar-benar terpilih menjadi Gubernur Kalsel. Ini akan menjadi torehan penting dalam sejarah kepemimpinan Kalsel, jika Hj. Raudhatul Jannah menjadi gubernur perempuan pertama di Kalimantan Selatan. Maka pesta demokrasi di Kalsel sesungguhnya adalah kerja sejarah masyarakat Kalsel itu sendiri.
Perspektif Islam tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan. Meskipun secara fitrah biologis memiliki perbedaan, tetapi dari sisi penciptaan dan tujuan penciptaan memiliki kesamaan, yaitu sebagai hamba yang diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah SWT. Dimana ukuran kemuliaan seorang hamba adalah yang paling tinggi ketaqwaannya kepada Allah SWT. Begitu juga ketika berbicara dalam konteks kepemimpinan. Prinsip dasarnya adalah kita semua adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Hal ini bukan saja berkaitan dengan urusan kepemimpinan di dunia, di hadapan orang yang dipimpin, tetapi juga di hadapan Allah SWT di hari akhirat. Lalu, bagaimana agar setiap kita bisa menjadi pemimpin yang baik? Mari kita mulai dengan memahami makna kepemimpinan. Makna kemimpinan bukanlah sosok atau bentuknya, tetapi sifat dan kemampuannya. Sehingga kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi seseorang atau orang lain untuk mencapai tujuan organisasi yang dipimpin (Husaini, 2024)
Kepemimpinan dalam Islam sesuai yang diajarkan oleh Rasulullah SAW yang selalu menerapkan ajaran Al-Qur’an sebagai dasar dalam memimpin umat yang berlandaskan nilai-nilai shiddiq (jujur), tabliqh (menyampai amanah), amanah (dapat dipercaya) dan fathonah (cerdas). Dalam khasanah intelektual Islam, ulama membagi kepemimpinan menjadi 2 kategori, yaitu kepemimpinan besar (al-Imamah al-Uzhma) dan kepemimpinan kecil (al- Imamah al-Shughra). Kepemimpinan besar berkaitan dengan kepemimpinan di publik dalam posisi sebagai kepala negara atau kepala pemerintahan, mulai dari ketua RT, RW, Kepala Desa/Lurah hingga presiden. Sementara kepemimpinan kecil atau privat adalah kepemimpinan dalam salat dan kepemimpinan dalam keluarga. Dalam konteks kepemimpinan besar, yaitu kepemimpinan secara struktural dalam dunia politik kenegaraan, seperti presiden perempuan, kepala daerah perempuan, kepala perusahaan dan sebagainya. Kepemimpinan perempuan dalam Islam sudah menjadi topik di banyak seminar, diskusi, perdebatan hingga kajian ilmiah. Hasilnya tetap sama, ada yang setuju dan ada yang tidak sepakat. Hal tersebut disebabkan karena perbincangan yang berhubungan dengan relasi laki-laki dan perempuan bukan soal prinsip dasar, seperti keadilan, kesetaraan dan kasih sayang, tetapi mengedepankan persoalan kepentingan dan dominasi (Husaini, 2024).
Tantangan reformasi dan globalisasi menuntut seorang pemimpin mampu untuk mengelola organisasi dengan baik dengan memperhatikan segala kebutuhan demi tercapainya tujuan organisasi. Perbedaan jenis kelamin dalam kepemimpinan tidak lagi dipermasalahkan. Hal tersebut dibuktikan dengan perempuan memiliki modal berupa ciri khas untuk menjadi seorang pemimpin. Perempuan juga memiliki kemampuan untuk menjadi seorang pemimpin yang selanjutnya dijadikan tujuan penulisan untuk mengetahui karakteristik perempuan yang dapat menunjang efektifitas kepemimpinan (Helma H, 2023). Penelitian Porter, Crampon dan Smith (2004) mengaitkan masalah gender dan gaya kepemimpinan dengan aspek: Pertama, pengambilan keputusan berorientasi pada pemimpin yang demokratik atau otokratik. Kedua, memengaruhi bawahan, atasan dan rekan kerja dengan strategi komunikasi (Husaini, 2024).
Di era revolusi industri perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa dampak pada peran perempuan yang semakin kompleks. Memiliki kesetaraan di bidang ketenagakerjaan dengan laki-laki, sehingga mempunyai kesempatan, akses dan peluang yang sama sebagai sumber pembangunan nasional. Perempuan sebagai pemimpin dalam berbagai industri adalah topik yang semakin mendapat perhatian di seluruh dunia. Di tengah perubahan sosial, perkembangan norma gender, dan kebutuhan akan keberagaman dalam berbagai sektor, peran perempuan dalam kepemimpinan telah menjadi sorotan utama. Setelah menjadi fenomena yang marak diperbincangkan dalam kalangan mayarakat saat ini, kepemimpinan perempuan tidak lagi diragukan jiwa kepemimpinannya. Kiprahnya semakin tampak di abad ke-21 (Husaini, 2024).