Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan
Opini

Maju Mundur Pemberantasan Korupsi

×

Maju Mundur Pemberantasan Korupsi

Sebarkan artikel ini

Oleh: Muhammad Aufal Fresky
Penulis buku Empat Titik Lima Dimensi, Mahasiswa Magister Administrasi Bisnis Universitas Brawijaya

Bagaimana jadinya masa depan Indonesia manakala korupsi menjadi “racun” dan “virus” yang terus-terusan menjangkiti. Segala sektor kehidupan masyarakat akan terdampak. Pelayanan publik tidak optimal. Pembangunan nasional akan terhambat. Kepercayaan masyarakat terhadap pejabat publik kian terkikis. Dalam hal ini, cita-cita kesejahteraan hanya akan menjadi ilusi. Ulah “perampok uang” negara menjadi ancaman serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi, kita semua sedang bersiap-siap menyongsong Indonesia Emas 2045. Sebab itulah, tindak pidana korupsi tidak boleh dipandang sebelah mata. Keseriusan dan komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi perlu dibuktikan lewat tidakan nyata. Bukan hanya berkoar-koar akan membasmi koruptor hingga ke akar-akarnya.

Baca Koran

Sebelumnya, tersiar kabar yang cukup menggemparkan kita. Yakni terkait koruptor kelas kakap yang mendapatkan vonis hukuman ringan. Padahal, kerugian negara mencapai triliunan rupiah. Sungguh, kenyataan itu membuat kita geleng-geleng kepala sekaligus mengelus dada. Penegak hukum yang menjadi tumpuan utama penegakan keadilan justru melukai nilai-nilai keadilan. Vonis ringan itu seolah mencedarai reformasi birokrasi yang selama ini kita digaungkan. Vonis ringan itu seakan-akan menegaskan kepada publik betapa penegakan hukum di negeri ini berjalan mundur. Benar-benar menodai supremasi hukum. Menjadi noda hitam dalam lembaran demokrasi.

Tidak hanya itu, yang membuat semakin tercengang, Presiden Prabowo Subianto dalam suatu kesempatan berencana memaafkan koruptor apabila mengembalikan aset negara. Bukankan hal itu semakin membuat koruptor ‘cengar-cengir” tertawa terbahak-bahak meremehkan hukum dan penegakan hukum di negeri. Pemimpin tertinggi di negeri ini seakan-akan memberikan “karpet merah” bagi koruptor untuk bebas dari jeratan hukum. Lagi-lagi, kita dibuat bertanya-tanya: sebenarnya sejauh mana keseriusan dan kesungguhan pemerintah dalam membasmi korupsi?

Padahal, sekali lagi, korupsi benar-benar membuat masyarakat semakin terpuruk. Hak-hak kita digerogoti. Anggaran negara yang semestinya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat justru digunakan oleh oknum pejabat publik demi kepentingan diri/keluarga/golongannya. Para koruptor tersebut menjadi bandit yang dengan segala “jurus silat-nya” merampas aset negara. Ketika kelakuannya sudah terendus, dengan segala kelihaiannya mencoba untuk “cuci tangan” dan melarikan diri. Bahkan, bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Segala jenis dalih dan pembenaran dilontarkan untuk menghalalkan aksi korupnya.

Baca Juga :  Mendidik Jiwa

Ditambah lagi, hukuman terhadap koruptor masih belum memberikan efek era. Sebagian penegak hukum belum menjadi penegak keadilan. Keadilan masih menjadi “barang langka” untuk didapatkan. Tajam ke bawah, tumpul ke atas; alias tebang pilih. Dilihat-lihat dulu, siapa yang menjadi tersangkanya. Jika tidak ada bekingan, dihantam begitu saja. Lain cerita, jika ada irisan dengan penguasa atau berharta, penegak hukum seolah ciut nyalinya untuk membabat habis. Tentu saja tidak semua. Ini hanya ulah oknum penegak hukum. Oknum yang jumlahnya sudah tak bisa dihitung dengan jari.

Jujur saja, totalitas dalam pemberantasan korupsi masih kita dambakan. Selian itu, kita juga berharap hukuman terhadap koruptor menimbulkan efek jera dan efek gentar. Ini bukan hanya sebatas terkait bagaimana melawan korupsi. Lebih dari itu, untuk menjaga marwah penegak hukum yang kita miliki. Sebab, kita tidak ingin masyarakat bertindak brutal sebab kepercayaannya terhadap penegak hukum sudah di titik nol. Hal ini bisa saja menimbulkan kerusuhan dan terganggungnya stabilitas nasional. Alasannya cuma satu: hilangnya wibawa penegak hukum. Jangan sampai terjadi. Saya tegaskan lagi, korupsi menyebabkan meluasnya keresahan sosial, ketidaksetaraan sosial, dan selanjutnya barangkali kemarahan sosial yang menyebabkan runtuhnya kekokohan birokrasi.

Sudah saatnya, kita berkaca pada negara-negara lain dalam melancarkan strategi terkait pengentasan korupsi. Seperti halnya di Denmark mengatasi korupsi dengan melakukan keterbukaan anggaran setiap lembaha terhadap masyarakat dan mitra melalui website agar mudah dipantau. Pun demikian di Finlandia memberikan sanksi berat pada pelaku korupsi untuk memberikan efek jera, memelihara budaya administrasi yang adil dan bersih, dan memperkuat kebijakan korupsi, serta melakukan audit keuangan yang ketat(Salminen et al., 2007). Atau di Korea Selatan yang memperkuat infrastruktur antikorupsi seperti halnya Undang-Undang Anti-Korupsi dan lembaga independen.dan diikuti dengan langkah antikorupsi, evaluasi, dan peran masyarakat sipil dalam pemberantasan korupsi (Pan Suk Kim, 2007).

Baca Juga :  MANUSIA BAIK

Memang benar, peran aktif organisasi masyarakat sipil untuk mengontrol jalannya pemerintahan perlu digencarkan. Terutama lembaga-lembaga yang memiliki kepedulian yang tinggi terkait tata kelola pemerintah yang bersih, transpararan, dan akuntabel. Kita semua juga mengambil bagian menyuarakan di ruang-ruang online maupun offline terkait bahaya dan ancaman korupsi.

Sinergitas dan kolaborasi antarlembga terkait perlu kembali dikuatkan. Jangan sampai ada tumpang tindih peran dan wewenang antara KPK, Kepolisian, Kejaksaan, dan lembaga terkait lainnya. Ditambah lagi, pencegahan dan penindakan korupsi harus berjalan beriringan, sistematis, terencana, masif, dan berkelanjutan. Kita semua juga berharap penuh UU Perampasan Aset segera disahkan. Ini tuntutan kita sebagai pemegang kedaulatan tertinggi di negeri ini.

Terakhir, sudah saatnya pemerintah dan legislator membuka babak baru pemberantasan korupsi. Sebab, hemat saya pribadi, pemberantasan korupsi di negeri ini masih berjalan di tempat. Bahkan, berjalan mundur. Sangat jauh dari ekspektasi masyarakat. Hal itu mulai dari komitmen dari setiap pejabat negara untuk lebih terbuka dan transparan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Lebih bertanggung jawab terhadap amanah yang sedang diembannya. Sebab, saya rasa, pemberantasan korupsi ini bisa dimulai dari diri sendiri, saat ini, dan dari hal terkecil. Semisal dengan mulai menerapkan budaya malu di setiap instansi pemerintahan, baik dari level pusat maupun daerah. Baik di eksekutif, yudikatif, dan legislatif, Memang, nilai-nilai kejujuran ini perlu di kampanyekan secara masif di segala sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita harus bergerak serentak, solid, dan kompak dalam melawan korupsi.

Iklan
Iklan